Jakarta, CNN Indonesia -- Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan umum Presiden Amerika Serikat menyisakan banyak tanya. Selain masa depan AS di tangan sosok kontroversial tersebut, publik kini juga mempertanyakan sistem jajak pendapat di negara itu.
Pasalnya, hampir semua jajak pendapat yang digelar sebelum pemilu menunjukkan Trump akan dikalahkan oleh rivalnya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.
Sejak masa kampanye dimulai pada pertengahan September lalu, setidaknya 20 lembaga survei melakukan total lebih dari 80 jajak pendapat. Dari semuanya, hanya satu organisasi yang membuka peluang kemenangan Trump, yaitu Los Angeles Times bersama USC Tracking.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jelas ada yang salah di sini," ujar Larry Sabato, seorang profesor politik dari Universitas Virginia, kepada AFP, Selasa (8/11).
Menurut Sabato, kesalahan tersebut terjadi karena kebanyakan penggelar jajak pendapat terlalu mengukur sampel mereka dari komposisi pemilih seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya. Mereka tidak mempertimbangkan masyarakat yang bungkam.
Sabato juga mengatakan bahwa kebanyakan institusi pun tidak mempertimbangkan perubahan demografi masyarakat dari terakhir kali pemilu diadakan. Mereka masih menganggap perilaku di setiap negara bagian sama, padahal semua sudah jauh berbeda.
Ia kemudian menarik contoh, ketika lembaga survei masih menganggap pemilih kulit putih di kawasan pinggiran akan memilih Clinton, padahal kini mulai tumbuh sentimen anti-Hillary di beberapa daerah.
Sabato menganggap kinerja lembaga survei menurun ketimbang pemilu sebelumnya, ketika mereka masih dapat memperkirakan menurunnya popularitas Obama di mata pemilih kulit hitam.
Seorang analis yang enggan disebut identitasnya juga mengatakan kepada AFP bahwa lembaga survei internal tim Clinton pun tidak mempertimbangkan faktor perubahan ini.
"Mereka benar-benar salah dan membuang kesempatan," katanya.
Namun, Sabato mengatakan bahwa tim Partai Demokrat sebenarnya sudah mengetahui berkembangnya kebencian atas Clinton yang dianggap sebagai bagian dari jajaran pejabat korup di Washington ini. Sayangnya, mereka tidak mengetahui kebencian itu sudah sebegitu dalam.
"Saya tidak tahu seberapa dalam perbedaan itu," ucap ahli strategi Partai Demokrat, Paul Begala, kepada CNN.
Sabato mengaku bingung dengan ketidakpekaan lembaga survei ini. Ketika ditanya bagaimana masa depan survei di AS, Sabato pun hanya dapat menjawab, "Sangat membingungkan."
Ia pun mendorong agar lembaga survei mulai memikirkan metode lain dalam melakukan jajak pendapat. Menurut Sabato, salah satu tantangan bagi lembaga survei sekarang ini adalah berkurangnya keinginan publik untuk mengikuti jajak pendapat melalui telepon.
"Ke depannya, jajak pendapat akan dilakukan melalui internet. Internet bisa diandalkan asal dilakukan dengan baik," katanya.
(has/has)