Ankara, CNN Indonesia -- Polisi Turki menahan wartawan Belanda, Frederike Geerdink, atas tuduhan terorisme pada Selasa (6/1). Penahanan ini terjadi bertepatan dengan pernyataan Presiden Tayyip Erdogan yang membantah anggapan pemerintah Turki mengekang kebebasan media.
Geerdink yang merupakan wartawan wanita untuk sejumlah radio dan surat kabar Belanda, termasuk Het Parool dan media Inggris, The Independent, melaporkan penahanan dirinya di akun Twitter miliknya, tiga jam setelah ditahan. Geerdink dibebaskan setelah bersedia memberikan pernyataan.
Wartawan lepas yang berbasis di kota Diyarbakir di Turki tenggara tersebut menyatakan bahwa polisi telah menggeledah rumahnya dan menahannya atas tuduhan terkait dengan "propaganda organisasi teroris".
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dihubungi Reuters melalui telepon pada Selasa (6/1), Geerdink tidak mampu berbicara banyak dan hanya dapat mengatakan, "Saya tidak berbahaya. Saya seorang peneliti dan wartawan."
Sumber dari kepolisian Turki menyatakan Geerdink ditahan atas perintah jaksa dan akan dibebaskan setelah memberikan pernyataan .
Sementara, Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders, dalam kunjungan ke Ankara untuk bertemu rekannya Mevlut Cavusoglu, menyatakan terkejut mendengar kabar ini dalam akun Twitter milikya.
"Terkejut atas penangkapan Geerdink dan saya akan membicarakan hal ini secara pribadi dengan rekan saya Cavusoglu di sini, di Ankara..", tulis Geerdink.
Berbasis di Turki sejak tahun 2006, Geerdink adalah penulis buku
De Jongens zijn Dood, atau
The Boys Are Dead, yang terbit tahun lalu, tentang 2.011 kasus pemboman oleh pesawat militer Turki yang menewaskan 35 warga sipil Kurdi.
Sementara, di hari yang sama, Presiden Erdogan menolak pemberitaan media Barat yang marak melaporkan bahwa Turki menjadi semakin tidak demokratik di bawah kekuasaannya yang telah berlangsung selama 12 tahun.
"Ada upaya untuk menodai Turki dengan mengartikan tindakan pencegahan terorisme dengan isu kebebasan pers," kata Erdogan dalam pidatonya kepada sejumlah duta besar Turki, seperti ditulis Reuters, Selasa (6/1).
"Saya membantah hal ini. Tidak ada tempat di Eropa atau di negara lain di mana media mendapatkan kebebasan pers seperti di Turki," kata Erdogan melanjutkan.
Meskipun kasus penahanan wartawan asing jarang terjadi di Turki, wartawan Turki sering menghadapi resiko penangkapan untuk hal-hal yang mereka tulis atau laporkan.
Pekan lalu, dua wartawan lokal ditahan karena menulis kritik kepada otoritas Turki dalam akun Twitter mereka. Hal serupa juga terjadi pada bulan lalu ketika seorang editor surat kabar oposisi dituduh menjadi anggota organisasi teroris.
Sementara, pihak Uni Eropa, menyatakan tindakan kepolisian Turki yang menyerang awak media merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan kebebasan media dan juga bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi Uni Eropa.
Pernyataan ini mungkin akan mempersulit usaha Turki yang telah lama ingin bergabung dengan Uni Eropa.
Menurut Indeks Kebebasan Pers Dunia yang dirilis kelompok advokasi Reporters Without Borders pada 2014, Turki barada di peringkat 154 dari 180 negara yang menjunjung kebebasan pers.
(ama)