Jakarta, CNN Indonesia --
PLTN Zaporizhzhia di Ukraina menjadi salah satu titik pertarungan antara kubu Rusia dengan warga Ukraina, Jumat (4/3) dini hari waktu setempat. PLTN ini disebut-sebut bakal memberikan dampak sepuluh kali lebih besar dibandingkan PLTN Chernobyl bila meledak.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba melalui cuitan Twitter mengungkapkan kiamat nuklir yang lebih parah dibandingkan Chernobyl jika PLTN terbesar di Eropa itu meledak.
"Rusia menembak Zaporizhzhia dari segala arah, PLTN terbesar di Eropa. Kebakaran sempat terjadi. Jika itu meledak, maka (ledakannya) akan jadi 10 kali lebih besar dari Chernobyl. Rusia harus menghentikan serangan dan membiarkan pemadam kebakaran masuk untuk mengamankan situasi," cuit Kuleba di akun Twitter.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah sempat dikabarkan terbakar akibat konflik tersebut, otoritas menyatakan penembakan di PLTN ini sudah berhenti. Radiasi di sekitar titik ini juga dikatakan masih berada dalam batas normal.
Pasukan pemadam juga sudah berhasil dikerahkan untuk mengatasi kebakaran yang terjadi, meski sempat ditembaki pasukan Rusia.
National Nuclear Energy Generating Company of Ukraine atau Energi Atom, mengatakan PLTN Zaporizhzhia dibangun pertama kali pada 1979 dan mulai dioperasikan pada 1984.
Mengutip IAEA, PLTN Zaporizhzhia dan Chernobyl sama-sama memiliki enam unit. Walaupun demikian, kapasitas untuk membangkitkan listrik di dua titik tersebut berbeda.
PLTN Zaporizhzhia mampu membangkitkan energi listrik hingga 6.000 megawatt. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan PLTN Chernobyl, yang hanya mampu membangkitkan listrik hingga 1.000 megawatt, dikutip dari Britannica.
Kedua PLTN ini sama-sama dibangun kala zaman Uni Soviet. Namun, nasib tragis menimpa PLTN Chernobyl.
Ledakan Reaktor Nuklir Chernobyl
Pada 26 April 1986, reaktor nuklir RBMK no.4 di PLTN Chernobyl mengalami kegagalan uji coba, yang kemudian berujung pada ledakan dan kebakaran di wilayah tersebut. Akibat ledakan ini, sebanyak dua pekerja meninggal dunia.
Tiga bulan setelahnya, sebanyak 28 pemadam kebakaran dan pekerja darurat meninggal dunia akibat terpapar radiasi dan serangan jantung. Tak hanya itu, sekitar 200 ribu orang disebut harus dievakuasi akibat insiden ini.
Daerah yang berjarak 30 kilometer dari lokasi ledakan menjadi 'zona eksklusif' dan tak dapat dihuni akibat radiasi nuklir.
Kecelakaan PLTN Fukushima
Tak hanya PLTN Chernobyl, PLTN Fukushima di Jepang juga pernah mengalami 'bencana' nuklir pada 2011. Kecelakaan tersebut merupakan kecelakaan nuklir terburuk kedua setelah Chernobyl, dikutip dari Britannica.
Kala kecelakaan itu terjadi, PLTN Fukushima memiliki empat reaktor, tetapi hanya tiga yang berfungsi. PLTN ini dioperasikan oleh Tokyo Electric and Power Company (TEPCO).
Saat insiden ini terjadi, pejabat TEPCO melaporkan tsunami yang muncul akibat gempa 11 Maret 2011 di Jepang merusak generator nuklir di PLTN Fukushima Daiichi. Meski ketiga reaktor di PLTN tersebut berhasil dimatikan, mati listrik yang terjadi menyebabkan kegagalan sistem pendingin reaktor.
Akibatnya, peningkatan suhu yang terjadi di inti reaktor membuat batang bahan bakar di reaktor 1, 2, dan 3 menjadi terlalu panas dan sebagian dari mereka meleleh. Pelelehan ini menimbulkan pelepasan radiasi yang besar dan berujung pada ledakan.
Pemerintah Jepang kemudian memberlakukan zona 'eksklusif' sepanjang 30 km di sekitar fasilitas tersebut. Tak hanya itu, sekitar 47 ribu penduduk dievakuasi akibat bencana ini.
Mengutip BBC, sebanyak 16 pekerja terluka akibat ledakan yang terjadi. Selain itu, puluhan lainnya terpapar radiasi kala berupaya mendinginkan reaktor nuklir dan menstabilkan PLTN ini.
Sebanyak tiga orang dilaporkan masuk ke rumah sakit setelah mengalami paparan nuklir yang tinggi.
Pada 2018, pemerintah Jepang mengumumkan satu pekerja meninggal dunia karena terpapar radiasi dan setuju keluarganya perlu dikompensasi.
Sejumlah orang juga dilaporkan tewas saat evakuasi, termasuk puluhan pasien rumah sakit yang harus mengungsi karena takut terpapar radiasi.