Jakarta, CNN Indonesia -- Dua jurnalis kantor berita
Reuters di
Myanmar, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama. Keduanya divonis tujuh tahun penjara karena dianggap bersalah membocorkan rahasia negara dengan liputan pembantaian 10 lelaki Rohingya oleh tentara Myanmar.
"Kami mengajukan banding hari ini atas nama Wa Lone dan Kyaw Soe Oo karena putusan pengadilan itu salah," kata pemimpin redaksi Reuters, Stephen J. Adler dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dikutip
AFP, Senin (5/11).
"Dalam menyebut mereka sebagai mata-mata, itu mengabaikan adanya bukti kuat dari polisi, pelanggaran proses hukum yang serius, dan kegagalan penuntut untuk membuktikan salah satu elemen kunci dari kejahatan," kata dia menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wa Lone dan Kyaw Soe Oo dinyatakan bersalah di bawah undang-undang kerahasiaan negara, setelah melakukan peliputan soal pembunuhan terhadap 10 pria Rohingya dan operasi militer yang brutal pada September lalu.
Keputusan itu menuai kecaman keras dan dianggap sebagai pengadilan palsu yang sedang berusaha mengintimidasi wartawan di Myanmar.
Selama persidangan berlangsung, seorang petugas kepolisian mengatakan bahwa atasannya telah memberikan perintah ke anak buahnya untuk membuat operasi jebakan untuk menjerat kedua wartawan. Namun, hakim mengabaikan kesaksian tersebut.
Pemimpin Sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi mendapat kritikan secara luas karena menolak ikut campur untuk mengatasi kasus ini, meskipun pemerintahannya memiliki kekuatan untuk membatalkan dakwaan.
Pengadilan Tinggi kemungkinan akan memakan waktu hingga lima atau enam bulan untuk memutuskan banding. Selama kurun waktu tersebut, para wartawan akan tetap berada di penjara.
Dua wartawan itu sedang menyelidiki adanya pembantaian terhadap 10 pria Rohingya yang dilakukan oleh tentara Myanmar di desa Inn Din, Negara Bagian Rakhine pada 2017 lalu. Kekerasan itu menyebabkan ribuan kaum Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh.
Para pengungsi memberikan kesaksian yang konsisten mengenai adanya pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran yang dilakukan secara terus-menerus dan sistematis.
Para penyelidik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa kekerasan itu menuntut para pejabat Myanmar yang melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC).
Myanmar bersikeras bahwa kampanye yang terjadi merupakan tanggapan dari serangan militan Rohingya terhadap oleh pasukan keamanan. Myanmar menolak yurisdiksi ICC atas negara itu.
Pada 15 November mendatang, sebanyak 2.000 kaum muslim Rohingya akan kembali ke Myanmar sebagai bagian dari kesepakatan repatriasi yang ditandatangani dengan Bangladesh pada 2017 lalu.
Namun, PBB dan berbagai kelompok hak asasi manusia mencegah dan berusaha mencari bukti bahwa kondisi pengembalian mereka ke Myanmar harus aman dan bermartabat.
(cin/ayp)