Kudeta kembali pecah di Burkina Faso pada Jumat (30/9), untuk kedua kalinya sepanjang tahun ini.
Reuters melaporkan bahwa sejumlah tentara bersenjata dengan penutup kepala tampil di televisi nasional untuk mengumumkan pelengseran Presiden Paul-Henri Damiba.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapten tentara Burkina Faso, Ibrahim Traore, lantas mendeklarasikan diri sebagai pemimpin negara. Ia mengumumkan bahwa pemerintahan dihentikan sementara.
Tak hanya itu, Traore juga memerintahkan penutupan perbatasan negara. Lebih jauh, warga Burkina Faso juga harus mematuhi aturan jam malam.
Ini merupakan kudeta kedua di Burkina Faso sepanjang tahun ini. Damiba sendiri baru saja naik takhta setelah kudeta pecah pada 24 Januari lalu.
Menurut Traore, para pejabat yang membantu Damiba merebut kekuasaan pada awal tahun ini akhirnya melengserkan sang pemimpin karena dianggap tak bisa menangani masalah keamanan, salah satunya kehadiran kelompok radikal seperti ISIS dan lainnya di negara Afrika itu.
Selama kudeta, demonstrasi rusuh juga berlangsung di depan Kedutaan Besar Prancis di Ouagadougou.
Kudeta berlangsung ketika perpecahan terus meluas di dalam militer Burkina Faso. Banyak anggota senior militer yang kini berupaya mencari dukungan Rusia menyusul pengaruh bekas kekuasaan kolonial Prancis berkurang di negara tersebut.
Dikutip Reuters, setidaknya tiga video terpisah yang tersebar di media sosial selama akhir pekan lalu menunjukkan tentara di sejumlah kendaraan lapis baja mengibarkan bendera Rusia.
Kerumunan militer dan warga di sekitar konvoi militer juga meneriakkan "Rusia! Rusia! Rusia!"
Namun, video-video itu belum bisa diverifikasi kebenarannya.
Sejumlah pengamat menuturkan salah satu penyebab Damiba dikudeta adalah karena dinilai militer melanggar janji untuk mendekatkan Burkina Faso dengan mitra internasional lain selain Prancis demi memperkuat keamanan nasional.
Beberapa pihak menganggap banyak kalangan militer yang berharap Burkina Faso bisa mendekatkan diri lebih erat lagi dengan Rusia.
Ratusan orang berkumpul di depan kedutaan besar Prancis selama akhir pekan sambil mengibarkan bendera Rusia dan mendukung kudeta yang dilakukan Traore. Para demonstran juga turut melemparkan batu dan membakar ban serta puing-puing bangunan selama protes berlangsung.
"Kami menginginkan kerja sama dengan Rusia. Kami menginginkan kepergian Damiba dan Prancis," kata Alassane Thiemtore, salah satu pedemo.
Demonstran anti-Prancis juga berkumpul dan melempari Pusat Kebudayaan Prancis di kota selatan Bobo-Dioulasso. Sejumlah properti bisnis Prancis juga dirusak pada Minggu pagi.
Burkina Faso telah lama menjadi pusat serangan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang terkait dengan Al Qaeda dan ISIS. Hal ini dipicu setelah kelompok radikal menyerang negara tetangga Mali pada 2012 hingga menyebar ke negara-negara lain di selatan Gurun Sahara.