Irak menjadi sorotan setelah puncak demonstrasi rusuh terjadi di Ibu Kota Baghdad sejak akhir pekan lalu.
Sejauh ini, kerusuhan bahkan dilaporkan telah menewaskan 30 orang hingga menyebabkan ratusan orang menyerbu Istana Republik Irak pada Senin (29/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah Irak sampai-sampai harus menerapkan jam malam total di Ibu Kota Baghdad demi meredam kerusuhan.
Kerusuhan terbaru ini terjadi usai ulama kenamaan Irak, Moqtada Sadr, memutuskan untuk keluar dari politik hingga membuat para pendukungnya mengamuk terhadap pemerintah.
Kerusuhan di Irak sebenarnya bermula dari konflik politik berkepanjangan sejak pemilihan umum digelar Oktober 2021 lalu.
Saat itu, koalisi politik Sadr meraup suara paling banyak di parlemen, tapi tak cukup untuk membentuk pemerintahan dengan suara mayoritas.
Sejak itu, koalisi Sadr terus gagal meraup dukungan mayoritas untuk membentuk pemerintahan hingga akhirnya parlemen mengajukan sejumlah nama dan koalisi untuk mengisi kekosongan pemerintah.
Sadr pun menolak langkah parlemen itu dan terus berupaya mencari dukungan agar dapat mendapat dukungan mayoritas di parlemen.
Namun, situasi semakin kacau pada awal Agustus lalu setelah parlemen mencetuskan Kerangka Kerja Koordinasi untuk mencalonkan mantan menteri kabinet, Mohammed Shia al-Sudani, sebagai perdana menteri.
Lihat Juga : |
Faksi Sudani di parlemen berisi kader-kader musuh bebuyutan Sadr, seperti eks PM Nuri al-Maliki, dan Hashed al-Shaabi.
Sadr pun menyerukan agar pendukungnya bergerak menentang keputusan tersebut. Para pendukung Sadr pun turun ke jalan untuk berdemonstrasi hingga sempat menduduki parlemen pada akhir Juli lalu.
Para pendukung akhirnya meninggalkan gedung parlemen dengan damai setelah Sadr memerintahkan mereka untuk menghetikan aksinya.
Namun, puncak kerusuhan terjadi setelah Sadr mengumumkan keluar dari politik pada Senin (29/8).
"Saya memutuskan untuk tidak ikut campur dalam hubungan politik. Saya pun mengumumkan keputusan saya untuk pensiun," kata Sadr di Baghdad seperti dikutip AFP.
Tak lama setelah pengumuman mengejutkan itu, rautsan pendukung Sadr menyerbu Istana Republik Irak yang merupakan gedung seremonial di Zona Hijau dengan pengamanan paling ketat.
Militer Irak pun langsung menerapkan jam malam di Ibu Kota demi mengantisipasi kerusuhan memburuk.
Namun, kerusuhan ternyata meluas dan tak hanya dilakukan oleh pendukung Sadr.
Milisi-milisi Irak antara pendukung Sadr dan pemerintah yang pro-Iran pun ikut saling bentrok di seluruh negeri hingga menewaskan 30 orang per Selasa (30/8).
Pusat bentrokan antara kelompok ini terjadi di Zona Hijau Baghdad dan meluas ke kota-kota di selatan Irak.
Sadr telah menjadi salah satu ulama dan tokoh paling menonjol di Irak sejak invasi AS berlangsung untuk menggulingkan Saddam Hussein.
Ulama 48 tahun itu semakin memiliki banyak pengikut di kalangan pekerja miskin Syiah dan beberapa kelas menengah.
Sadr memiliki hubungan yang dingin dengan Iran. Sementara itu, pengaruh Iran terus meluas di Irak sejak beberapa tahun terakhir.
Sadr dikenal sebagai orang yang mudah berubah dan sulit diprediksi. Ia pernah menentang seluruh tentara asing, termasuk Iran, untuk meninggalkan Irak.
Sadr juga terang-terangan menentang pengaruh Iran di Irak hingga menyerukan kelompok Muslim Sunni di negara itu agar diberi hak dan suara lagi.
Apa pengaruh Iran dalam kerusuhan di Irak? Baca di halaman selanjutnya >>>