Sulitnya Hidup di Luar Negeri Bakar Semangat Habibie

Ranny Virginia Utami | CNN Indonesia
Kamis, 13 Agu 2015 19:17 WIB
Sebagai tokoh diaspora Indonesia, mantan presiden BJ Habibie menuturkan duka ketika tinggal di luar negeri, yang memicu semangatnya membangun Indonesia.
Sebagai tokoh diaspora Indonesia, mantan presiden BJ Habibie menuturkan duka ketika tinggal di luar negeri, yang memicu semangatnya membangun Indonesia. (Antara/Widodo S. Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Diaspora Indonesia memiliki beragam kisah suka duka saat menjalani kehidupan di luar negeri. Tak terkecuali mantan presiden RI ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie yang hidup di Jerman saat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

"Saat itu, orang yang (belajar) ke luar negeri hanyalah yang berbakat dan diberikan beasiswa," ujar Habibie saat menjadi pembicara di acara Kongres Diaspora Indonesia ke-3 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (13/8).

"Bidang yang boleh diajukan pun hanya bidang dirgantara dan perkapalan, yang lain belum boleh," lanjutnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dulu, mahasiswa Indonesia cukup sulit untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri karena ada kebijakan yang melarang warga Indonesia membeli valuta asing. Kebijakan ini membuat banyak warga Indonesia mencoba peruntungan dengan mengajukan beasiswa, termasuk Habibie.

"Tetapi saya tidak boleh (menerima beasiswa) saat itu. Bukan karena orang tua saya kaya raya, tetapi karena ibu saya," ujar Habibie.

Rupanya, sang ibunda Habibie memiliki alasan dibalik tindakannya melarang Habibie untuk mengambil beasiswa. Setelah ayah Habibie meninggal dunia saat dirinya berusia 13 tahun, sang ibunda berjanji untuk membiayai segala keperluan anak-anaknya dengan usaha sendiri hingga menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.

"Beasiswa tidak jadi saya ambil, tetapi saya diberi izin untuk membeli valas sebesar 375 mark (mata uang Jerman), 200 mark habis untuk beli pakaian saya," ujarnya sembari tertawa.

Tak seperti mahasiswa Indonesia lain yang memiliki paspor biru karena beasiswa, paspor Habibie saat itu berwarna hijau yang berarti penduduk sipil biasa.

Belum lagi soal dana. Ketika mahasiswa lain menerima sokongan dana melalui beasiswa, Habibie harus rela susah payah menunggu kiriman uang dari sang ibunda.

"Terkadang uang terlambat datang, setengah mati saya makan. Saya juga tidak bisa naik bis dan terpaksa jalan kaki. Tetapi saya senang," ujarnya.

Tak ada masjid

Namun, Habibie tidak menampik dirinya juga mengalami kesulitan atau rindu dengan keluarga. Ia mencoba mencari masjid untuk beribadah sambil menenangkan diri, namun sia-sia.

"Tidak ada masjid. Ada gereja. Di depan gereja Katolik, saya berkata, 'Ya Allah, gedung ini dibuat oleh manusia yang cinta padamu. Perkenankan saya untuk memasuki gedung ini dan beribadah sesuai dengan cara dan budaya saya untuk keluarga dan bangsa saya'," ujarnya pelan.

Dari sini, ia pun menyadari kemegahan bangsa Indonesia. Dikaruniai beragam adat, budaya dan agama, Habibie merasa Indonesia adalah negeri tanpa sentimen SARA.

Duka Habibie semakin membakar semangatnya untuk mewujudkan cita-cita. Ia bermimpi bahwa suatu saat nanti Indonesia bisa memiliki pesawat terbang sendiri yang mampu mengangkut barang dan manusia di negeri kepulauan ini.

Bermodal secukupnya dan tekad kuat yang diwariskan langsung oleh sang ibunda, Habibie kemudian menjadi pengembang pesawat pertama dalam sejarah Indonesia.

Habibie, merupakan salah satu tokoh diaspora Indonesia. Semangatnya membangun Indonesia, meski tak berada di Tanah Air, menjadi inspirasi bagi para diaspora Indonesia lainnya di seluruh dunia. (ama/ama)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER