Jakarta, CNN Indonesia --
Wajah-wajah asing masih bermukim di tenda-tenda ringkih yang terpasang di pinggiran trotoar sebuah gang di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, di tengah terik matahari pada Selasa (9/11).
Wajah-wajah asing itu merupakan pengungsi yang melarikan diri dari konflik yang berkecamuk di negara asal mereka dan terdampar di Jakarta untuk mencari suaka.
Banyak dari para pengungsi itu telah tinggal di Jakarta selama bertahun-tahun dengan berpindah-pindah tanpa kepastian, tanpa pekerjaan, dan kondisi yang memprihatinkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah pengembaraan panjang, mereka masih menunggu kepastian dari badan pengungsi PBB (UNHCR) agar dapat ditempatkan di negara lain.
CNNIndonesia.com berpapasan dengan sekelompok pria dan anak-anak pengungsi tengah asyik berkumpul di depan tenda mereka. Salah satunya bernama Mukhtar-bukan nama sebenarnya-seorang anak laki-laki asal Afghanistan berusia 14 tahun.
Mukhtar bercerita dia telah satu bulan lebih tinggal salah satu tenda pengungsi di gang kawasan Kebon Sirih bersama kakak perempuannya. Namun, keduanya sudah tinggal di Indonesia sejak lima tahun lalu.
"Baru lima tahun (di Indonesia). Tapi saya tinggal di sini (dekat kantor UNHCR Indonesia) sudah satu bulan empat hari," katanya saat diwawancara CNNIndonesia.com.
Mukhtar mengatakan kerap menghabiskan waktu bercengkerama bersama pengungsi lainnya yang sudah dianggap sebagai keluarga. Hal itu, tuturnya, dapat membuatnya terlupa dengan cerita kelamnya yang membuat harus hidup terlantar di Jakarta tanpa orang tua.
"Karena kami memiliki banyak masalah di sana, karena itu kami pergi ke Indonesia. Di Afghanistan, ada banyak organisasi, mereka membunuh orang-orang kami, maka dari itu kami datang ke sini, agar bisa hidup," kata Mukhtar.
Saat ditanya kenapa orang tua tak ada, Mukhtar bungkam seribu bahasa dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tidak, hanya kami berdua, dan kami, saya dan kakak perempuan saya, keluarga kami tidak, saya tidak...," ucap Mukhtar yang kemudian tak bisa melanjutkan ceritanya.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, para pengungsi di kawasan itu tak mengindahkan protokol kesehatan pandemi Covid-19. Banyak dari mereka, termasuk Mukhtar, tak mengenakan masker dan berkerumun tanpa menjaga jarak.
Mukhtar mengaku dia, kakaknya, dan banyak pengungsi lainnya sudah menerima dua dosis vaksinasi Covid-19.
"Saya tidak pernah melihat pengungsi dari negara saya kena Covid-19 di sekitar saya. Di sini juga tidak ada (yang kena Covid-19)," klaim Mukhtar.
Cerita penghinaan hingga kekerasan yang diterima pengungsi di Indonesia baca di halaman berikutnya >>>
Hidup Sengsara Hingga Dicaci Warga
Mukhtar menuturkan bantuan selama ini yang ia dan sebagian besar pengungsi di sana terima tidak lah cukup, terutama di era pandemi Covid-19.
"Kalau UNHCR (kantor PBB untuk urusan pengungsi) hanya kasih uang untuk buat makan saja, tapi untuk bayar tempat tinggal tidak cukup. Saya sama kakak saya tinggal berdua, tidak ada siapa-siapa. Sudah sebulan empat hari di sini tidak ada yang bantu," tutur Mukhtar sembari memeluk jaket birunya.
Mukhtar dan kakaknya merupakan satu dari sekitar 7.500 pengungsi Afghanistan yang saat ini terdampar di Indonesia mencari perlindungan dengan harapan mendapatkan suaka di negara ketiga.
Menurut data resmi Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Jakarta, ada 13.528 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar sampai Februari 2021. Pengungsi Afghanistan menjadi yang terbanyak di Indonesia.
Pengungsi dan pencari suaka tidak diizinkan bekerja bahkan bersekolah selama berada di Indonesia.
 Foto: (CNN Indonesia/ Adi Maulana) Contoh kartu pencari suaka yang diberikan UNHCR terhadap para pengungsi. (CNN Indonesia/ Adi Maulana) |
Kekurangan biaya pun membuat Mukhtar dan kakaknya memutuskan hidup di dalam tenda kecil di trotoar. Terik mata hari, angin kencang ketiga huja, hingga kehadiran tikus di malam hari sudah menjadi makanan sehari-hari Mukhtar dan kakanya selama sebulan terakhir.
Ia bercerita, kala matahari tengah terik-teriknya, ia dan beberapa pengungsi lainnya berteduh di masjid-masjid sekitar tenda.
Mukhtar dan kakanya juga harus merogoh kocek yang terbatas hanya untuk menggunakan kamar mandi, entah di masjid atau di tempat lain.
"Kadang dua ribu, kadang lima ribu rupiah," tutur Mukhtar.
Di tengah kesulitan hidup, Mukhtar, kakaknya, dan pengungsi lainnya juga harus menelan pil pahit saat menerima cacian dari warga lokal yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka.
"Kami tidak mengganggu siapa-siapa, kami hanya duduk berdiam di sini. Tapi setiap hari datang orang sekitar ribut sama kami bilang 'kamu hanya numpang, kamu bukan orang Indonesia, negara kamu perang, kamu numpang di Indonesia, pergi dari sini' setiap hari. Tapi kami tidak pernah mengganggu," ucap Mukhtar.
Selain caci maki, Mukhtar juga mengaku kerap mendapat perlakuan yang tidak enak dari warga sekitar seperti serangan hingga pukulan.
Ia mengaku pengungsi yang meminta pertolongan kepada UNHCR bahkan kerap menerima kekerasan dari petugas keamanan gedung.
"Ketika kami pergi ke depan gedung ingin berbicara dengan perwakilan UNHCR di Jakarta, petugas keamanan tidak melihat kami anak-anak atau perempuan atau ibu-ibu semuanya dipukul. Mereka (sekuriti) bilang pengungsi tidak punya hak di Indonesia," kata Mukhtar.
Mukhtar, yang bercita-cita menjadi seorang insinyur, berharap pemerintah Indonesia memproses kepindahan dia dan pengungsi lainnya secepat mungkin ke negara lain. Jika tidak bisa, Mukhtar berharap pemerintah mengizinkan pengungsi bekerja demi mencari biaya hidup.
"Karena kami (yang mengungsi), mereka sudah ada yang (tinggal) selama sembilan tahun, sepuluh tahun, bahkan 20 tahun di Indonesia. Tapi Indonesia tidak pernah mendengar suara kami," tutur Mukhtar.
"Sudah berapa kali kita sudah pergi tulis surat ke kementerian, ke wali kota, semuanya sudah kirim, tapi tidak ada yang menjabat," katanya mengeluh.
[Gambas:Photo CNN]