Jakarta, CNN Indonesia -- Hari guru tahun ini terasa jauh lebih ramai. Ada banyak acara, ada banyak hiruk-pikuk. Di tengah keramaian itu, saya ingin berbagi kisah perjalanan menjadi seorang guru, baik guru dalam artian profesi, maupun dalam artian yang lebih luas. Meski awalnya berniat memberi manfaat untuk orang lain, tapi selesai menulis saya sadar bahwa saya sendiri yang paling merasakan manfaat dari tulisan ini. Semoga bermanfaat juga buat anda!
Mengapa saya menjadi guru? Sebelumnya, saya hanya menjawab pertanyaan mengapa menjadi guru dengan jawaban yang bersifat praktis semisal pilihan karier atau semacamnya. Tapi kali ini, saya ingin merenungkan kembali pertanyaan ini. Dan setelah cukup lama, saya seolah bisa melihat jejak-jejak yang menghubungkan perjalanan karier saya sebagai dosen dengan perjalanan hidup ayah saya. Saya akan ceritakan jejak-jejak tersebut. Ayah adalah penjelajah. Kuliah tidak diselesaikan. Ia merasa cukup dengan gelar sarjana muda. Ia lebih suka mencoba tantangan di lapangan, di manapun, meski di luar kota, meski di luar Jawa. Ayah pulang beberapa waktu sekali untuk bertemu keluarganya. Setiap kali pulang, ayah pasti meluangkan waktu untuk bermain dengan anak, mengajak anaknya jalan-jalan atau nonton. Sampai suatu saat, kami sekeluarga pindah ke Papua. Ayah menjadi pegawai transmigrasi. Kami jadi lebih sering berkumpul bersama ayah dibandingkan ketika di Jawa.
Saya senang mendengar obrolan ayah dengan tamu yang berkunjung ke rumah. Ayah juga sering bercerita tentang pengalamannya berkunjung ke rumah warga, di ladang dan sawah hingga perjalanannya melewati hutan lebat. Lebih seru lagi mendengar ayah bercerita tentang usahanya menyelesaikan persoalan warga desa. Bagaimana membantu pendatang Jawa untuk betah? Bagaimana menentramkan warga Papua? Bagaimana membangun kerukunan di desa yang beragam? Bagaimana mengubah rawa menjadi ladang dan sawah? Bagaimana menghadapi warga yang berselingkuh? Bagaimana membantu warga desa yang kekurangan tanpa menjadi tuman (ketagihan)? Bagaimana menyediakan guru untuk sekolah di pelosok? Dan banyak persoalan lainnya.
Ayah berpindah-pindah tugasnya, dari desa baru yang baru dibuka ke desa baru yang lain. Ketika pindah ke desa baru, ayah bukannya mengeluh, tapi terlihat seperti tertantang dan asyik untuk menyelesaikannya. Meski desa baru itu berjarak belasan kilometer dari rumah kami. Meski jalan itu harus ditempuh dengan berkendara motor menebus hutan belantara.Keasyikan itu berhenti. Entah karena persoalan apa, ayah dipindahkan ke kantor di kota untuk menangani urusan administrasi. Semenjak itu, ayah sering sakit, kondisinya naik turun, sampai terus memburuk dan hingga meninggal dunia di Tanah Papua.
Ayah adalah sosok yang lebih suka berkumpul dengan orang-orang kecil. Ayah adalah orang yang suka bercengkerama dengan warga desanya, berbicara dan tertawa lepas tanpa batasan. Ayah adalah orang yang suka menghadapi tantangan baru, dibandingkan terjebak dalam rutinitas. Ayah bukan saja orang yang suka membantu, tapi orang yang membawa pencerahan bagi masyarakatnya.Mengapa saya menjadi guru? Mungkin karena saya ingin meneladani ayah. Saya ingin berkumpul dengan orang-orang. Saya ingin berbicara dan tertawa lepas. Saya ingin menghadapi tantangan baru setiap kali tahun ajaran baru. Saya ingin membuat orang berpikir dan menemukan pencerahan dari hasil berpikirnya sendiri.
Pilihan karier yang saya pertimbangkan setelah lulus adalah menjadi aktivis sosial di sebuah NGO atau menjadi dosen. Dengan banyak pertimbangan, saya memilih jalan menjadi dosen di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Sampai delapan tahun kemudian, saya memilih untuk mengundurkan diri sebagai dosen. Tapi mundur sebagai dosen, bukan berarti saya mundur sebagai guru. Banyak mahasiswa yang mengajak diskusi, banyak orang yang bertanya, secara langsung maupun melalui media sosial. Dan sekarang kembali lagi, saya bertanggung jawab mengembangkan Kampus Guru Cikal, menjadi dosen untuk para calon guru. Amin :)
Jawaban atas pertanyaan mengapa menjadi guru mungkin tidak berguna dalam menjalankan tugas sebagai guru. Juga tidak banyak membantu untuk menyusun desain belajar dan asesmen. Karena jawaban atas pertanyaan itu adalah sumber energi pada siapa saja untuk selalu semangat berjalan di jalan pilihannya. Jadi di hari guru ini, saya mengajak rekan-rekan untuk menanyakan kembali pertanyaan dasar, Mengapa Menjadi Guru? Temukan sumber energi anda :)
Apa serunya menjadi guru? Setiap profesi pasti mempunyai keseruannya sendiri. Buat mereka yang memilih suatu profesi, sebuah kesulitan apapun bisa menjadi beragam keseruan. Tapi bagi mereka yang terpaksa atau sekedar mencari uang dari suatu profesi, sebuah kesulitan justru menjadi berjuta keluhan. Lalu apa serunya menjadi guru buat saya?Saya masih ingat pengalaman awal ketika menjadi dosen. Meski malam sebelumnya saya sudah membaca dan mempelajari materi yang dipelajari, tapi berdiri di depan kelas tetaplah bukan perkara mudah. Apalagi setelah menjelaskan, para mahasiswa mengajukan banyak pertanyaan. Dan ada sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jawab. Waktu itu, saya berdiri diam, berkeringat dan berpikir, saya jawab ngawur atau saya saya katakan yang sejujurnya? Saya memilih menjawab jujur dan setelah itu saya merasa lega, terasa lolos dari lubang jarum :D Saya pikir tantangan itu hanya karena saya masih dosen baru. Kenyataannya memang tantangan serupa lebih mudah saya tangani, tapi rupanya tantangan yang lebih sulit telah menanti.
