Jakarta, CNN Indonesia -- Momen mundurnya
Amerika Serikat dari perjanjian nuklir
Iran pada awal Mei lalu bisa dibilang berdekatan dengan rencana Presiden Donald Trump bertemu dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un.
Sebagian pihak melihat Trump cenderung lebih melunak saat menghadapi Korut ketimbang Iran. Padahal, kedua negara sama-sama menjadi tantangan politik luar negeri AS selama ini, terutama soal pengembangan senjata nuklir.
Meski Korut belum menunjukkan niat untuk melucuti senjata nuklir, Trump berkeras merealisasikan pertemuan dengan Kim yang rencananya berlangsung 12 Juni mendatang di Singapura. Presiden AS ke-45 itu menilai pertemuannya dengan Kim bisa jadi awal dialog dengan Korut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Trump sejauh ini tak pernah menunjukkan niat ingin berdialog dengan Iran terutama soal denuklirisasi, apalagi AS sudah membatalkan perjanjian nuklir.
Pengamat politik internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menilai isu nuklir Korut "lebih mudah" ditangani oleh AS dibandingkan nuklir Iran.
Sebab, selain masalah nuklir, pengaruh Iran di Timur Tengah juga menjadi salah satu tantangan AS selama ini di kawasan tersebut.
"Menangani Korut bagi AS jauh lebih murah dari menangani Iran. Sebab isu Korut jelas soal denuklirisasi, sementara Iran bisa merembet ke isu moral dan agama jika AS tidak hati-hati," tutur Teuku saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (7/6).
Selain itu, Teuku menganggap bahwa isu nuklir Korut jauh lebih krusial dibandingkan nuklir Iran. Sebab, Iran sebenarnya hanya memiliki teknologi rudal tapi belum memiliki sistem persenjataan nuklir. Sementara itu, Korut memiliki senjata nuklir dan sistem persenjataannya.
Isu nuklir Korut, paparnya, juga sudah lama mengancam serta mempengaruhi sekutu-sekutu AS di Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, hingga Taiwan.
Meski krusial, Teuku menganggap isu nuklir Korut lebih mudah ditangani karena AS mendapat dukungan penuh dari tiga sekutunya itu bahkan dunia internasional soal denuklirisasi di Semenanjung Korea.
"Sementara Iran, sekutu AS di Timur Tengah memang ada seperti Saudi dan Israel. Tapi begitu masuk isu agama--Islam vs Yahudi--sekutu-sekutu AS itu belum tentu solid," ujar dosen jurusan hubungan internasional itu.
Rusak Kredibilitas ASDi satu sisi, Suzanne DiMaggio, analis senior New America Foundation, menganggap perbedaan sikap Trump yang tampak lebih keras terhadap Iran ini malah bisa menjadi bumerang bagi AS saat menghadapi Korut nanti.
Sebab, menurutnya keputusan Trump menarik diri dari perjanjian dengan Iran bisa merusak kredibilitas AS yang sudah tidak dipercaya oleh sejumlah negara, termasuk Korut.
"Sudah jelas bahwa keputusan Trump yang tidak mengikuti komitmen AS sejak awal dalam perjanjian Iran memiliki dampak negatif terhadap rencana kesepakatan dengan Korut," kata DiMaggio seperti dikutip
The Washington Post.
"Dengan keluar dari kesepakatan iran, Trump hanya mengirim pesan buruk kepada Kim Jong-un bahwa jika Anda telah melaksanakan semua komitmen dalam perjanjian itu, Anda tetap tidak bisa bergantung dan percaya pada AS."
DiMaggio menganggap Korut bisa saja melihat perjanjian nuklir Iran sebagai cetak biru kesepakatannya dengan AS nanti. Dengan keputusan Trump menarik diri dari perjanjian itu, dia tak menutup kemungkinan bahwa Korut semakin sulit untuk mempercayai AS.
Sejumlah pengamat lainnya bahkan menilai Kim bisa saja walk out saat dialog berlangsung jika pembicaraan tidak sesuai dengan keinginannya.
"Saya cenderung berpikir bahwa Kim Jong-un hanya akan bernegosiasi kesepakatan berdasarkan kepentingannya," kata Kelly Magsamen, eks staf pemerintahaan Presiden Barack Obama terkait kebijakan AS terhadap Iran dan Korut.
[Gambas:Video CNN] (nat)