Nama Harakat Al-Muqawamah Al-Islamiyah atau Hamas kembali menjadi sorotan setelah terlibat pertempuran dengan militer Israel di Jalur Gaza, Palestina, setidaknya selama dua pekan terakhir.
Sebelum bentrokan terbaru ini, Hamas dan Israel sudah pernah tiga kali berperang.
Hamas adalah satu dari dua organisasi politik terbesar Palestina. Di awal pembentukannya sekitar 1973, Hamas merupakan organisasi amal dan gerakan sosial untuk membantu warga Palestina yang menjadi korban perang Arab-Israel pada 1963.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum disebut Hamas, kelompok tersebut dikenal dengan nama Mujama Al-Islamiyah, organisasi pentolan Ikhwanul Muslimin, Mesir.
Transformasi Mujama Al-Islamiyah menjadi Hamas berawal ketika pemberontakan warga Palestina atau Intifada I pecah pada 1987-1993.
Saat itu, tokoh Mujama Al-Islamiyah, Syeikh Ahmad Yasin, dan enam petinggi kelompok tersebut mendirikan Hamas sebagai organisasi politik yang memiliki sayap bersenjata.
Sejak itu, Hamas memiliki dua tujuan utama yakni melakukan perjuangan bersenjata melawan Israel dengan sayap militernya, Brigade Izzedine Al-Qassam, dan menyediakan program kesejahteraan sosial bagi rakyat Palestina.
Nama Hamas semakin disorot pasca-Intifada pertama karena menentang perjanjian damai yang diteken Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dengan Israel pada 1993. Alasan penolakan itu karena dalam perjanjian tersebut Palestina bersedia mengakui Israel sebagai negara, sebuah langkah yang ditentang keras Hamas.
Sejak itu, Hamas kerap meluncurkan serangan militer hingga bom bunuh diri yang menargetkan warga Israel.
Hamas kemudian masuk dalam daftar kelompok teroris oleh Israel, Amerika Serikat, Inggris, hingga Uni Eropa. Namun, bagi beberapa negara, kategori ini hanya berlaku bagi sayap militer Hamas.
Sementara itu, ketika Intifada kedua berakhir sekitar awal 2005 dan pasukan Israel menarik diri dari Gaza, Hamas mulai terjun dalam proses politik Palestina.
Secara mengejutkan, Hamas memenangkan pemilihan legislatif pada 2006 mengalahkan partai politik berkuasa, Fatah, yang mendukung pemerintahan Palestina.
Setahun kemudian, Hamas dan Fatah terlibat bentrokan dalam perebutan kekuasaan di Gaza. Pada akhirnya, Hamas berhasil merebut kekuasaan di wilayah itu.
Dalam laporan The Wall Street Journal pada 2009, seorang eks pejabat Israel, Avner Cohen, mengatakan Israel turut membantu pembentukan Hamas hingga memiliki sayap militer yang patut dipertimbangkan.
Cohen mengklaim Israel sempat menyokong Hamas di awal pembentukannya agar berkembang menjadi organisasi penyeimbang Fatah dan PLO.
"Hamas, dengan sangat menyesal, adalah bentukan Isrel," ucap Cohen.
Syeikh Yassin bahkan diklaim pernah bekerja sama dengan Israel diawal pembentukan Hamas.
Saat ini, sayap militer Hamas pun disebut sebagai kelompok bersenjata terbesar dari sejumlah organisasi militan Palestina yang ada saat ini.
Dilansir dari Middle East Eye, tidak pernah ada yang tahu pasti jumlah total pasukan bersenjata Hamas.
Pada 2003, pemimpin Hamas memperkirakan jumlah pasukan mereka di Brigade Qassam mencapai 20 ribu personel. Namun, sejumlah analis memperkirakan pasukan Hamas bisa mencapai 30-50 ribu personel.
Pada 2011, Israel juga memperkirakan bahwa ratusan anggota Hamas telah menerima pelatihan ala militer, termasuk pelatihan di Iran dan Suriah yang merupakan sekutu fraksi tersebut.
Brigade Al-Qassam juga dilaporkan memiliki berbagai persediaan senjata besar mulai dari granat, senjata otomatis ringan, roket improvisasi, mortir, bom, bom sabuk bunuh diri, bahan peledak, berbagai teknologi peluru kendali seperti Rudal Terpadu Anti-Tank Kornet-E, Konkurs-M, Bulsae-2 seperti milik Korea Utara, rudal 9K11 Malyutka, hingga rudal MILAN.
Selain itu, Brigade Al-Qassam juga dikabarkan memiliki rudal anti-pesawat MANPADS, berbagai rudal SA-7B, SA-18 Igla, dan diyakini memiliki sejumlah SA-24 Igla-S dari Libya. Pada 2014, Hamas juga meluncurkan pesawat pengintai (UAV) pertama Palestina yang disebut Ababeel1.
(rds/dea)