Jakarta, CNN Indonesia -- Lima puluh dua tahun yang lalu, tepatnya pada 11 Januari 1964, Surgeon General yang membawahi lembaga kesehatan publik Amerika Serikat, Dr. Luther Terry, mengeluarkan laporan pertama pemerintah soal bahaya rokok bagi kesehatan. Laporan ini menjadi pembuka peperangan antara pemerintah AS dengan rokok, sebuah perjuangan yang juga dilakoni oleh negara-negara lainnya di seluruh dunia.
Dalam laporan itu, Terry menyebutkan bahwa rokok menyebabkan kanker paru-paru dan serangan jantung. Laporan ini disusul pengumuman berikutnya pada 1972 oleh Surgeon General bahwa perokok pasif sama berisikonya dengan perokok aktif, bisa kanker dan gangguan pada janin.
Setahun sejak laporan tahun 1964, bungkus rokok di AS wajib menyertakan peringatan bahaya tembakau. Tahun 1969, AS mengeluarkan undang-undang yang melarang iklan rokok di televisi dan radio, namun baru dipraktikkan pada 1971.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam perjalanannya, pada tahun 2015, upaya AS mengurangi jumlah perokok menuai hasil yang memuaskan. Menurut statistik pemerintah yang dikutip
CNN, perokok dewasa di AS kini kurang dari 15 persen dari populasi negara itu.
Laporan lembaga medis AS setengah abad lalu itu menjadi pembuka kesadaran di berbagai negara, seperti Kanada, Italia dan Skotlandia, yang juga menerapkan peraturan yang sama. Namun baru pada tahun 2005 badan kesehatan dunia di PBB, WHO, menelurkan Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau atau FCTC. Konvensi ini adalah yang paling cepat diratifikasi dalam sejarah PBB. Sebanyak 180 negara telah meratifikasinya. Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang belum meratifikasinya, bersama dengan Amerika Serikat.
Menurut WHO, FCTC bertujuan untuk "melindungi generasi masa depan dari masalah kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi akibat konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau dengan memberikan kerangka pengendalian tembakau bagi negara-negara peratifikasi."
Setidaknya ada 11 langkah yang diterapkan FCTC, di antaranya adalah memperketat regulasi, memberikan label peringatan pada kemasan, memberi pengetahuan bahaya merokok kepada publik dan melindungi para perokok pasif.
Menurut data lembaga non-profit anti-rokok, Action on Smoking and Health (ASH), di seluruh dunia ada satu orang meninggal akibat rokok setiap enam detik, atau 10 orang setiap satu menit. Lebih dari 600 ribu perokok pasif meninggal di seluruh dunia setiap tahunnya, sepertiganya adalah anak-anak.
Namun beberapa negara sulit menerapkan larangan merokok karena industri tembakau adalah sumber keuangan besar. Data ASH menunjukkan, industri tembakau menghasilkan keuntungan US$664 miliar pada 2010.
Bhutan, pelopor anti-rokokDi luar dugaan, negara kecil di Himalaya, Bhutan, menjadi negara pertama yang menerapkan larangan merokok. Pada 17 Desember 2005, kerajaan Bhutan melarang merokok di publik dan penjualan rokok. Pelanggarnya bisa didenda hingga US$232 atau lebih dari Rp3,1 juta, setara dua bulan rata-rata penghasilan warga di negara itu.
Pelarangan di Bhutan membuka bisnis gelap rokok selundupan dari India. Saat ini pemerintah Bhutan membolehkan aparat menggeledah rumah para penjual rokok. Penyelundup rokok ilegal di Bhutan kini diancam lima tahun penjara.
Larangan merokok kemudian diikuti oleh China pada tahun 2015. Berita ini menjadi kabar gembira, pasalnya China adalah produsen dan konsumen rokok terbesar di dunia. Ada lebih dari 300 juta perokok, atau sekitar 28 persen dari populasi dewasa Tiongkok. Artinya, satu dari tiga rokok di dunia dihisap di China.
China memang belum memiliki undang-undang menyeluruh larangan merokok, namun pemerintah Beijing pada 1 Juni 2015
melarang merokok di dalam ruangan ibukota, termasuk di restoran, bar, hotel, bandara, dan fasilitas transportasi publik. Undang-undang ini juga mencakup larangan merokok di beberapa tempat luar ruang, seperti taman kanak-kanak, rumah sakit dan kampus.
Pada Juni tahun lalu, China mengeluarkan peraturan soal rokok yang dianggap paling ketat di negara itu. Undang-undang yang dinilai mulai "bertaring" ini berisi denda hingga 200 yuan (Rp414 ribu) bagi individu yang merokok di tempat umum, dan 10 ribu yuan (Rp20 juta) bagi penjual rokok ilegal.
