Anwar Ibrahim dan Muhyiddin Yassin berlomba mencari koalisi untuk membentuk pemerintahan, Selasa (22/11), beberapa jam menjelang tenggat yang ditetapkan raja Malaysia untuk penyerahan nama calon PM.
Mereka harus bergerilya karena berdasarkan hasil pemilu yang keluar pada Minggu (20/11), tak ada satu pun partai atau koalisi berhasil memegang mayoritas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut konstitusi Malaysia, untuk membentuk kabinet, partai atau koalisi perlu 112 suara dari total 222 kursi parlemen. Pemegang mayoritas ini yang berhak memberikan nama calon PM ke raja.
Karena mayoritas tak terbentuk, Anwar dan Muhyiddin harus bergerilya mencari koalisi. Mereka dikejar tenggat dari Raja Malaysia yang menanti nama calon PM paling lambat pukul 14.00 waktu setempat.
Koalisi pimpinan Anwar, Pakatan Harapan (PH), memang meraih suara terbanyak dalam pemilu akhir pekan lalu dengan 82 kursi. Namun, angka tersebut tak cukup untuk meraih mayoritas.
Sementara itu, koalisi pendukung Muhyiddin, Perikatan Nasional (PN), hanya mendapat 73 kursi.
Ia sempat mengklaim sudah mendapatkan dukungan dari dua kubu politik yang lebih kecil dari Sabah dan Sarawak. Namun, kedua kubu itu membantah klaim tersebut.
Sebagaimana dilansir Reuters, walau dengan dukungan Sabah dan Sarawak, kursi yang diperoleh koalisi Muhyiddin baru 101, masih belum mencapai ambang batas.
Di tengah persaingan ketat itu, sejumlah media melaporkan koalisi Anwar bertemu dengan para petinggi koalisi Barisan Nasional (BN) di salah satu hotel pada Senin pagi.
MalayMail melaporkan bahwa Anwar dan BN sedang mendiskusikan kemungkinan untuk membentuk koalisi.
Kemungkinan aliansi ini menjadi sorotan luas karena Anwar sejak dulu dikenal sebagai penentang BN. Ketika BN berkuasa berpuluh tahun di Malaysia, Anwar selalu menjadi oposisi.
Ia kemudian dielu-elukan ketika berhasil menumbangkan rezim BN dalam pemilu 2018 lalu. Namun kini, Anwar malah ingin membentuk koalisi dengan BN demi bisa menjadi PM.