Pemilihan presiden Amerika Serikat akan segera mencapai puncaknya. Sebagai negara adidaya, orang nomor satu di Negeri Paman Sam akan turut serta mempengaruhi hubungan internasional, termasuk dengan Asia.
Berbagai manuver telah dilakukan dua calon, Donald Trump dan Joe Biden untuk menarik suara.
Melansir The Straits Times, para analis berkata jika Trump kembali menang maka ada sedikit keraguan akan ada kesinambungan kebijakan darinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan mengungkapkan bahwa jika Trump menang kembali ia kemungkinan menggeser Menteri Pertahanan Mark Esper dari kabinet.
Menteri Luar Negeri Mike Pompeo kemungkinan akan dipertahankan karena ia sangat loyal dengan sang presiden. Penasihat ekonomi, Peter Navarro yang pun kabarnya dipertahankan.
Trump pun kemungkinan akan menuntut lebih banyak imbalan dari sekutu sebagai timbal balik kehadiran pasukannya pada masalah Korea Selatan dan Jepang, atau dia akan menarik beberapa dari mereka.
Di balik itu, siapa pun yang memenangkan pilpres, hubungan panas AS-China dinilai beberapa pihak akan berlangsung abadi. Sikap sinis AS pada China pun akan terus berlanjut terlepas siapapun yang menang.
Di tengah perang dagang yang tidak pernah berhenti dan hubungan diplomatik yang terus meningkat ada juga teka-teki soal nasib Hong Kong dan Taiwan.
Penasihat Kabinet China dan pendiri Center for China and Globalization berkata bahwa bagi Tiongkok siapa pun yang menang dalam pilpres periode ini akan jadi tantangan tersendiri.
Trump sendiri di Asia telah berhasil sedikit mencuri perhatian negara-negara barat sebab pertemuan bersejarah dengan pemimpin Korut Kim Jong-un di Singapura pada 2018.
Pertemuan itu menjadi pertama kalinya seorang pemimpin Amerika bertemu dengan pemimpin Korea Utara untuk menyelesaikan masalah nuklir.
Seorang dari lembaga pemikir Sejong Institute mengatakan bahwa Trump layak mendapat pujian atas hal tersebut, dia pun berkata bahwa itu merupakan sebuah pencapaian.
Di luar pencapaian tersebut menurut Lee, Trump "benar-benar menunjukkan ketidakmampuan untuk memahami pentingnya sekutu bagi AS."
Sebagian besar ahli setuju Trump salah mengatur aliansi strategis dengan Jepang dan Korea Selatan, mengekstraksi janji kosong dari Korea Utara dan gagal mengekang China.
Peneliti Lucio Pitlo III di Asia-Pacific Pathways to Progress Foundation menyatakan hingga saat ini belum jelas apakah Biden atau Trump yang paling baik bagi posisi Asia. "Ada pasang surut," kata dia.
Jika Trump terpilih kembali, ia kemungkinan akan melanjutkan caranya yang transaksional. Berjalan dengan dendam dan ketidakpastian menghadapi sekutu atau musuh.
Pada bulan Februari, ketika Trump mengunjungi India, Perdana Menteri Narendra Modi sangat memuji pemimpin AS itu pada rapat umum besar-besaran di Gujarat.
Modi berkata hubungan "jauh lebih besar dan lebih dekat" dengan Amerika Serikat. Ia pun memuji Trump sebagai pemimpin "yang berpikiran besar".
Setidaknya persahabatan antara kedua pria tersebut menunjukkan tingkat kenyamanan dalam hubungan antara kedua belah pihak.
Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden juga merupakan pendukung hubungan dekat dengan New Delhi.
Perlu dicatat pilpres AS kali ini diawasi dengan ketat di Asia Selatan. Tidak lain karena jika Kamala Harris yang merupakan wakil Biden menang, maka dia akan menjadi wakil presiden Amerika pertama keturunan India.
Namun terlepas dari itu, hubungan erat AS dan Asia Selatan telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir, dalam berbagai cara.
AS juga melakukan pendekatan ke Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.
Pekan lalu, Pompeo berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan Presiden Jokowi dan beberapa menteri.
Saat bertemu Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto, Pompeo tidak menyia-nyiakan peluang kerja sama pertahanan kedua negara.
Indonesia, serta seluruh negara Asean disebut membutuhkan kehadiran militer AS yang kuat di kawasan tersebut. Sebab China semakin garang akan klaimnya atas sebagian besar Laut China Selatan.
(ndn/dea)