Para pemimpin komunitas Syiah di Afghanistan menuntut agar perwakilan mereka dilibatkan dalam pemerintahan baru yang dibentuk Taliban.
Menurut laporan media lokal Afghanistan dari provinsi Kandahar, Taand yang dikutip TASS, mengatakan puluhan perwakilan Syiah bertemu dengan mantan presiden era 2001-2014, Hamid Karzai pada Minggu (12/9) kemarin.
Karzai diketahui merupakan anggota dewan koordinasi yang punya peran dalam hal transfer kekuasaan secara damai di Afghanistan usai Taliban mengambil alih negara itu pertengahan Agustus lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertemuan itu merupakan kali kedua antara Karzai dengan perwakilan Syiah.
Pada 9 September lalu, Karzai mengaku telah mengadakan pembicaraan dengan Dewan Ulama Syiah Afghanistan untuk membahas cara-cara memastikan perdamaian dan stabilitas yang abadi di negara.
Taand mengatakan perwakilan dari agama minoritas meminta Karzai untuk memastikan hak dan partisipasinya dalam pemerintahan negara.
Pekan lalu, tepatnya pada Selasa (7/9) Majelis Ulama Syiah menggelar pertemuan besar. Mereka menyerukan pemerintahan yang inklusif, di mana ada perwakilan Muslim Syiah Afghanistan dalam kabinet.
Selain itu, mereka juga meminta agar semua hak-hak kaum minoritas dihormati.
Salah satu anggota ulama Syiah Afghanistan, Salehi Mudaras, mengatakan tuntutan mereka harus ditanggapi dengan serius.
"Kami ingin pejabat yang terhormat, Fikih Jafari (sekolah Syiah) harus diakui," kata Mudaras dikutip dari Tolo News.
Ulama yang lain juga menyerukan hal serupa.
"Tak seorangpun boleh dirampas hak politik dan sektariannya. Kami ingin kesempatan yang sama tanpa diskriminasi,"ujar Mohammad Akbari.
Salah satu aktivis perempuan yang hadir dalam pertemuan itu, Marzia Kazimi, juga menuntut keterlibatan kelompoknya dalam pemerintahan.
"Perempuan harus memiliki bagian dalam pemerintahan baru," tegasnya.
Tak lama usai Taliban berhasil merebut kekuasaan di Afghanistan, mereka mengklaim akan membentuk pemerintahan yang inklusif dan melibatkan berbagai kalangan termasuk perempuan.
Namun hari ini, pembatasan terhadap perempuan bahkan mulai terlihat. Mereka tak diizinkan berolahraga di ruang publik, ke sekolah atau kampus menggunakan burkak dan selama kegiatan belajar mengajar antara murid laki-laki dan perempuan dipisah dengan tirai.
Taliban bahkan menyatakan perempuan tak perlu ada di pucuk kekuasaan. Karena, menurut mereka, tugas perempuan melahirkan tak bisa menjadi menteri mengurus Afghanistan.