Irak mencabut aturan jam malam total di Baghdad pada Selasa (30/8), setelah ulama kenamaan, Moqtada Sadr, meminta pendukungnya untuk menghentikan demonstrasi.
Sadr memberikan waktu 60 menit bagi para pendukungnya untuk meninggalkan Zona Hijau, lokasi utama demonstrasi dalam beberapa hari belakangan.
Ia mengancam bakal "menyangkal" para pendukung yang masih ogah meninggalkan lokasi demonstrasi. Sadr pun meminta maaf karena pendukungnya menimbulkan kericuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya minta maaf kepada rakyat Irak, satu-satunya pihak yang terkena dampak insiden ini," ujar Sadr, seperti dikutip AFP.
Tak lama setelah itu, tentara Irak langsung mengumumkan pencabutan jam malam total yang baru saja diberlakukan sehari sebelumnya.
Irak menerapkan jam malam total setelah pendukung Sadr menggeruduk bangunan Istana Republikan di Baghdad. Mereka kemudian berpesta dan berenang di dalamnya.
Militer lantas melepaskan tembakan gas air mata dan peluru hidup, menewaskan puluhan demonstran.
Keadaan mulai tenang setelah Sadr menyerukan pendukungnya untuk berhenti berdemonstrasi di Zona Hijau.
Irak sudah diterpa krisis politik selama 10 bulan belakangan, tepatnya sejak pemilu digelar pada Oktober 2021.
Kala itu, koalisi politik Sadr sebenarnya meraup suara paling banyak di parlemen, tapi tak cukup untuk membentuk mayoritas.
Setelah berulang kali mencoba, mayoritas tetap tak terbentuk. Hingga akhirnya, parlemen mengajukan sejumlah nama dan koalisi untuk mengisi kekosongan pemerintahan.
Kerangka Kerja Koordinasi di parlemen lantas mencalonkan mantan menteri kabinet, Mohammed Shia al-Sudani, sebagai PM.
Faksi Sudani di parlemen berisi kader-kader musuh bebuyutan Sadr, seperti eks PM Nuri al-Maliki, dan Hashed al-Shaabi.
Sadr sempat menyerukan agar pendukungnya bergerak menentang keputusan tersebut pada bulan lalu. Para pendukung sampai-sampai menduduki parlemen.
Sekitar satu bulan setelah rentetan unjuk rasa itu, Badr mengumumkan mundur dari dunia politik kemarin.