Tantangan yang lebih kompleks, melibatkan dilema moral yang lebih rumit, berdampak pada lebih banyak orang. Serunya menjadi guru adalah serunya belajar. Sebagaimana kata anak saya, Ayunda Damai di blognya, Jadi,Belajar adalah perjalanan. Dari merasa tegang menjadi senang.Jadi keseruan pertama menjadi guru adalah menjadi pembelajar sepanjang hayat. Karena tugas utama guru bukan mengajar, tapi terus menerus belajar.
Mengajar kelas paralel itu tantangan tersendiri. Meski materi pelajaran sama, tapi setiap kelas mempunyai kekhasannya sendiri. Dinamika yang bersumber dari keunikan individu dan dinamika kelompok dalam kelas tersebut. Ada kelas yang cenderung diam, butuh waktu untuk terlibat. Ada kelas yang aktif, langsung terlibat sejak awal, hingga sering berlebihan. Awalnya, sebagai dosen yang baik (cieee), saya mengajar kelas paralel sesuai desain belajar yang telah disepakati tim pengajar. Hasilnya? Mati gaya! Kelas yang diam semakin diam. Kelas yang aktif, ributnya menjadi.
Segelintir mahasiswa yang sudah belajar, cepat menguasai pelajaran, sementara sebagian mahasiswa tetap bingung.Saya mengubah strategi. Saya menstimulasi mahasiswa dengan berbagai cara, seperti lebih banyak bertanya, bermain, bernyanyi, bermain, membaca novel, menggambar, berkunjung ke stasiun, menulis biografi, diskusi massal, main drama hingga mengerjakan suatu proyek. Hasilnya luar biasa. Mahasiswa senang belajar begitu ramai, sampai saya ditegur dosen kelas sebelah. Senang belajar sampai mahasiswa terlambat masuk ke kelas kuliah berikutnya. Pada rapat dosen muncul celetukan, “ngajar sih kreatif, tapi apa efektif”. Saya pun memperbaiki (lagi-lagi) strategi mengajar saya. Strategi yang fokus pada tujuan belajar, berdasar pada pemahaman karakterisik pelajar, dan menghitung cermat waktu pembelajaran.
Setelah belajar untuk sekian kalinya, pada saat-saat akhir menjadi dosen, saya cenderung menggunakan strategi bertanya. Tidak mudah, bahkan bisa lebih menantang dibandingkan memberi ceramah. Bertanya dengan pertanyaan yang sesuai karakteristik dan motivasi mahasiswa, dengan cara yang tepat agar mahasiswa nyaman menjawab. Saya belajar, apapun strategi pengajarannya, berangkatlah dari pemahaman terhadap pelajar.
Jadi keseruan kedua menjadi guru adalah memahami pelajar dengan beragam tingkah polahnya. Karena tugas utama guru bukanlah menyampaikan materi pelajaran atau strategi mengajar, tapi memahami pelajar untuk belajar yang bermakna dan menyenangkan.Saya tidak akan panjang lebar menceritakan lagi. Keseruan ketiga sebagai guru, setelah petualangan belajar yang panjang, berliku, dan menghabiskan banyak energi, kelelahan akan musnah begitu saja ketika ada seseorang yang mengucapkan terima kasih.
Seperti yang saya alami ketika membaca tulisan seorang mahasiswa, ungkapan terima kasihnya. "Tanpa bukik, saya tidak akan pernah berpikir bahwa hidup ini harus dijalani dengan penuh passion. Karena dia, setiap detik yang saya miliki, adalah waktu untuk membangun. Membangun citra, membangun diri, membangun sesama, membangun negara, tentunya dengan cara saya sendiri, cara ke-13 untuk menuju Roma. Terima kasih banyak Pak. Mitch Albom have Morrie, I have you."
Menjadi guru adalah perkara menjadi orang yang bermanfaat buat orang lain. Ucapan terima kasih atas balasan tak ternilai.
Bila anda suka belajar, bila anda suka memahami orang, bisa anda suka bermanfaat buat orang lain, temukan keseruan hidup dengan menjadi guru.
Selamat hari guru! Buat rekan guru, mari lanjutkan petualangan belajar kita, temukan keseruan baru.
Penulis : Bukik Setiawan, M.Psi Kampus Guru Cikal Penulis Anak Bukan Kertas Kosong Setelah 7 tahun menjadi Dosen di Fakultas Psikologi Unair, Bukik menjadi seorang fasilitator lepas dan blogger pendidikan yang menginisiasi beberapa inisiatif pendidikan seperti BincangEdukasi.com dan TemanTakita.com. Sebagai ayah, Bukik mengajarkan pada anaknya, Ayunda Damai, menggunakan blog (AyundaDamai.com) untuk mengembangkan bakatnya. Bukik telah menulis sebuah buku pengembangan bakat anak, Anak Bukan Kertas Kosong. Saat ini, Bukik bertanggung jawab untuk mengembangkan Kampus Guru Cikal dan Komunitas Guru Belajar.