Calon Presiden petahana Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, berulang kali mengklaim bahwa pilpres tahun ini ada indikasi kecurangan.
Meskipun kecurangan pilpres yang diklaim Trump belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan sebelum pemungutan suara dilakukan, ada beberapa peristiwa di mana para capres dan media massa AS merasa hasil pilpres mencurigakan.
Salah satu pilpres AS di masa kontemporer yang diduga terindikasi ada kecurangan terjadi pada 2004. Dua tahun kemudian, Robert Kennedy Jr., menerbitkan sebuah artikel di majalah Rolling Stones yang mengklaim bahwa pejabat pemilihan di Ohio mencuri suara dari capres dari Partai Demokrat saat itu, John Kerry.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika saat itu Kerry memenangkan suara elektoral Ohio, dia bisa mengalahkan presiden dari Partai Republik, George W. Bush, pada tahun itu.
Ketika Partai Demokrat mengungkit soal kecurangan itu, selisih suara Bush di Ohio mencapai lebih dari 100 ribu, dan hal itu membuat banyak orang mengabaikan tuduhan tersebut.
Akan tetapi, sepanjang sejarah AS, ada empat masa di mana diduga terjadi kecurangan dalam pilpres, yakni pada 1876, 1888, 1960, dan 2000.
Dalam setiap kasus, capres dan partai yang kalah memilih jalan berbeda untuk menanggapi hasil pilpres yang disengketakan.
Dilansir Associated Press, Kamis (4/11), jika ada hasil pemungutan suara yang disengketakan tahun ini, mungkin para capres dapat mengambil pengalaman dari masa lalu.
Pada 1876, tepat sebelas tahun setelah berakhirnya Perang Saudara, semua negara bagian Konfederasi telah diterima kembali ke Union dan proses Rekonstruksi berjalan lancar.
Basis suara Partai Republik terkuat ada di wilayah pro-Union di utara dan penduduk Afrika-Amerika di bagian selatan.
Sementara basis suara Demokrat berada di sekitar wilayah mayoritas penduduk kulit putih di selatan dan wilayah utara yang kurang mendukung Perang Saudara.
Pada saat itu, Partai Republik mencalonkan Gubernur Ohio, Rutherford B. Hayes, sebagai capres. Sementara Partai Demokrat memilih Gubernur New York, Samuel Tilden.
Akan tetapi pada hari pemilihan, terjadi intimidasi terhadap calon pemilih Partai Republik dari penduduk Afrika-Amerika yang tinggal di tiga dari negara bagian di selatan AS, yakni Florida, Lousiana, dan South Carolina. Dewan pemilihan di daerah itu didominasi Partai Republik.
Di tiga negara bagian tersebut, mulanya Tilden sempat memimpin perolehan suara. Namun, karena ada dugaan intimidasi dan kecurangan, dewan pemilihan membatalkan suara elektoral Tilden dan dialihkan kepada Hayes.
Dengan suara elektoral tersebut, Hayes memenangkan suara mayoritas 185-184 melalui Electoral College.
Hasil pilpres tersebut lalu dikirim ke Kongres untuk dihitung pada Januari 1877. Kongres pun membentuk komisi bipartisan yang terdiri dari 15 anggota dan hakim Mahkamah Agung untuk menentukan proses alokasi pemilih dari tiga negara bagian yang disengketakan.
Tujuh anggota berasal dari Partai Republik, tujuh lainnya dari Partai Demokrat, dan satu orang menjadi independen yakni Hakim David Davis dari Illinois. Namun, dia mengundurkan diri dan digantikan oleh Hakim yang pro-Partai Republik, Joseph Bradley.
Bradley lalu bergabung dengan mayoritas Partai Republik dengan perbandingan 8-7, sehingga memberikan semua suara elektoral yang disengketakan kepada Hayes.
![]() |
Pada 1888, Presiden AS dari Partai Demokrat, Grover Cleveland, yang berasal dari New York kembali mencalonkan diri dalam pilpres. Saat itu dia bersaing dengan mantan Senator Indiana, Benjamin Harrison.
