Jakarta, CNN Indonesia -- Sorot mata Ahmad Hassan Makur dan istrinya, Khadijah Hassad, meredup saat mengenang sebagian keluarga mereka yang masih tinggal di Suriah. Suaranya sarat kekhawatiran saat menuturkan tentang kondisi keluarga mereka, terutama anak lelakinya yang masih tinggal di Aleppo.
Meski hidup di pengungsian serba terbatas, setidaknya Ahmad dan keluarganya tidak perlu mencemaskan serangan udara dan peperangan yang terus mengoyak Aleppo. Berbeda dengan sebagian warga Suriah, ia tak ingin pindah ke Eropa. Pria 50 tahun ini memilih berdiam di penampungan pengungsi, mencari nafkah sebagai sebagai tukang listrik di Kamp Nizip 2, Turki, dan berharap suatu hari nanti kembali ke kampung halamannya.
Ahmad termasuk pengungsi yang tinggal di Kamp Nizip 2 sejak awal. Kamp Nizip 2 didirikan oleh Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat Turki (AFAD) pada Februari 2013 di pinggiran kota Nizip, Propinsi Gaziantep di perbatasan Turki dan Suriah. Sejak saat itu, kamp Nizip 2 menjadi rumah bagi ribuan pengungsi Suriah, dari 2.000 orang di awal tahun 2013 hingga kini membengkak menjadi 4829 orang. Fasilitas di Nizip 2 terbilang memadai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka tinggal di kontainer berukuran 21 meter persegi, yang dilengkapi dengan dapur, kamar mandi, dan AC. Di penampungan pengungsi itu terdapat berbagai fasilitas, seperti klinik 24 jam, sekolah, arena olahraga, dan supermarket.
Rumah model kontainer ini hanya ada di enam penampungan, selain itu para pengungsi ditempatkan dalam tenda-tenda seperti di kamp Nizip 1. Lengkapnya fasilitas, membuat Nizip 2 menjadi kamp yang kerap disambangi para tamu negara, seperti Kanselir Jerman, Angela Merkel, yang berkunjung pada April 2016 lalu.
 Kondisi pengungsi Suriah di Kamp Nizip 2, Gaziantep, Turki. (CNN Indonesia/Ardiana W. Hapsari) |
Saat itu, Turki dan Jerman bersepakat menjalin kerja sama dalam menangani pengungsi Suriah. Jerman berjanji memberikan bantuan finansial untuk menangani pengungsi dan menghapuskan visa bagi warga Turki yang akan mengunjungi zona Schengen. Namun mundurnya Perdana Menteri Ahmet Davutoglu yang menjadi ujung tombak perundingan membuat kesepakatan ini kembali mengambang. Apalagi Presiden Recep Tayyib Erdogan menolak didikte oleh sederet persyaratan yang ditetapkan oleh Jerman, salah satunya tuntutan untuk mereformasi hukum anti terorisme Turki.
Perkara pengungsi menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Turki yang berbagi perbatasan dengan Suriah sepanjang 822 kilometer. Pengungsi mulai berdatangan sejak awal konflik di Suriah pecah pada 2011 dan jumlahnya terus bertambah seiring dengan meningkatnya eskalasi perang sipil dan serangan ISIS.
Data yang dirilis UNHCR menyebutkan Turki sebagai negara yang menampung pengungsi Suriah dalam jumlah paling besar. AFAD menyatakan dari 2,75 juta pengungsi Suriah yang berada di Turki, sekitar 270.000 orang menghuni kamp.
Pemerintah Turki memasukkan para pengungsi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang mampu secara finansial dan kelompok yang tidak mampu. Kelompok yang mampu dianggap bisa hidup secara mandiri dengan menyewa rumah atau apartemen, sedangkan mereka yang tidak mampu ditampung dalam 25 kamp yang tersebar di berbagai wilayah.
Pemerintah Turki sudah mengeluarkan dana US$10 miliar untuk menangani para pengungsi Suriah, sedangkan dana dari bantuan internasional hanya US$461 juta.
"Dalam 3-4 tahun ke depan, Turki akan membutuhkan 20 miliar dollar Amerika untuk penanganan pengungsi, terutama untuk pemenuhan kebutuhan akomodasi, air bersih, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur," kata Hamza Tasdelen, Wakil Presiden AFAD, kepada CNN Indonesia.
 Kondisi pengungsi Suriah di Kamp Nizip 2, Gaziantep, Turki.(CNN Indonesia/Ardiana W. Hapsari) |
Angka inilah yang akan dibawa oleh Turki ke ajang KTT Kemanusiaan Dunia yang akan digelar 23-24 Mei 2016 di Istanbul. Pertemuan ini membahas krisis migrasi manusia terbesar sejak Perang Dunia ke-2 dan solusinya. Di ajang ini Turki mengharapkan dunia internasional ikut memikirkan nasib jutaan pengungsi Suriah dan memberikan bantuan finansial kepada Turki sebagai negara yang menampung pengungsi paling banyak.
"Turki memerlukan sumber daya yang bisa diandalkan dan perlu mencari mekanisme baru untuk membiayai pengungsi, baik berupa bantuan kemanusiaan maupun dari sisi pembangunan," kata Levant Murat Burhan, wakil menteri luar negeri Turki.
KTT ini diharapkan menjadi titik tolak bagi dunia internasional untuk mengambil langkah mengatasi masalah-masalah kemanusiaan, termasuk isu pengungsi Suriah.
Resolusi yang dihasilkan akan dibawa ke di Sidang Umum PBB mendatang untuk pembahasan lebih luas. Namun tanpa langkah konkret untuk menghentikan peperangan, arus pengungsi tidak akan pernah bisa surut.
Tanpa perdamaian di Suriah, Ahmad kembali harus memendam angan-angan untuk pulang ke tanah airnya, "Tidak ada yang bisa saya lakukan di pengungsian ini untuk mengubah kondisi di Suriah, saya hanya bisa berharap. Anda bertanya apa yang paling saya rindukan dari Suriah? Semuanya. Saya merindukan segala hal di Suriah."
(den)