Berpulangnya Ratu Elizabeth di usia sepuhnya tetap mengejutkan. Di luar kontroversi isu kolonisasi dan dekolonisasi, kepemimpinannya dari seorang tokoh dari generasi yang berbeda -yang melewati Perang Dunia ke II dan dekolonisasi- kepemimpinannya bisa dijadikan inspirasi pengabdian generasi baru.
Bagi mereka yang besar di tahun 1980-an, dengan satu-satunya saluran televisi nasional pada waktu itu, berita internasional seringkali didominasi oleh sang ratu dan kelakuan putra tertuanya, sang bujangan yang menjadi incaran para gadis, Maggie, Ronnie dan pasangan Gorbachevs.
Era 1990-an dan awal 2000 menjadi saksi kejadian-kejadian yang menurut kebanyakan orang akan menjadi akhir dari masa keemasannya dengan meninggalnya Diana dan perceraian putranya yang lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini ternyata tidak terjadi. Penegasan-penegasan dan kesungguhannya menjalankan tugas seumur hidup dibuktikan dengan perayaan Jubilee yang semakin besar setiap dekade. Puncaknya perayaan Platinum Jubilee pada tahun 2022 menandai 70 tahun takhtanya.
Pemakamannya yang akan dihadiri lebih dari 100 pemimpin dunia dengan upacara kenegaraan terbesar abad ini akan menjadi panggung 'soft power' bagi Inggris dan 'funeral diplomacy' menjadi kata kunci yang menjadikan pemakamannya perhatian media dunia.
Walaupun sang ratu bukanlah ratu bagi mereka yang bukan warga Inggris, keberadaannya terasa dekat. Hal ini dimungkinkan oleh komunikasi visual yang dilakukan dengan sangat baik.
Tidak dapat disangkal, Ratu Elizabeth merupakan tokoh yang paling mudah dikenali di dunia dan telah diabadikan dalam lebih dari 20 milyar imaji dalam bentuk lukisan, perangko, koin dan uang kertas.
Nama-nama seperti Leibovitz, Warhol dan bahkan Banksy juga tergerak mengabadikannya dengan cara yang berbeda. Layar perak terinspirasi mengabadikannya dalam film, dengan sederetan aktris papan atas mulai dari pemenang Oscar Helen Mirren, sampai Olivia Colman, Imelda Staunton dan Claire Foy memerankannya dalam usia yang berbeda untuk Netflix dalam 'the Crown'.
![]() |
Bahkan setelah meninggal pun, komunikasi visual ini digunakan dengan sangat baik dengan visualisasi 'floral tribute' terhampar di setiap gerbang istana di seluruh penjuru Inggris, iringan-iringan peti jenazah melewati jalan-jalan sepanjang rute Balmoral - gereja St Giles di Skotlandia. Di sana ribuan warga berdiri di sepanjang jalan memberikan penghormatan terakhir.
Belum lagi antrian panjang pelayat dan para anggota tentara dengan atributnya yang berlatih tengah malam untuk mempersiapkan acara puncak pada 19 September lalu.
Walaupun kita tidak bisa melihat mekanisme yang bekerja dengan luar biasa di balik apa yang kita lihat, visualisasinya sebagai ratu sekaligus warga kebanyakan, digunakan dengan sangat baik untuk menegaskan pengabdian dan tradisi keluarga kerajaan.
Gambar-gambar yang menangkap sebagian kehidupannya, mulai dari masa kecilnya bermain-main sebagai gadis kecil yang mungkin tidak pernah berpikir bahwa suatu kali dia akan menjadi ratu.
Ribuan kunjungan kenegaraan dan kemegahannya, kecintaannya pada pertanian dan kehidupan pedesaan, sampai saat terakhir melantik perdana mentrinya ke 15 -yang kebetulan bernama Elizabeth juga- dokumen visual menangkap sosok yang menepati janjinya untuk mengabdi sampai akhir hayat.
Dokumentasi dalam monokromatik dan warna menjadikannya ikon visual. Mulai dari busana yang dikenakan, topi, pakaian kebesaran, mahkota, tiara, tas tangan dan bros secara tidak langsung menginspirasi pemimpin wanita lain. Salah satunya bekas Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright yang menggunakan bros yang berbeda untuk mengkomunikasikan pesan pada lawan bicara dalam diplomasinya.
Ratusan buku telah ditulis tentang koleksi busananya termasuk yang paling mewakili yang ditulis oleh Angela Kelly. London Fashion Week memberikan tribute pada sang ratu yang menjadikan warna sebagai suatu elemen penting dalam fesyen, tidak mengherankan mengingat pilihan-warnanya yang tidak pernah salah, termasuk pilihan hijau ketika tampil di balkon Istana Buckingham dalam perayaan Platinum Jubileenya.
Warga Indonesia yang berkesempatan berkunjung atau menetap di Inggris akan merasakan bagaimana logo dan simbol-simbol sang ratu ada di mana-mana, mulai dari kotak pos merah sampai logo dalam surat-surat pemberitahuan tentang pajak dan hal-hal lain.
Media Inggris selama dua minggu terakhir memberikan celah untuk melihat 'psyche' dari masyarakat Inggris.
Pelayat berbaris dan berjalan dengan tenang sepanjang 5 mil melewati beberapa landmark kota London. Mereka dipersatukan dalam niat untuk mengekspresikan belasungkawa dan ucapan terima kasih terakhir, dan menjalin persahabatan dengan sesama pelayat, saling menguatkan sampai antrian memasuki Westminster Hall, setelah berdiri selama belasan jam dalam cuaca dingin.
Visualisasi melalui livestream ini tidak menyurutkan minat para pelayat lain untuk memberi penghormatan terkahir bagi tokoh yang berada di atas politik dan bertakhta untuk menegaskan stabilitas, ketenangan dan persatuan yang seringkali terpecah oleh ideologi dan partai politik.
Pidato Natalnya setiap tahun selalu ditunggu dan pidato terakhir semasa pandemi meyakinkan warganya bahwa 'mereka akan berjumpa lagi' merupakan bentuk pesan lain yang dikemas dengan komunikasi visual yang bagus.
Menjalani tugas seumur hidup bukanlah hal yang mudah dan motto nya 'never complain, never explain' merangkum apa yang membuatnya bertahan sekian lama.
Bahkan dalam saat terakhir pun ketika jenazah disemayamkan dan upacara pemakaman digelar, semua pihak yang berperan dalam upacara ini melakukannya atas nama tugas, pengabdian pada sejarah dan tradisi dan semangat meneruskan apa yang telah dirintis selama ini.
Semangat ini pula yang senantiasa dikomunikasikan secara visual dari sang ratu untuk mengingatkan apa yang hakiki dari sebuah pengabdian pada bangsa.
(sur)