Partai Komunis China hari ini, banyak belajar dari kesalahan runtuhnya Uni Soviet.
Uni Republik Sosialis Soviet (USSR) runtuh secara perlahan, seperti korupsi yang membusuk, penindasan, dan tak ada transparansi yang menggerogoti cita-cita dasar komunis.
Namun pada Desember 1991, ketika para pemimpin Rusia, Ukraina, dan Belarusia menandatangani surat perintah eksekusi Uni Soviet, hal itu mengejutkan dunia.
"Uni Soviet, sebagai realitas geopolitik, dan sebagai subjek hukum internasional, tidak ada lagi," tulis mereka dalam kesepakatan yang dibuat seperti dikutip ABC Net.
Presiden Uni Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev, secara resmi mengundurkan diri dan menyatakan Uni Soviet runtuh pada Hari Natal 1991.
Barat menghabiskan tiga dekade berikutnya merayakan 'kematian' Uni Soviet.
Sementara itu, negara adidaya lain yang sedang naik daun menghabiskan 30 tahun melakukan 'autopsi' atas Uni Soviet, bertekad menghindari nasib serupa.
Partai Komunis China (PKC) telah menulis ribuan makalah internal, menggelar sesi belajar, dan bahkan memproduksi film dokumenter soal kejatuhan sepupu ideologisnya itu.
"Sulit untuk melebih-lebihkan betapa terobsesinya mereka dengan Uni Soviet," kata pakar China, David Shambaugh, kepada Washington Post.
Partai Komunis China, yang sudah menjadi salah satu partai politik paling lama berkuasa di dunia tak ingin namanya hanya menjadi sampah sejarah.
"Mengapa Uni Soviet bubar?" kata Presiden China, Xi Jinping, bertanya kepada pejabat partai dalam pidato yang bocor pada 2012 silam.
"Alasan penting adalah bahwa cita-cita dan keyakinan mereka goyah. Pada akhirnya, tidak ada manusia sejati, tidak ada yang keluar untuk melawan."
Berikut adalah tiga keputusan kunci yang dibuat PKC sebagai upaya bertahan hidup lebih lama, belajar dari kegagalan Partai Komunis Uni Soviet.
1. Kompromi dengan Kapitalsime Melalui Karakter China
Keberhasilan China di bidang ekonomi adalah bencana bagi Uni Soviet.
Di awal terbentuk, Uni Soviet adalah saingan ekonomi Amerika Serikat dengan kapasitas produksi yang tinggi. Namun akhirnya korupsi menghancurkan efisiensi.
Di tahun-tahun terakhir, ekonomi Uni Soviet tersengal-sengal usai mengeluarkan biaya perlombaan senjata dengan Amerika Serikat dan proksi di Amerika Latin, Afrika dan Afghanistan.
Seperti diketahui, ekonomi terencana Uni Soviet dikendalikan secara terpusat, tapi terhambat inefisiensi, pemborosan, dan kekurangan barang.
"Rubel (mata uang Uni Soviet) cuma punya nilai kertas, dengan warga Soviet memegang keseluruhan 400-450 miliar rubel, tetapi mereka tidak memiliki apa-apa untuk dibelanjakan. Rak-rak toko hanya menyediakan sedikit barang konsumsi," kata pengamat dari Brookings Institute, Diana Villiers Negroponte.
Menyadari kesalahan Uni Soviet, Beijing menolak ekonomi komando sosialis, dan menganut apa yang disebutnya "kapitalisme dengan karakteristik Cina."
Mulai 1970-an, China membuka keran investasi asing dan tingkat kemiskinan turun karena orang berbondong-bondong ke kota mencari pekerjaan di industri baru.
Menurut laporan The Diplomat, reformasi ekonomi yang diperkenalkan oleh Deng Xiaoping pada akhir 1970-an menjadi dasar yang kuat dan menyebabkan China bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai "ekonomi non-pasar" pada 2001. Negara ini kemudian menjelma jadi "pabrik dunia" hampir dalam semalam.
Dukungan negara yang mengalir deras, turut membuat perusahaan China menjadi raksasa manufaktur. Meskipun pertumbuhan lambat dalam beberapa tahun terakhir, China diproyeksikan mampu menyalip Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia pada 2028.
Pemerintah China berkomitmen memberi standar hidup material yang serupa dengan yang ditemukan di ekonomi liberal mana pun kepada rakyatnya.
Namun bukan berarti Beijing beralih dan menganut nilai-nilai Barat.
Banyak orang dalam kepemimpinan Beijing menganggap kebijakan glasnot Uni Soviet sebagai kesalahan fatal.
2. Memborbardir Nilai-nilai Komunis China
Glasnost, yang secara kasar diterjemahkan menjadi keterbukaan, merupakan langkah terakhir Gorbachev menyelamatkan Uni Soviet pada pertengahan tahun 80-an.
Setelah beberapa dekade penyensoran dan tertutup, Gorbachev mulai sadar tiba saatnya meningkatkan transparansi dan kebebasan berekspresi pemerintah.
