Peneliti Balitbangkumham Usul Poin Revisi UU Bantuan Hukum

Advertorial | CNN Indonesia
Kamis, 27 Agu 2020 00:00 WIB
Pada November 2020, UU Bantuan Hukum akan memasuki usia ke-9.
Foto: dok. BPHN Kemenkumham
Jakarta, CNN Indonesia --

Pada November 2020, UU Bantuan Hukum akan memasuki usia ke-9. Setelah lebih dari sewindu dipraktikkan, mulai nampak perubahan yang berdampak baik bagi pemberdayaan hukum masyarakat dan penguatan akses layanan keadilan.

Penerima bantuan hukum menunjukan tren meningkat sepanjang 2016-2019. Pada 2016 tercatat 7.755 penerima dan meningkat menjadi 11.473 penerima bantuan hukum litigasi di 2019.

Peningkatan juga terjadi di jumlah Pemberi Bantuan Hukum (PBH) yang terverifikasi. Terjadi peningkatan sebanyak kurang lebih 30% dengan total 524 PBH di periode 2019-2021. Verifikasi ini berfungsi sebagai standardisasi kualitas layanan bantuan hukum di seluruh Indonesia.

Meski begitu, berdasarkan catatan yang dimiliki oleh BPHN, saat ini hanya 0,04% dari seluruh masyarakat miskin di Indonesia yang telah menerima bantuan hukum litigasi. Peneliti Balitbang Hukum dan HAM Nevey Varida melihat masih ada beberapa poin yang membuat UU ini perlu disempurnakan.

Dalam presentasi penelitian Balitbangkumham, Nevey memaparkan poin penting yang harus didiskusikan jika pemerintah ingin merancang revisi atas UU Bantuan Hukum.

Pertama, pembahasan periode yang ideal mengingat pelaksanaan verifikasi dan akreditasi PBH yang dilakukan setiap tiga tahun dinilai terlalu lama, sedangkan akses keadilan bagi masyarakat semakin mendesak.

Serapan anggaran bantuan hukum selama periode akreditasi satu tahun sebelumnya ditambah satu semester di tahun ke-2 menjadi catatan bagi panitia verifikasi dan akreditasi untuk memberikan kelulusan terhadap organisasi bantuan hukum tersebut.

Di samping itu, ada juga hal-hal teknis lainnya seperti jumlah kasus litigasi dan nonlitigasi yang telah dilakukan, ketersediaan jumlah advokat dan paralegal yang dimiliki, penanganan kasus pro bono, penilaian hasil monitoring dan evaluasi oleh panita pengawas daerah.

Kedua, perluasan pengertian penerima bantuan hukum yang juga meliputi kelompok rentan dan marjinal. Definisi keduanya harus dituliskan dalam Perubahan UU Bantuan Hukum karena perundangan Indonesia belum memiliki definisi yang sama mengenai terma ini.

Kata rentan memang sempat disebut dalam UU No 16 Tahun 2011 yang menyatakan setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Nevey menjelaskan kelompok marginal dapat meliputi namun tidak terbatas pada penyandang disabilitas, pekerja seks komersial (PSK) yang mendapati diskriminasi, anak dan perempuan yang mendapatkan diskriminasi dan ekspolitasi serta orang yang dengan HIV (ODHA) dan anak yang dengan HIV (ADHA).

Sementara, jika meminjam definisi rentan dalam hukum Belanda, ini bisa terdiri dari pengungsi, orang yang kehilangan tempat tinggal, minoritas kebangsaan, pekerja migran, masyarakat adat, perempuan, dan anak.

Ketiga, mekanisme yang ideal agar pendampingan dalam bentuk litigasi dan nonlitigasi tidak hanya bagi pelaku tetapi juga bagi korban. Pelaksanaan bantuan hukum saat ini memprioritaskan pendampingan litigasi dan alokasi pembiayaan yang lebih besar untuk pendampingan bagi pelaku.

Padahal, menurut Nevey, korban juga berhak didampingi bukan hanya semasa persidangan tapi juga pra dan pascapengadilan, misalnya ketika dilakukan visum et repertum dan rehabilitasi psikologis.
"Selama ini biaya visum masih dibebankan pada pelapor/korban," kata Nevey dalam keterangan tertulis.

Ia menambahkan di beberapa kasus yang korbannya merupakan penyandang disabilitas tuna rungu, biaya penerjemah bahkan masih harus dipenuhi sendiri oleh korban.

Dalam penelitian ini, Balitbangkumham juga membuka diskusi soal kemungkinan dukungan pemerintah daerah dalam pembiayaan bantuan hukum. Saat ini ketersediaan anggaran bantuan hukum dalam APBN sangat terbatas padahal jumlah penerima bantuan hukum terus meningkat. Sehingga bantuan biaya dari pemerintah daerah atau badan lain sesuai ketentuan perundangan juga perlu dirumuskan dalam Revisi UU Bantuan Hukum.

(adv/adv)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER