Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengungkapkan sedikitnya 816 orang tewas dan 1.333 orang terluka sejak invasi Rusia ke Ukraina dimulai pada Kamis (24/2).
"Sebagian besar korban karena penggunaan senjata peledak dengan area dampak yang luas," pernyataan OHCHR seperti dilansir CNN pada Jumat (18/3).
Dalam pernyataan itu, OHCHR mencontohkan senjata peledak tersebut, adalah artileri berat, sistem roket multi-peluncuran, serta serangan udara dengan rudal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
OHCHR kemudian mendetailkan korban tewas akibat agresi militer Rusia ke Ukraina tersebut, yakni 152 pria, 116 wanita, 7 anak perempuan, dan 16 anak laki-laki. Sedangkan jenis kelamin 36 anak-anak serta 489 orang dewasa lainnya belum dikonfirmasi.
Mereka juga meyakini angka korban jiwa imbas serangan Rusia ke Ukraina lebih tinggi dari catatan tersebut.
"Terutama di wilayah yang dikendalikan Pemerintah dan terutama dalam beberapa hari terakhir," laporan OHCHR.
"Penerimaan informasi dari beberapa lokasi di mana permusuhan intens telah terjadi telah tertunda dan banyak laporan masih menunggu konfirmasi.
Angka tersebut juga telah meningkat dari laporan OHCHR pada awal pekan ini (14/3). Kala itu, mereka mencatat sedikitnya 636 warga sipil tewas dam 1.125 warga sipil luka-luka di Ukraina sejak "operasi militer" Rusia dimulai.
Sementara itu, layanan darurat Ukraina secara terpisah melaporkan, lebih dari 2.000 orang tewas akibat gempuran Rusia hingga awal pekan ini.
Rusia sebelumnya mengklaim agresi militer yang dilancarkan ke Ukraina tak bermaksud menghancurkan negara eks Uni Soviet itu.
"Saya tekankan sekali lagi apa yang ditolak media Barat dan pendirian Barat: operasi (militer) ini tak ditujukan untuk penduduk sipil," ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, dalam konferensi pers pada Kamis (17/3) dikutip TASS.
Ia kemudian melanjutkan, "Operasi ini tak bermaksud merebut wilayah negara, menghancurkan negara atau menggulingkan presiden saat ini. Kami terus katakan ini lagi dan lagi."
Presiden Rusia Vladimir Putin juga mengklaim tujuan tindakan tersebut untuk demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina, bukan menduduki negara itu.