New York, CNN Indonesia -- Untuk pertama kalinya permasalahan hak asasi manusia di Myanmar, terutama soal penderitaan warga minoritas Rohingya dibahas di Dewan Keamanan PBB. Pertemuan yang sama saat ini juga digelar di Bangkok, diikuti oleh 17 negara.
Diberitakan Reuters, dalam pertemuan di DK PBB New York, para anggota mendengarkan paparan soal pelanggaran HAM terhadap Rohingya yang dibacakan oleh Komisaris Tinggi HAM PBB Zeid Ra'ad Al Hussein melalui konferensi video.
Seorang diplomat yang tidak ingin disebut namanya pada Reuters mengatakan bahwa Zeid menggambarkan dengan lugas situasi yang memilukan serta diskriminasi yang dihadapi Rohingya di Myanmar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka kerap jadi korban kekerasan para penyelundup manusia, ratusan di antara mereka tewas di laut. Peristiwa ini menuntut penyelesaian yang komprehensif, kita harus melihat akar permasalahannya," kata diplomat tersebut, menjelaskan apa yang disampaikan Zeid.
Diplomat lainnya mengatakan bahwa DK PBB sepakat pada Zeid yang menyatakan bahwa isu Rohingya hanya akan rampung jika akar permasalahannya, yaitu di tangan pemerintah Myanmar, diatasi.
Namun para diplomat menjelaskan bahwa tidak ada langkah segera yang diambil DK PBB. Menurut delegasi asal Rusia, DK PBB bukanlah badan yang tepat dalam mengatasi HAM dan merujuk masalah ini ke Dewan HAM PBB di Jenewa.
Dalam pembahasan itu, para diplomat juga menyambut baik pertemuan 17 negara di Bangkok, Thailand, untuk membahas Rohingya. China, sekutu Myanmar, mengatakan bahwa perkara ini adalah masalah dalam negeri yang harus diselesaikan oleh pemerintah Thein Sein sendiri.
Namun beberapa negara, seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand, yang terkena getahnya dengan kedatangan lebih dari 3.000 imigran Rohingya berkeras masalah ini merupakan isu internasional yang harus dicari penyelesaiannya bersama.
Laporan PBB pekan ini menyebutkan ada sekitar 2.600 pengungsi Rohingya dan Bangladesh lagi yang masih terkatung-katung di lautan. Sebanyak 1,1 juta Rohingya di Myanmar hidup dalam masyarakat yang "apartheid", terlebih karena status kewarganegaraan mereka yang tidak jelas di negara itu.
Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya adalah imigran ilegal dari Bangladesh, kendati telah tinggal di negara itu beberapa generasi. Sementara Bangladesh sendiri tidak mengakui mereka sebagai warga negara.
Dengan statusnya yang bukan warga negara, hak-hak Rohingya di Myanmar banyak diberangus, mereka juga kerap menjadi sasaran kekerasan kelompok mayoritas Buddha radikal dalam beberapa tahun terakhir.
Zeid mengatakan, situasi yang buruk di Myanmar "adalah salah satu alasan mengapa mereka dengan putus asa memilih mengarungi lautan."
(den)