Najia, bukan nama sebenarnya, adalah perempuan dengan empat orang anak yang tewas dipukuli karena tak sanggup memberi makanan kepada anggota Taliban yang masuk ke rumah mereka di sebuah desa di Provinsi Faryab, di utara Afghanistan.
Putri Najia, Manizha (bukan nama sebenarnya), mengatakan kejadian itu berlangsung pada 12 Juli lalu ketika Taliban masih bertempur dengan pasukan pemerintah Afghanistan memperebutkan sejumlah kota.
Manizha menuturkan itu sudah keempat kalinya selama empat hari berturut-turut belasan milisi Taliban mendatangi rumah mereka dan meminta sang ibu memasak makanan bagi 15 gerilyawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi, di hari keempat, para milisi Taliban membunuh Najia yang berusia 45 tahun karena tetap tak memenuhi permintaan mereka.
"Ibu saya kemudian mengatakan kepada mereka (milisi Taliban), 'saya miskin, bagaimana bisa saya memasak makanan untuk Anda semua?," kata Manizha menirukan jawaban mendiang ibunya kepada CNN.
"(Taliban) lalu mulai memukuli ibu saya. Ibu saya terjatuh pingsan, dan mereka memukulinya dengan senapan AK47," papar perempuan 25 tahun itu menambahkan.
Manizha mengatakan dia terus berteriak kepada para milisi itu agar berhenti memukuli sang ibu.
Para anggota Taliban itu sempat berhenti menyerang Najia. Namun, nyawa Najia tidak tertolong dan tewas ditempat setelah dipukuli para milisi Taliban.
Setelah menghabisi nyawa Najia, Manizha mengatakan para milisi melempar sebuah granat ke salah satu ruangan di rumah mereka lalu kabur.
Taliban membantah telah membunuh Najia. Namun, sejumlah saksi mata dan pejabat setempat membenarkan kejadian itu dan rumah korban dibakar.
Seorang tetangga Najia juga mengaku sempat meneriaki milisi Taliban untuk berhenti menyerang perempuan tersebut. Ia mengatakan banyak perempuan di desa itu merupakan janda yang ditinggal para suaminya yang bekerja sebagai pasukan Afghanistan.
Kebrutalan itu merupakan gambaran mengerikan dari ancaman yang kini dihadapi sebagian besar perempuan di pelosok Afghanistan setelah Taliban mengambil alih pemerintahan pada 15 Agustus lalu.
Perempuan Afghanistan mulai ketakutan untuk keluar rumah sejak Taliban menduduki Kabul dan Istana Kepresidenan. Mereka takut hak-hak dasar mereka seperti sekolah, meniti karir, hingga berpakaian, hingga keamanan mereka kembali dirampas Taliban.
Meski kali ini Taliban berjanji akan membentuk "pemerintahan Islam yang inklusif", masyarakat Afghanistan, terutama kaum perempuan, masih tetap khawatir bagaimana masa depan mereka di era kepemimpinan kelompok itu.
Farzana Kochai, salah satu perempuan yang menjabat sebagai anggota parlemen Afghanistan, mengatakan dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Belum ada pengumuman yang jelas tentang bentuk pemerintahan di masa depan, apakah kaum wanita seperti kita memiliki perwakilan di parlemen atau tidak," kata Kochai.
"Ini adalah sesuatu yang lebih membuat saya khawatir. Setiap wanita memikirkan hal ini, apakah wanita akan diizinkan bekerja atau tidak" paparnya menambahkan.
(rds/ayp)