Buku-buku yang mulanya dilarang kembali terpampang di perpustakaan. Banyak warga belajar soal kekejaman mantan pemimpin Joseph Stalin untuk pertama kalinya, dan orang-orang Rusia tiba-tiba dihadapkan pada gaya hidup yang relatif mewah dari orang-orang di negara demokrasi Barat.
"[Glasnost] memiliki efek memicu gelombang kritik yang merusak otoritas dan kepercayaan, dan segalanya dengan cepat menjadi kacau," kata Negroponte.
Kebijakan keterbukaan baru itu diadopsi di tahun yang sama saat kecelakaan nuklir menghancurkan Chernobyl.
Warga kemudian menggunakan kebebasan berekspresi yang baru untuk mengekspresikan kemarahan mereka atas bencana tersebut.
"Bencana Chernobyl, lebih dari apapun, membuka kemungkinan kebebasan berekspresi yang jauh lebih besar di Uni Soviet, sampai-sampai sistem itu, seperti yang kita ketahui, menjadi tidak dapat dipertahankan," kata Gorbachev kemudian.
Dengan mengingat hal itu, kepemimpinan Beijing jauh lebih berhati-hati dalam mengelola arus informasi di China.
Kombinasi hukum negara dan teknologi menciptakan apa yang dikenal sebagai Great Firewall of China, memblokir atau membatasi akses ke situs-situs Barat, termasuk Facebook, Google, Twitter, dan Wikipedia.
Sebuah film dokumenter enam part yang wajib ditonton pejabat Partai Komunis pada tahun 2013, menyalahkan Gorbachev atas runtuhnya Uni Soviet karena mengundang pengaruh Barat.
Film "Silent Contest," memperingatkan China bisa menghadapi nasib yang sama jika menyerah pada "evolusi damai".
Hal itu berdasarkan keyakinan bahwa Amerika Serikat perlahan tapi pasti berusaha menggulingkan kepemimpinan Beijing, bukan dengan bom, tetapi dengan nilai-nilai demokrasi.
Para ahli mengatakan, di antara anggota PKC yang lebih konservatif, ada ketakutan bahwa jika mereka membiarkan budaya Barat bertahan, apa yang disebut "revolusi warna" bisa terjadi.
Revolusi warna adalah pemberontakan damai melawan pemerintah yang pertama kali muncul di bekas Uni Soviet.
"Pasukan anti-China tidak pernah menyerah dalam upaya mereka untuk menghasut revolusi warna di negara ini," tulis para pejabat di buku putih pertahanan China tahun 2015.
3. Memperhatikan Wilayah Perbatasan
Pada puncaknya, Uni Soviet adalah negara terbesar di dunia, membentuk hampir sepertujuh bumi ini.
Namun, di dalam negara raksasa itu terdapat 15 republik yang sangat berbeda, lusinan etnis, bahasa, dan budaya.
Negara-negara satelit Soviet mulai menyimpang dari orbit Uni Soviet pada 1980-an.
Pada Hari Natal 1991, yang tersisa hanyalah Rusia yang secara signifikan lebih kecil dengan tiga perempat wilayah Uni Soviet dan setengah populasinya.
Sebaliknya, Beijing telah mencoba untuk menjaga wilayah-wilayah di pinggiran di bawah kendali yang semakin ketat, seperti Taiwan, Hong Kong, Xinjiang, dan Tibet.
Protes besar di Hong Kong pada tahun 2019 dikecam salah seorang pejabat tinggi Beijing lantaran memiliki "'karakteristik yang jelas dari revolusi warna".
Protes memang tidak berakhir dengan pertumpahan darah tetapi, sebaliknya, dengan pengesahan undang-undang tahun 2020 yang membuatnya lebih mudah menghukum pengunjuk rasa dan mengurangi otonomi kota.
Upaya Pemerintah China menghindari nasib Serupa Uni Soviet.
China bertahan hidup lebih lama dari Uni Soviet, selisih tiga tahun.
Kontras antara Uni Soviet di hari-hari terakhirnya, China menjadi sangat modern.
Namun, jawaban atas pertanyaan apakah PKC dan pemimpinnya, Xi Jinping, mampu mempertahankan kekuasaan dalam jangka panjang tergantung pada siapa yang Anda tanyakan.
China seperti yang dikenal telah berada di puncak.
"Sementara China bertindak untuk memajukan ambisinya yang semakin besar, China juga menghadapi masalah internal yang mendalam dan meningkatnya kebusukan di partai," tulis Direktur studi Asia di American Enterprise Institute,Dan Blumenthal, dalam buku yang berjudul The China Nightmare.
Masalah internal itu, menurut Blumenthal, termasuk kekurangan tenaga kerja yang mengancam, populasi Lansia yang lebih banyak dan "perusahaan milik negara yang tidak efisien".
Meski demikian, ada pula pihak yang memiliki pandangan jauh lebih optimistis.
"China, menurut saya, sedang bertumbuh," kata mantan anggota parlemen Rusia, Mikhail Chelnokov, kepada tabloid China Global Times pekan ini.
"China mendapatkan lebih banyak kekuatan, secara politik, ekonomi, dan militer."