Ketika dunia gempar menyaksikan kemenangan Arab Saudi atas Argentina di Piala Dunia 2022, aktivis mulai memperingatkan agar publik mewaspadai sportswashing.
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan ketika satu negara menggunakan olahraga untuk memperbaiki reputasi yang sedang tercoreng karena berbagai pelanggaran, termasuk terkait hak asasi manusia.
Sebagaimana dilansir The Guardian, sportswashing dapat dilakukan dengan menggelar atau mengikuti kompetisi olahraga, hingga mensponsori tim tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala eksekutif Amnesty International Inggris, Sacha Deshmukh, melihat gelagat ini ketika Saudi mengikuti kompetisi Piala Dunia.
Terlebih, kemenangan skuad The Green Falcons atas Argentina 2-1, pun dinilai jadi kesempatan bagi Saudi yang kini dipimpin Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman sebagai Perdana Menteri untuk mengalihkan isu pelanggaran HAM dengan euforia tersebut.
Eksekusi mati 17 terdakwa hanya dalam 12 hari yang disuarakan sejumlah aktivis HAM seolah kalah nyaring dengan ingar-bingar kemenangan Saudi atas Argentina.
Dengan begitu, Pangeran MbS dianggap Deshmukh untuk memulihkan reputasi Saudi di masyarakat internasional dengan prestasi olahraga.
"Seperti yang kita lihat dengan Arab Saudi, negara-negara kaya dengan rekam HAM buruk tentu menyadari bagaimana olahraga memiliki potensi untuk memulihkan reputasi internasional mereka," ujarnya kepada The Independent.
"Ini merupakan cara main moderen. Perhitungan baru mereka adalah investasi baru di olahraga memang mungkin menuai kritik sesaat, tapi [investasi] itu akan lebih membawa keuntungan pemulihan citra dalam jangka panjang."
Jauh sebelum Piala Dunia, para aktivis HAM memang sudah mengendus gelagat sporstwashing yang dilakukan Saudi.
Merujuk pada laporan organisasi HAM Grant Liberty tahun lalu, Saudi bahkan sudah menggelontorkan dana hingga setidaknya US$1,5 miliar atau setara Rp23,4 triliun untuk sportswashing.
Uang itu digunakan untuk menggelar berbagai pertandingan olahraga, mulai dari golf, tenis, hingga pacuan kuda.
Saudi bahkan meneken kontrak kerja sama selama sepuluh tahun dengan Formula One. Nilai kontrak itu mencapai US$650 juta.
Dengan kontrak tersebut, ajang balap itu untuk pertama kalinya digelar di Jeddah, Saudi, pada tahun lalu.
Grant Liberty menuding Saudi menggunakan acara-acara itu untuk memoles reputasi mereka yang tercoreng akibat berbagai dugaan pelanggaran HAM.
Belakangan, laporan pelanggaran HAM Saudi memang kian menumpuk, mulai dari serangan udara mereka ke kelompok pemberontak di Yaman, hingga pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.
"Arab Saudi mencoba menggunakan reputasi baik dari olahraga-olahraga yang paling dicintai di dunia untuk mengaburkan rekam jejak HAM brutal, penyiksaan, dan pembunuhan," ucap perwakilan Grant Liberty, Lucy Rae, kepada The Guardian.
Ia kemudian berkata, "Bintang-bintang olahraga dunia mungkin tak pernah bertanya mengenai rencana marketing busuk untuk mengelabui dunia dari kebrutalan, tapi itulah yang terjadi."
(has/bac)