Amerika Serikat kembali digemparkan dengan insiden penembakan massal. Pada Senin (22/3), seorang pria melontarkan tembakan secara membabi-buta ke arah pengunjung swalayan di Boulder, Colorado.
Penembakan di swalayan King Soopers, Table Mesa, Boulder itu menewaskan 10 orang termasuk seorang anggota polisi. Hingga kini, polisi belum bisa menyimpulkan motif penembakan.
Namun, pelaku yang dikabarkan merupakan imigran Suriah, Ahmad Al Aliwi Allisa (21) dilaporkan merupakan pribadi yang antisosial dan paranoid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir CNN, insiden di Colorado itu merupakan tragedi penembakan ketujuh yang terjadi di Negeri Paman Sam dalam sepekan terakhir.
Sepekan sebelumnya, pelaku penembakan lain menghabisi nyawa delapan orang di Atlanta, Georgia.
Beberapa jam usai penembakan di Colorado terjadi, Presiden Joe Biden menyerukan larangan peredaran senapan serbu.
"Kita bisa melarang senapan serbu dan pistol kapasitas tinggi di negara ini sekali lagi," ujar Biden.
"Saya tidak perlu menunggu satu menit lagi, apalagi satu jam, untuk mengambil langkah-langkah yang masuk akal yang bisa menyelamatkan nyawa di masa depan. Saya mendesak rekan-rekan di Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat untuk bertindak,"ujarnya menambahkan.
Kebijakan tentang kepemilikan senjata api menjadi salah satu isu sensitif di Amerika Serikat selama ini. Kongres tercatat pernah sepakat meloloskan aturan larangan senjata serbu tahun 1994 silam.
Namun, pada 2003, UU itu kedaluwarsa dan tidak diperbarui lagi setelah sejumlah survei menganggap kontrol kepemilikan senjata tak efektif mencegah kekerasan senjata.
Sejak itu, regulasi pengendalian kepemilikan senjata kembali digaungkan. Namun selama ini, Partai Republik dan para pendukungnya menolak gagasan tersebut karena khawatir akan mengancam hak mereka membawa senjata.
Saat ini, parlemen AS memang sedang membahas dua regulasi untuk pengetatan pemeriksaan latar belakang ketika membeli senjata guna menutup celah aturan agar penembakan seperti tragedi di gereja Charleston pada 2015 tak terulang.
Bulan ini, Dewan Perwakilan AS yang didominasi Partai Demokrat meloloskan dua usulan regulasi tersebut. Namun, sejumlah pengamat pesimistis rancangan aturan itu dapat lolos di Senat karena membutuhkan setidaknya sembilan suara dari Partai Republik.
Ketika ditanya wartawan apakah kali ini Biden optimistis UU senjata akan lolos, sang presiden mengaku belum memperhitungkan suara di Senat.
Namun, Juru Bicara Gedung Putih, Jen Psaki, mengatakan bahwa Biden percaya Kongres dan pemerintah harus membawa perubahan untuk melindungi warga AS.
"Dia (Biden) percaya bahwa kita harus bekerja dengan Demokrat dan Republik untuk menyelesaikan pekerjaan untuk kepentingan warga AS, termasuk langkah kepemilikan senjata yang masuk akal," ucap Psaki.
Analis CNN, Stephen Collison, menganggap keteguhan Biden tak cukup memberikan terobosan baru terhadap kebijakan kontrol senjata di Negeri Paman Sam.
Collison bahkan pesimistis bahwa seruan Biden ini bisa menghasilkan undang-undang baru yang berarti mengingat tantangan masih besar dari kubu Partai Republik.
"Dan bahkan tidak jelas apakah Biden dapat melibatkan seluruh kaukus Demokrat (untuk mendukung UU senjata). Anggota paling moderat Demokrat, Senator Joe Manchin dari West Virginia, bahkan mengatakan bahwa RUU tentang senjata api yang disahkan Dewan Perwakilan terlalu luas," kata Collison dalam artikel analisisnya.
Di sisi lain, sejumlah kelompok advokat pengawas senjata mencatat dukungan terhadap pembatasan kepemilikan senjata api sedikit meningkat sejak rentetan penembakan terjadi di AS dalam beberapa waktu terakhir.
Meski begitu, masih membutuhkan banyak dukungan di Senat, terutama dari Partai Republik, untuk bisa mengesahkan larangan kepemilikan senjata api baru.
Namun terlepas dari kesempatan RUU larangan senjata api yang kecil untuk lolos, Collison menuturkan kaum progresif masih bisa berharap bahwa jika draf larangan itu ditolak Senat, bisa memperkuat dukungan terhadap pengajuan penghapusan sistem filibuster.
Sistem filibuster merupakan sebuah aturan prosedur yang mensyaratkan 60 suara mayoritas untuk mengesahkan undang-undang di Senat. Sistem tersebut menggagalkan upaya pengesahan UU kepemilikan senjata api yang sempat dibahas di Senat sebelumnya.
Collison mengatakan minimnya kesempatan meloloskan UU pengendalian senjata di AS menunjukkan pilihan politik yang keras yang harus dibuat oleh seorang presiden setiap hari.
Ia mengatakan meski saat ini Partai Demokrat mengontrol Gedung Putih, Dewan Perwakilan, bahkan Senat, karakteristik politik AS dan sistem filbuster di Kongres membuat posisi sebagai partai mayoritas saja tidak cukup membawa perubahan besar dan berarti.
Collison menuturkan dari Presiden Barack Obama yang trauma dengan pembantaian Sandy Hook hingga Presiden Donald Trump yang menyaksikan pembunuhan massal di Ohio dan Florida menyerukan perubahan aturan kepemilikan senjata di AS.
Namun, Obama hingga Trump yang selama ini dinilai konservatif dan cenderung populis tak bisa mengubah aturan terkait kepemilikan senjata tersebut.
(rds/dea)