Yangon, CNN Indonesia -- Presiden Myanmar telah menyetujui undang-undang yang mengatur pelaksanaan refendum untuk mengubah konstitusi. Namun langkah ini diduga tak akan berimbas pada kesempatan Aung San Suu Kyi untuk mencalonkan diri menjadi presiden Myanmar.
Menurut anggota parlemen yang dikutip Reuters, Rabu (11/2), pemerintahan presiden Thein Sein di Myanmar tengah mendapatkan tekanan di dalam dan luar negeri terkait reformasi sistem politik sebelum pemilihan umum tahun ini.
Suu Kyi dan partainya Liga Nasional untuk Demokrasi, NLD, telah mendesak perubahan konstitusi yang dibuat oleh penguasa militer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu klausul dalam konstitusi tersebut melarang seseorang yang menikah dengan warga asing menjadi presiden. Suu Kyi menikah dengan warga Inggris dan memiliki dua anak, membuatnya otomatis terlarang mencalonkan diri jadi pemimpin.
NLD mengatakan, konstitusi saat ini terlalu banyak memberikan kekuatan politik pada militer, yang menguasai Myanmar dari 1962-2001.
"Sekarang undang-undang telah disetujui, dan Komisi Pemilihan Umum akan segera menetapkan tangga referendum di bulan Mei," kata Thein Nyunt, anggota majelis rendah dari partai Kekuatan Demokrasi Nasional Baru kepada Reuters.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyambut baik keputusan ini. As mengatakan bahwa reformasi konstitusi haruslah merefleksikan keinginan rakyat Burma (Myanmar).
"Kami berharap reformasi yang tengah dipertimbangkan akan memfasilitasi pemilihan umum yang kredibel, transparan dan inklusif yang memungkinkan semua orang untuk memilih sendiri pemimpin nasional dan lokal mereka sendiri," kata Jen Psaki, juru bicara Deplu AS.
Hak pilih Rohingya dicabutRencana ini menciptakan kisruh saat biksu Buddha di negara itu menolak keputusan parlemen 2 Februari lalu untuk memberikan pemegang kartu identitas sementara, atau dikenal dengan kartu putih, hak memilih jika referendum digelar.
Sekitar 300 biksu gelar aksi di Yangon pada Rabu mendesak mencabut hak-hak jutaan pemegang kartu putih, ratusan ribu di antaranya adalah Muslim Rohingya. Sesaat setelah protes tersebut, pemerintah mengumumkan akan mencabut kartu putih pada 31 Mei.
Rohingya menurut PBB adalah kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. Warga keturunan Bangladesh ini tidak dianggap statusnya di Myanmar kendati tinggal beberapa generasi di negara itu. Mereka juga kerap menjadi sasaran kekerasan.
Usai gelombang kekerasan tahun 2012, lebih dari 100 ribu Rohingya di Rakhine terpaksa hidup mengungsi di tenda-tenda sederhana. Ratusan orang Rohingya tewas dalam bentrok.
"Mereka adalah orang asing. Sangat tidak masuk akal memberikan orang asing ini hak memilih. Tidak bisa dibiarkan," kata seorang biksu Buddha, U Kavinda.
(den)