Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan syarat negosiasi dengan Ukraina kepada Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Untuk berdialog, Putin menegaskan Ukraina harus 'legawa' dengan wilayah yang dianeksasi Moskow. Itu merupakan syarat yang berpotensi ditolak mentah-mentah oleh Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Vladimir Putin menegaskan kembali keterbukaan Rusia untuk dialog yang sebenar-benarnya, asalkan otoritas Kyiv memenuhi persyaratan yang telah diajukan dan berulang kali disuarakan, serta mempertimbangkan realitas teritorial baru," demikian bunyi pernyataan Kremlin, seperti dikutip Reuters, Kamis (5/1).
Dalam kesempatan itu, Putin juga mengakui peran negara-negara Barat yang selama ini terus-terusan memasok senjata ke Kyiv dan memberikan informasi serta arahan ke negara itu.
"(Putin) mengakui peran destruktif Barat yang memasok senjata ke Kyiv, memberikan informasi dan arahan," bunyi pernyataan Kremlin.
Erdogan dan Putin selama ini memang kerap melakukan pembicaraan sejak pasukan Kremlin menginvasi Ukraina Februari 2022 lalu. Bukan cuma dengan Rusia, pemimpin Turki itu juga menjalin berkomunikasi dengan Ukraina.
Turki beberapa kali tercatat mencoba memediasi Rusia-Ukraina agar segera menyudahi perang. Negara itu menjadi mediator Moskow dan Kyiv bersama-sama dengan PBB.
Salah satu pencapaian mediasi Turki yakni kesepakatan Rusia-Ukraina terkait diberlakukannya kembali ekspor biji-bijian lewat Laut Hitam.
Terkait hal itu, Putin sempat mengingatkan Erdogan bahwa semua hambatan ekspor baik terhadap makanan maupun pupuk Rusia harus dicabut. Sebab hal itu, menurut Moskow, merupakan bagian dari kesepakatan biji-bijian.
Soal perang, Erdogan juga baru-baru ini mendesak Putin untuk mendeklarasikan gencatan senjata dengan Ukraina. Lewat sambungan telepon, Erdogan meminta Putin segera mengumumkan sikap tersebut.
"Presiden Erdogan mendesak perdamaian dan negosiasi seharusnya didukung gencatan senjata dan visi solusi keadilan," kata Erdogan, seperti dikutip AFP.
Putin sendiri sudah mengumumkan gencatan senjata selama dua hari pada 6 dan 7 Januari. Gencatan dilakukan karena bertepatan dengan perayaan Natal Kristen Ortodoks.
Kendati demikian, Ukraina dengan tegas menolak gencatan senjata. Kyiv memandang langkah itu merupakan siasat licik Rusia untuk memperkuat pasukan dan menyusun kembali agresinya di Ukraina.
"Tidak ada keinginan sedikit pun untuk mengakhiri perang," kata penasihat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Mikhailo Podolyak.
"Tidak perlu menanggapi inisiatif manipulatif yang jelas dari kepemimpinan Rusia."
(bac)