Jakarta, CNN Indonesia -- Sejujurnya saya maupun adik-adik saya seumur hidup belum pernah mengucapkan atau melakukan sesuatu yang khusus di hari ibu untuk ibu kami.
Ini bukan didasari sebuah sikap atau pikiran tertentu. Semata-mata hanya karena kami tidak tahu hari ibu itu ada dan hari ibu itu apa.
Orang tua kami sama sekali tak memperkenalkannya. Sama seperti tidak ada perayaan atau yang spesial di hari ulangtahun di keluarga kami.
Ketika dari pergaulan kami kemudian tahu ada yang namanya hari ibu, kami tak tahu harus berbuat apa dan tidak kemudian juga melakukan apa-apa. Mungkin juga sebenarnya tak harus ada yang diperbuat.
Tetapi bukan berarti kami keluarga yang abai dengan kasih sayang.
Terlalu banyak ingatan dalam benak yang akan saya bawa sampai hayat berhenti di kandung badan terkait ibu dan kasih sayangnya. Tetapi ingatan pertama selalu lebih menghunjam dari semuanya.
Saya mungkin berumur empat tahun waktu itu. Seperti ibu-ibu di kampung pada umumnya, sore-sore mereka memberi anak-anak sambil bercengkerama satu sama lain. Kami, anak-anak berlarian dan bermain satu sama lain.
Kami keluarga yang tak cukup berada dibanding tetangga. Sehingga menu makanan saya selalu paling sederhana dan hampir selalu ajeg: sayur bening (kol, wortel, dan tomat dengan kuah bening yang banyak) dan (mungkin) lauk tahu atau tempe.
Entah mengapa, ingatan saya agak kabur untuk yang satu ini, saya sering ditanya oleh ibu-ibu tetangga: “Kalau makan lauknya apa?”
Dengan polos dan penuh semangat saya menjawab: “Air.”
Mungkin cara menjawab saya lucu. Mungkin wajah saya jujur tanpa dosa menawarkan kepolosan. Entahlah. Yang jelas jawaban itu menjadi legenda di kampung. Semua orang kemudian tahu bahwa saya kalau makan lauknya air.
Saya tak paham ketika kemudian ibu jarang membawa saya makan keluar lagi. Mungkin ibu sedih dan kasihan kepada saya. Belakangan setelah saya dewasa saya baru mengerti memang itu yang terjadi. Setiap kali saya meminta untuk makan di luar bersama yang lain, ibu selalu membujuk untuk makan di rumah saja.
Saya anak penurut sejak kecil. Sehingga seberapapun keinginan untuk makan sambil bermain di luar, saya menurut untuk berdiam di rumah.
Hidup yang penuh kesederhanaan atau kekurangan itu harus saya jalani hingga menjelang remaja. Tetapi kekurangan material yang kami alami dibalas dengan rasa kasih sayang, contoh kesantunan hidup, dan kebijaksanaan hidup yang berlebih.
Setelah dewasa, ketika kehidupan material keluarga membaik, saya tahu ibu berusaha memanjakan kami. Terutama kepada saya anak tertua yang menurutnya paling menderita di masa kecil. Dan itu diungkapkan secara verbal agar saya lebih menikmati hidup.
“Saya tidak ingat pernah menderita di masa kecil. Saya hanya merasakan kegembiraan dan kebahagiaan. Kasih sayang ibu dan bapak,” jawab saya. Dan itu saya ungkapkan berkali-kali karena ibu berkali-kali juga menyatakan hal yang sama.
Sungguh itu jawaban yang jujur. Bukan untuk menyenangkan ibu atau bapak saya. Saya benar-benar tak pernah merasa kekurangan apalagi menderita. Mungkin benar, kasih sayang lebih terpahat diingatan ketimbang gelontoran materi.
Mungkin semestinya yang harus saya lakukan adalah mengungkapkan rasa terima kasih dan kasih sayang itu lebih sering lagi ketika ibu masih hidup. Itu tidak bisa saya lakukan setelah ibu meninggal dua tahun yang lalu. Sekarang tiada hari dalam hidup saya tanpa kelebatan ibu di pikiran.
Satu-satunya yang rutin saya lakukan, dan saya tahu ini juga dilakukan oleh adik-adik saya, adalah mendoakan ibu sesudah sholat. Nama ibu kamilah yang kami sebut pertama dalam doa sebelum mendoakan yang lainnya.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi CNN Indonesia
(ded/ded)