Friksi China-Taiwan dan Janji Bertahan Hingga Titik Akhir
Hubungan antara China dan Taiwan semakin memanas dan sangat rentan berubah menjadi konflik terbuka sewaktu-waktu.
Menurut laporan Reuters pada Rabu (7/4), pemerintah Taiwan menyatakan mendeteksi 15 pesawat militer China ke wilayah udara mereka. Sebanyak 12 di antaranya adalah jet tempur.
Sedangkan pesawat intai maritim China memata-matai Taiwan di kawasan Selat Bashi yang memisahkan dengan Filipina.
Taiwan dan China tidak pernah akur sejak 1949. Sebelum membentuk pemerintahan sendiri, pasukan kelompok nasionalis China pimpinan mendiang Jenderal Chiang Kai-shek menundukkan pasukan Jepang pada akhir Perang Dunia II yakni pada 1945.
Chiang lantas terlibat perang saudara dengan pasukan komunis China yang dipimpin Mao Zedong dan kalah. Dia akhirnya memilih mundur ke Taiwan yang merupakan sebuah pulau, sedangkan daratan China dikuasai Partai Komunis China sampai saat ini.
Akan tetapi, Chiang menyatakan Partai Kuomintang mendirikan pemerintahan terpisah dari daratan China. Namun, dia mengatakan partainya bakal mewakili kekuatan politik masyarakat China di Taiwan dan daratan.
Meski begitu, selepas PD II ternyata dunia terbelah menjadi dua kekuatan. Yakni Blok Barat yang mengusung ideologi liberal demokrasi diwakili Amerika Serikat dan Eropa, serta Blok Timur yang mengusung ideologi komunisme dan sosialisme diwakili China dan Uni Soviet.
AS melihat Taiwan yang menolak pemerintah komunis mesti dirangkul. Meski begitu, Presiden AS, Jimmy Carter, sempat memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan pada 1979 dengan alasan mengakui konsep Satu China, dan Taiwan adalah bagian dari daratan China.
Akan tetapi, Kongres AS mengesahkan Undang-Undang Hubungan Diplomatik dengan Taiwan. Isinya menyatakan mereka harus menjalin hubungan tidak resmi dengan Taiwan.
Berbekal beleid itu, AS juga bisa menjual alat utama sistem persenjataan kepada Taiwan. Hal itu yang sangat tidak disukai China.
Di sisi lain, Partai Komunis China dan Partai Kuomintang setuju membuat kesepakatan yang disebut Konsensus 1992. Isinya adalah mengakui kebijakan Satu China.
Di dalam kesepakatan itu Taiwan mengakui mereka adalah bagian dari China. Namun, yang menjadi perdebatan adalah siapa yang dinilai layak memerintah pulau itu.
Akan tetapi, dalam perkembangannya kelompok nasionalis di Taiwan saat ini menolak bergabung dengan China. Kelompok yang keras menolak adalah Presiden Tsai Ing-wen serta Partai Progresif Demokratik.
Alhasil gesekan antara kedua belah pihak terus memanas. Presiden China, Xi Jinping, pun berkali-kali menyatakan tak segan mengerahkan militer untuk menguasai Taiwan.
Apalagi saat ini China sedang gencar memperluas pengaruh militer mereka di Laut China Selatan, yang juga memicu sengketa dengan sejumlah negara.
Dari segi kekuatan militer, China saat ini lebih kuat dari Taiwan. Mereka menduduki peringkat ketiga di dunia.
Tentara China yang aktif mencapai 2.6 juta orang, termasuk cadangan. Sedangkan Taiwan mempunyai 1.8 juta orang tentara.
Jet tempur China berjumlah 1.232 unit. Sementara Taiwan menyimpan 289 jet tempur.
Di sisi lain, militer Taiwan kini tengah disorot karena kecelakaan yang dialami sejumlah alutsista mereka, terutama jet tempur. Hal itu dinilai bisa menyulitkan Taiwan jika China sewaktu-waktu nekat menyerang.
Konflik kedua negara semakin meruncing dengan keterlibatan AS. Negeri Paman Sam kerap mengirim kapal perang ke Taiwan dengan alasan kebebasan navigasi.
Di samping itu hubungan China dan AS masih tegang akibat dampak perang dagang hingga pandemi virus corona. Hal itu memang membuat China geram.
Meski begitu, Menteri Pertahanan Taiwan, Joseph Wu, bersumpah akan mempertahankan tanah air hingga titik darah penghabisan jika diserang.
"Kami akan mempertahankan diri tanpa harus ditanya lagi dan akan berperang jika memang demikian. Jika kami harus mempertahankan diri sampai titik darah terakhir, kami akan bertahan hingga akhir," kata Wu.
(ayp/ayp)