Sanaa, CNN Indonesia -- Situasi di ibukota Yaman, Sanaa, kembali mencekam dengan serangan-serangan yang dilancarkan pemberontak Houthi ke tentara pemerintah. Menurut Menteri Penerangan Yaman, Nadia Saqqaf, Houthi telah menguasai istana kepresidenan.
Insiden pada Selasa (20/1), adalah lanjutan dari peristiwa serupa sehari sebelumnya yang berakhir gencatan senjata. Saqqaf mengatakan bahwa ini adalah upaya kudeta dari kelompok militan Syiah Houthi.
"Peristiwa ini melengkapi upaya kudeta. Presiden saat ini tidak punya kendali," kata Saqqaf kepada CNN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada pertempuran sebelumnya, sembilan orang tewas dan 67 lainnya terluka, seperti disampaikan kementerian kesehatan Yaman. Saat ini baku tembak terdengar di seantero kota.
Kendaraan milik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Sanaa juga ditembaki. Menurut laporan Kedubes AS, awalnya pelaku menembakkan peluru ke udara lalu mengarahkannya ke kendaraan yang ditumpangi oleh para diplomat AS. Tidak ada yang terluka.
Pemerintah Yaman dihadapkan oleh dua musuh besar, yaitu al-Qaidah dan pemberontak Houthi.
Tahun lalu, Houthi menguasai ibukota dalam sebuah pertempuran yang menewaskan 300 orang. September 2014, kedua pihak menandatangani perjanjian gencatan senjata dan Houthi diberi posisi penting di pemerintahan dan institusi finansial.
Namun ketegangan kembali terjadi pada pekan lalu saat militan Houthi menculik Kepala Staf Presiden Ahmed bin Mubarak di Sanaa pada Sabtu lalu. Menurut Osama Sari, penasihat media Houthi, penculikan itu dilakukan karena Presiden Abdu Rabu Mansour Hadi akan membuat konstitusi baru tanpa persetujuan mereka.
Gejolak di Yaman membuat Barat khawatir. Pasalnya, tidak adanya pemimpin yang berkuasa di negara itu akan menguntungkan Al-Qaidah di Semenanjung Arab, AQAP, yang berbasis di yaman.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon melalui juru bicaranya mengatakan bahwa dia prihatin atas situasi yang memburuk di Yaman. Ban meminta kedua pihak menghentikan kekerasan dan menahan diri.
"Kedua kubu harus mematuhi komitmen mereka untuk mengatasi perbedaan dengan cara damai," kata Ban.