Saat itu, surat suara pilpres di sebagian besar negara bagian dicetak, didistribusikan oleh partai politik, lalu diberikan kepada masyarakat. Kala itu, pemilih khusus yang dikenal sebagai "floater" menjual suaranya kepada pembeli yang bersedia membayar dengan harga yang pantas.
Harrison diketahui menunjuk seorang pengacara asal Indiana, William Wade Dudley, sebagai bendahara Komite Nasional Republik. Sesaat sebelum pemilihan, Dudley mengirim surat kepada para pemimpin perwakilan daerah Partai Republik di Indiana untuk membeli suara dengan menjanjikan sejumlah uang.
Dia juga mengirim pedoman berupa instruksi agar membagi pemilih reseptif menjadi "blok lima (blocks-of-five)" guna menerima suap sebagai imbalan untuk memilih Partai Republik. Instruksi itu juga menguraikan bagaimana setiap aktivis Republik akan bertanggung jawab atas lima 'floaters' ini.
Demokrat mendapatkan salinan surat itu dan membeberkannya kepada masyarakat di hari-hari menjelang pemilihan. Harrison akhirnya memenangkan Indiana dengan hanya sekitar 2.000 suara, tapi ia tetap masih bisa menang di Electoral College tanpa negara bagian itu.
Sementara Cleveland benar-benar memenangkan popular vote secara nasional dengan hampir 100 ribu suara, tapi dia kehilangan suara di New York dengan sekitar 1 persen suara. Kerugian Cleveland di New York mungkin terkait dengan skema pembelian suara.
Cleveland tidak memperdebatkan hasil Electoral College. Empat tahun kemudian, dia memenangkan pemilihan ulang melawan Harrison dan menjadi satu-satunya presiden yang menjalani masa jabatan tidak berurutan.
Pilpres AS pada 1960 mempertemukan Wakil Presiden dari Partai Republik, Richard Nixon, melawan Senator dari Partai Demokrat, John F. Kennedy.
Kennedy mengalahkan Nixon dengan hanya sekitar 100 ribu suara, dengan selisih kurang dari 0,2 persen. Kennedy secara resmi mengalahkan Nixon dengan kurang dari 1 persen suara di lima negara bagian yakni Hawaii, Illinois, Missouri, New Jersey, dan New Mexico, ditambah kurang dari 2 persen di Texas.
Banyak perwakilan dari Partai Republik yang menuduh ada indikasi kecurangan, khususnya pada dua lokasi, yakni di Texas dan Chicago.
Jika Nixon memenangkan Texas dan Illinois, dia akan memiliki mayoritas Electoral College.
Surat kabar yang condong ke Republik terus menyelidiki dan menyimpulkan bahwa kecurangan itu terjadi di Texas dan Illinois. Nixon tidak membantah hasil tersebut dan kembali mencalonkan diri pada 1968 dan menang.
Dalam Pilpres AS 2000, banyak negara bagian masih menggunakan surat suara yang dilubangi. Sistem ini dibuat pada 1960-an.
Meskipun surat suara jenis ini memiliki sejarah panjang akan kerusakan dan suara yang terlewat, tapi sepertinya tidak ada yang peduli. Sampai akhirnya warga AS menyadari sistem ini membuat masalah di Florida.
Pada hari pemilihan, media nasional menemukan bahwa "surat suara kupu-kupu (butterfly ballot)" telah membingungkan ribuan pemilih di Palm Beach County. Butterfly ballot adalah surat suara berlubang dengan desain yang melanggar hukum negara bagian Florida.
Banyak pemilih mengira mereka telah memilih kandidat dari Partai Demokrat, Al Gore. Padahal tanpa sadar mereka mencoblos capres lain atau memilih dua capres sekaligus sehingga surat suara menjadi tidak sah.
Sebagai contoh, Capres AS dari Partai Reformasi, Pat Buchanan, menerima sekitar 3.000 suara dari para pemilih. Padahal mungkin para pemilih tersebut bermaksud untuk memilih Gore.
Gore akhirnya kehilangan suara di negara bagian itu dan kalah dari George Walker Bush dengan 537 suara. Dia juga kehilangan suara di Florida dan akhirnya kalah dalam pemilihan.
(ans/ayp)