Mereka yang melanggar peraturan ini sebanyak tiga kali akan dipermalukan dengan disebut namanya di situs pemerintah.
China masih menjadi salah satu negara dengan harga rokok termurah, sekitar US$1.50 (Rp20 ribu) per bungkus untuk merek terkenal seperti Zhongnanhai. Inilah sebabnya megapa Bernhard Schwartländer, perwakilan WHO di Beijing, menyebut perjalanan China melawan "naga rokok" masih panjang.
Rokok termahalAustralia sementara itu, patut diacungi jempol dalam upaya pengentasan kebiasaan merokok. Pemerintah Canberra mengajukan kenaikan cukai tembakau pada tahun 2020, menjadikan harga per bungkus rokok mencapai AU$45 atau hampir Rp450 ribu.
Pemerintah Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull pada April lalu menyetujui peningkatan cukai rokok hingga 12.5 persen per tahun antara 2017 dan 2020, meningkatkan pendapatan negara di sektor ini menjadi US$4,7 miliar.
WHO merekomendasikan pajak cukai mencapai 70 persen dari sebungkus rokok. Langkah peningkatan pajak ini lebih dianggap demi kesehatan ketimbang perkara ekonomi.
Saat ini harga rokok di Australia termasuk yang termahal di dunia. Harga sebungkus rokok merek Marlboro di negara itu dibanderol hingga Rp238 ribu. Bandingkan dengan Indonesia yang dihargai hanya sekitar Rp18 ribu.
Australia memang dikenal sebagai negara yang menerapkan undang-undang anti-rokok terketat di dunia. Sejak tahun 2001, bungkus rokok di negara ini tanpa logo merek, hanya ditampilkan gambar mengerikan dampak merokok dan peringatan kesehatan.
Soal logo dan peringatan pada kemasan, jelang Hari Tanpa Tembakau Dunia, Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara, SEATCA, mengeluarkan
laporan soal praktik terbaik penerapan aturan ini. Menurut rekomendasi WHO yang juga masuk dalam salah satu sasaran FCTC, peringatan dan gambar dampak merokok harus setidaknya mencakup 75 persen dari bungkus rokok. SEATCA menemukan, hanya empat dari 10 negara ASEAN yang memenuhinya, yaitu Thailand, Brunei, Laos dan Myanmar. Indonesia paling bontot, dengan gambar yang hanya memenuhi 40 persen bungkus rokok.
Indonesia dan sembilan negara ASEAN, kecuali Brunei, juga dinilai "menyesatkan" dengan mengizinkan nama jenis rokok seperti "mild" atau "light".
Konsekuensi larangan rokokTidak dipungkiri bahwa pengetatan merokok di berbagai negara sukses besar. Namun di balik itu ada upaya penyelundupan rokok yang masif dan penjualan di pasar gelap.
Di Australia contohnya, awal tahun ini aparat berhasil mencegah penyelundupan 13 juta rokok dan 8 ton daun tembakau ke Melbourne.
Hal ini menjadi masalah bagi pemerintah Australia. Untuk itu Turnbull akan menambah anggaran operasional bagi Tim Pemeriksa Tembakau dari Pasukan Perbatasan Australia hingga US$7,7 juta untuk mencegahpenyelundupan.
Menurut Tony Newman dari Drug Policy Alliance, pasar gelap dan penyelundupan adalah buah dari pelarangan merokok. Larangan penuh merokok, kata dia, malah justru akan menyebabkan bencana yang sama seperti larangan peredaran narkoba.
Dalam tulisan opini di
Huffington Post tahun 2011, Newman mengatakan larangan merokok akan menyebabkan kekerasan akibat terbukanya pasar gelap, meningkatnya permintaan dan penyelundupan. Newman mengambil contoh pelarangan mariyuana dan tanaman koka yang menyebabkan 35 ribu kematian di Meksiko hanya dalam waktu empat tahun.
Warga akan membeli rokok secara ilegal yang dijual para "bandar", seperti halnya membeli narkotika. Akan ada penembakan di jalan dan pembunuhan untuk penjualan rokok, kata Newman.
Menurut Newman, rokok seperti halnya miras dan ganja, telah memiliki permintaan yang stabil dan terus menerus. Pelarangan malah akan menyebabkan bahaya yang lebih besar.
"Kita harus merayakan kesuksesan dalam pembatasan rokok dan terus mendorong masyarakat mengurangi atau berhenti merokok, tapi jangan terbawa suasana dan berpikir bahwa mengkriminalisasi perokok atau membuat rokok ilegal adalah jawabannya," kata Newman.
(den)