Jakarta, CNN Indonesia -- Suatu hari saya mendapat kiriman buku judulnya Bu Guru Fungky and Her Fungkier Students. Dari covernya, saya liat sepertinya seru nih. Sambil menikmati istirahat panjang karena sakit, saya pun membaca buku tersebut. Ternyata gak sampai 3 jam saya sudah menyelesaikannya. Karena ceritanya seru, saya gak mau berhenti sampai buku ini habis dibaca.
Bu Guru Fungky mengisahkan pengalaman seorang guru seni rupa di sebuah sekolah di Jakarta. Beberapa kali pindah sekolah, membuat ceritanya begitu kaya dan beragam. Kebetulan dia mengajar TK dan sekolah dasar, sehingga kepolosan anak-anak menjadi keseruan tersendiri.
Anak-anak adalah pribadi penuh kejutan. Seringkali kita menganggap mereka masih kecil, gak tahu apa-apa. Padahal mereka sangat paham dan pengertian. Seperti dikisahkan dalam salah satu ceritanya, anak SD bernama Cam usia baru 7 tahun, dia datang ke kelas adiknya yang masih TK untuk mengambil rapor mewakili orangtuanya.
Dengan gayanya yang polos dia menanyakan perkembangan adiknya dan memberikan contoh kepada adiknya bagaimana menerangkan karyanya. Ketika ditanya ibunya di mana, dengan muka datar sang anak menjawab, "Mama sedang fitnes di rumah". Bu Guru Fungky pun tak kuasa menumpahkan airmatanya. Begitu pun saya yang membacanya.
Bu Guru Fungky ini pernah mengajar di sebuah sekolah untuk kalangan atas. Apa yang selama ini kita bayangkan bagaimana perilaku orang kaya di sinetron, bisa dilihat aslinya dalam cerita di buku ini. Seperti dikisah bagaimana anak-anak ini sangat fasih menyebutkan merk mobil-mobil mewah yang dibeli ayahnya. “Ayahku baru ganti mobil, bukan Jaguar sih tapi Alpard.” kemudian anak lain menimpali, “Hummer dong, jangan Alpard. Hummer lebih keren.”
Di sudut ada anak yang dari tadi diam saja kemudian angkat bicara, “ ayahku sudah lama nggak ganti mobil. Mobilnya dari dulu itu-itu saja. Kata ayahku kami harus hemat, soalnya kan baru beli pulau.”
Buku ini mengajak tertawa sekaligus menangis. Bagaimana tingkah polah anak-anak yang polos namun cerdas membuat saya terpukau. Tetapi sekaligus miris, membaca perilaku beberapa orangtua yang menyerahkan anak sepenuhnya kepada nanny atau pengasuh tanpa memperdulikan bahwa anak membutuhkan sentuhan langsung dari ayah ibunya.
Masih banyak cerita lucu sekaligus haru. Bagaimana seorang anak yang begitu tangguh, masuk sekolah swasta mahal tetapi tiba-tiba harus keluar karena bisnis keluarganya bangkrut. Tetapi sang anak tetap tabah. Hingga kegelisah ABG yang baru belajar agama, “kalau agama mengajarkan kasih sayang, kenapa ada perang?”
Buku ini saya rekomendasikan untuk para guru dan orangtua. Menghibur sekaligus bercermin. Sudahkah kita pantas menjadi pendidik pertama anak-anak kita?
(nun/nun)