Bogor, CNN Indonesia -- Di satu wilayah pertanian kecil di provinsi Nusa Tenggara Barat, ribuan perempuan setiap tahun berangkat ke Timur Tengah untuk bekerja sebagai tukang masak, pembersih dan pengasuh anak-anak.
Gregory Randolph, seorang peneliti, mengatakan pembantu rumah tangga dari kabupaten Sumbawa, yang berpenduduk sekitar 400 ribu orang- ini mengirim dana sebesar hampir USS100 juta dalam lima tahun terakhir. Dana itu digunakan untuk pembangunan rumah baru yang modern dan membeli telepon selular, disamping juga untuk biaya pendidikan dan kesehatan.
Akan tetapi, studi yang dilakukan oleh Randoph menunjukkan bahwa meski dana yang dikucurkan ke kabupaten Sumbawa oleh para TKW dalam setengah abad terakhir ini begitu besar, lapangan kerja di wilayah itu tetap kurang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Pekerja migran tidak berhasil menciptakan pembangunan ekonomi di wilayah asal mereka,” kata Randolph pada Rabu (13/8) di Bogor.
“Apapun manfaat migrasi dan dana yang dikirim …ternyata tidak meliputi pembangunan yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang bagus. Fakta ini terkonfirmasi berulang kali dalam wawancara yang saya lakukan di Nusa Tenggara Barat.”
Bank Dunia mengatakan bahwa secara global terdapat sekitar 250 juta pekerja migran yang diperkirakan mengirim dana sekitar US$440 miliar setiap tahun ke negara asal mereka.
Studi Randolph ini menyebutkan bahwa pada 1980-an, Indonesia bahkan memasukkan migrasi dalam rencana pembangunan, dan menyebutkan “ekspor tenaga kerja pelayanan” sebagai salah satu prioritas utama dalam Repelita 1994-1999.
Dia menulis bahwa antara 2006-2014, lebih dari 50 ribu warga Sumbawa meninggalkan Indonesia untuk bekerja di luar negeri, dan hampir seluruhnya adalah kaum perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Studinya menemukan bahwa pengeluaran terbesar dari dana yang dikirim para pekerja migran untuk pendidikan dan kesehatan keluarga mereka, tidak berhasil menciptakan lapangan pekerjaan yang stabil ataupun membuat generasi muda menjadi lebih berpendidikan agar bisa menjadi pekerja migran yang memiliki keahlian tertentu.
“Dana dari pekerja migran tidak berdampak positif kecuali bagi pekerja dan keluarga mereka, dan dampak ini pun tidak bisa menghilangkan kebutuhan untuk generasi mendatang sehingga mereka pun harus bermigrasi,” tulisnya.
Randolph menyatakan bahwa masalahnya adalah tidak ada upaya menyalurkan dana remitan ini untuk pembangunan ekonomi di masyarakat asal pekerja migran itu sendiri.
 Sekitar seribu pekerja Indonesia melakukan pertemuan di Jakarta yang juga dihadiri oleh Menlu Retno Marsudi. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
“Pemerintah cenderung memandang pekerja migran sebagai konsumen di tempat asalnya…mereka mengirim uang untuk dibelanjakan, atau membawa sendiri uang itu dan kemudian membelanjakannya. Pemerintah tidak bisa membayangkan bahwa pekerja itu bisa juga menjadi produsen,” katanya.
Selain memusatkan perhatian pada eksploitasi dan perlindungan pekerja migran, Randolph juga meminta sekitar 200 lebih pakar migrasi dan tenaga kerja yang hadir dalam konferensi selama tiga hari di Bogor ini untuk mempertimbangkan pembangunan ekonomi di daerah asal pekerja.
“Kita memerlukan model-model baru dan cara baru bagaimana hasil kerja keras pekerja di luar negeri bisa membuahkan hasil untuk masyarakat daerah asal mereka,” kata Randolph.
“Kita bisa membantu pekerja migran mengumpulkan sumberdaya yang mereka miliki dan membentuk koperasi atau perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang atau jasa…mereka bisa memimpin langkah untuk menggantikan paradigma pembangunan yang sudah ketinggalan jaman ini…dengan paradigma baru yang bisa memberdayakan komunitas pekerja migran dan membuat bekerja di luar negeri sebagai satu pilihan bukan satu kebutuhan.”
Dia menekan pemerintah untuk melatih para pekerja migran di bidang manajemen dan investasi dana remiten, dan mengembangkan model-model pembangunan investasi kolektif dimana para pekerja bisa menabut untuk memulai perusahaan kecil dan menengah.
Dalam laporan ini, Randolph mengusulkan agar Sumbaya yang dalam satu dekade terakhir mengalami peningkatan dalam jumlah perkebunan jagung, mengembangkan bisnis pemrosesan pertanian, bukan lagi mengirim bahan mentah ke wilayah lain di Indonesia.
(yns)