Jakarta, CNN Indonesia -- Senyum mengembang di wajahnya ketika Erwiana Sulistyaningsih menceritakan pengadilan Hong Kong manyatakan bahwa majikannya, Law Wan Tung, yang menyiksanya selama bekerja dinyatakan bersalah pekan lalu.
Namun, tak lama senyum itu bertahan, tiba-tiba muka Erwiana kembali tertekuk.
"Saya tetap sedih karena banyak kasus kawan-kawan buruh migran lain yang tidak terungkap dan tidak diberi perlindungan hukum oleh pemerintah," ujarnya dalam jumpa pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa (17/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erwiana mengaku bahwa ia hanyalah segelintir orang beruntung karena kasusnya dapat dijadikan prioritas oleh pemerintah Hong Kong akibat desakan banyak pihak.
"Saya ini beruntung. Media menyoroti kasus saya karena bantuan dari Mission (for Migrant Workers) dan JBMI (Jaringan Buruh Migran Indonesia) juga. Pemerintah terdesak dan mereka hanya memperhatikan yang disorot media," ucap Erwiana.
Dukungan dari JBMI memang membetot perhatian publik. Bagaimana tidak, mereka mengerahkan 5 ribu orang untuk turun ke jalan demi menuntut keadilan bagi Erwiana.
Tak ayal, pemerintah Hong Kong dan Indonesia akhirnya menjadikan kasus Erwiana sebagai prioritas.
"Ini adalah sejarah. Untuk pertama kalinya Hong Kong mengirim polisi ke Indonesia untuk menemui Erwiana," ungkap Sringatin, Koordinator JBMI untuk Hong Kong dan Macau yang menggagas unjuk rasa di Hong Kong.
Meskipun kasus Erwiana berbuah manis, tapi masih banyak peristiwa pahit yang harus dialami oleh buruh migran Indonesia di luar negeri.
Menurut Erwiana, pangkal masalah ini adalah pemerintah yang seakan hanya menganggap buruh migran sebagai komoditas ekonomi.
"Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia itu dijelaskan bahwa pemerintah menyerahkan semuanya kepada PJTKI dan agen tenaga kerja yang hanya mengejar profit. Ini sumber masalahnya," papar Erwiana.
Menoleh kembali ke pengalamannya dan rekan-rekan buruh migran lainnya, Erwiana mengaku enggan melaporkan kasus kekerasan yang dialami ke PJTKI atau agen.
"Saya pernah lapor, malah disuruh kembali lagi ke majikan saya karena katanya susah cari majikan, atau disuruh mediasi. Tidak bisa," katanya.
Kalaupun dibantu, Erwiana mengungkapkan bahwa buruh migran juga biasanya urung menempuh jalur hukum. Pasalnya, peraturan di Hong Kong melarang seseorang bekerja jika sedang dalam proses hukum.
"Kami ini orang miskin. Keluarga di kampung butuh uang. Kalau (sedang) proses hukum, bagaimana bisa kirim uang?" tuturnya.
Selain itu, pihak agen atau PJTKI menurut Erwiana juga akan memotong biaya proses hukum dari gaji mereka.
Ketika lari ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong, Erwiana juga mengaku tidak puas dengan pelayanannya.
"Mereka seperti tidak serius, malah menyuruh mediasi atau dikembalikan ke agen. Sama saja jadinya seperti tadi lagi. PJTKI dan agen bukan pilihan," ucap Erwiana tegas.
Melihat dampak besar dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Luar Negeri, JBMI menuntut pemerintah untuk merevisi, bahkan menghapus regulasi tersebut.
"Perbaiki sistem dan merujuk pada Konvensi nomor 189 dari ILO (International Labour Organization). Kembalikan tugas negara untuk melindungi buruh migran," pungkas Sringatin.
Sementara, Wakil Kepala KJRI di Hong Kong, Rafael Walangitan menampik tuduhan tersebut. Rafael menjelaskan bahwa KJRI akan selalu memfasilitasi setiap buruh migran yang mengalami kekerasan dari majikan dan ingin menempuh jalur hukum.
"Kami selalu berupaya memfasilitasi pengaduan, bahkan bisa dilakukan secara
online. Kami akan menghubungi agensi yang bersangkutan dan mengupayakan mediasi," ungkap Rafael.
Rafael juga menampik bahwa buruh migran akan dipotong gajinya untuk pembiayaan proses hukum.
"Tidak ada itu. Kami malah menyediakan mediasi dengan
lawyer," kata Rafael ketika dihubungi oleh CNN Indonesia, Selasa (17/2).
Rafael menjelaskan bahwa situasi yang terjadi pada Erwiana berbeda, pasalnya Erwiana tidak melayangkan pengaduan ke KJRI dan memakai jasa pengacara dari LSM setempat.
"Sehingga tergantung dari yang bersangkutan, apakah mau meminta kami fasilitasi atau meminta dukungan dari lembaga lainnya," kata Rafael.
Pengadilan Hong Kong pada Selasa minggu lalu menyatakan Law Wan Tung bersalah atas 18 dari 20 dakwaan terhadap dirinya. Termasuk di antara dakwaan tersebut adalah intimidasi kriminal, menyebabkan luka fisik berat pada korban dan tidak membayarkan gaji pada Erwiana saat bekerja tahun 2013.
(ama/stu)