Jakarta, CNN Indonesia -- Jangan menengok ke belakang sambil berjalan bisa tersandung dan terjatuh. Masuk akal kalimat pendek itu. Jika berjalan segala anggota badan searah setujuan presisi seluruh keadaannya, menuruti perintah otak ke sekujur badan, menjadi kewajaran bahwa manusia berjalan ke depan bukan ke belakang atau mundur.
Bukan dilarang atau asal melarang bahwa manusia anu tidak boleh membaur warna, hanya boleh senyum pada manusia anu, hanya boleh bersalaman dengan manusia berwarna pelangi, misalnya. Perumpamaan tersebut mengingatkan pada nilai silaturahmi antar sesama, bertetangga, berteman se-erte atawa se-erwe tak seindah yang pernah ada musim bunga pada suatu dekade lalu.
Mengapa terasa menjadi serba terbatas? Padahal dulu, Ibu Siti mengantarkan kue lemper buatannya sendiri untuk keluarga Ibu Jon, berkunjung sambil berkabar, Ibu Win berkesepahaman untuk keluarga Ibu Jon sangat terbuka menerima pemberian kue lemper sebagai kabar baik persaudaraan dalam tali kasih ikatan silaturahmi bertetangga.
Demikian juga dengan Pak Somat, senantiasa terbuka menerima kunjungan Pak George, bagi mereka berdua hal biasa saling mengirim oleh-oleh dari bepergian ke suatu tempat. Pak Tony tak segan-segan menerima uluran tangan Pak Abu, senantiasa terbuka hatinya ingin membantu sesama tetangga saling membutuhkan hal bantuan sederhana, semisal meminjamkan gergaji guna memotong dahan pohon milik Pak Tony, telah terlalu rindang.
Ada banyak cara dan bentuk silaturahmi dalam menjaga bersama kesuburan nilai kesepahaman kemanusiaan saling menghormati, pada suatu dekade musim bunga kembang sepatu di era dulu, tanpa ragu dan takut pada kutukan manusia lain. Indah sekali masa-masa itu, semua hal terasa menjadi subur di hati, pikiran dan perilaku natural bermasyarakat menghargai ikhlas menghormati sesama.
Entahlah, hanya terasa ada hal berkabut tak seterang saat masa indah pra-musim bunga warna-warni kini, meski bunga di manapun masih tetap bunga, namun tumbuhnya tak seindah warna alami bunga seperti dulu. Tak ada salah atau benar pada musim bunga, hanya terasa ada degradasi warna indah itu tak seperti dulu lagi.
Terasa perasaan dicekam teror setiap kali masuk mal diperiksa satpam dengan sensor detektor. Telah sedemikian mengerikankah kehidupan di antara sesama?
Meski toleransi silaturahmi tengah tumbuh kembang kembali, terutama di kalangan muda, setelah porak-poranda pada suatu dekade musim gugur badai itu menerpa, telah dicatat sejarah. Kini, esok dan akan datang, tetaplah jabat tangan erat saudaraku. Salam Indonesia Unit.
(ded/ded)