Penyebab Perang Saudara di Sudan hingga Nyaris 200 Orang Tewas

CNN Indonesia
Selasa, 18 Apr 2023 16:02 WIB
Bentrokan antara militer dan pasukan paramiliter utama Sudan sejak Sabtu (15/4) lalu telah menewaskan sedikitnya 185 orang dan melukai 1.800 lainnya.
Bentrokan antara militer dan pasukan paramiliter utama Sudan sejak Sabtu (15/4) lalu telah menewaskan sedikitnya 185 orang dan melukai 1.800 lainnya. (Anadolu Agency via Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia --

Bentrokan antara militer dan pasukan paramiliter utama Sudan sejak Sabtu (15/4) lalu telah menewaskan sedikitnya 185 orang dan melukai 1.800 lainnya.

Data itu diungkap oleh kepala misi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Sudan, Volker Perthes.

Menurut Perthes, saat ini situasi di negara Afrika itu "sangat cair" sehingga sulit untuk mengetahui kondisi pemerintahan yang sebenarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bentrokan ini pecah ketika dua faksi utama rezim militer Sudan saling berebut kekuasaan di negara itu.

Pertama, ada militer Sudan yang berada di bawah kekuasaan penguasa de facto, Abdel Fattah al-Burhan.

Kubu kedua yaitu pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) ada di bawah kendali mantan panglima perang, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang juga dikenal sebagai Hemedti.

Perebutan kekuasaan ini telah terjadi sejak sebelum pemberontakan pada 2019, yang menggulingkan pemimpin diktator Omar Al Bashir.

Setelah Bashir lengser, upaya Sudan beralih ke pemerintahan sipil yang demokratis terus mengalami hambatan. Persaingan dan kekerasan demi merebut kekuasaan tak terelakkan.

Pada Oktober 2021, terjadi kudeta yang membuat tentara kembali berkuasa, padahal saat itu transisi menuju pemerintahan demokratis sedang berjalan.

Akibatnya, proses itu terganggu dan membuat warga kembali protes hingga memperparah kondisi ekonomi negara.

Jika ditelisik lebih jauh, penyebab utama ketegangan di Sudan sebetulnya karena tuntutan masyarakat sipil untuk pengawasan militer dan integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata negara.

Seperti dilansir The Guardian, warga sipil juga mendesak militer menyerahkan kepemilikan mereka di sektor-sektor pertanian, perdagangan, dan industri lainnya.

Masyarakat juga menuntut keadilan atas kejahatan perang oleh militer dan sekutu dalam konflik di Darfur pada 2003 silam.

Mereka juga meminta keadilan atas pembunuhan terhadap pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Juni 2019 yang melibatkan pasukan militer.

Para aktivis dan kelompok sipil tak terima dengan berbagai penundaan penyelidikan resmi.

Selain itu, mereka juga menginginkan keadilan bagi setidaknya 125 orang yang tewas oleh pasukan keamanan dalam aksi protes sejak kudeta pada 2021 lalu.

[Gambas:Video CNN]

Terletak di wilayah yang berbatasan dengan Laut Merah, Sudan memang tak pernah lepas dari konflik.

Lokasinya yang strategis dengan kekayaan di bidang pertanian Sudan menarik perhatian kekuatan kawasan.

Hal ini semakin menyulitkan pemerintah Sudan untuk melakukan transisi dari militer ke pemerintahan yang dipimpin sipil.

Beberapa negara tetangga Sudan seperti Ethiopia, Chad, dan Sudan Selatan, juga terdampak pergolakan dan konflik politik ini.

Dimensi geopolitik utama pun berperan dalam konflik Sudan. Rusia, Amerika Serikat, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara kekuatan lainnya juga diduga berusaha mendapatkan pengaruh di Sudan.

Saudi dan UEA melihat transisi pemerintahan Sudan sebagai peluang untuk mendorong kembali pengaruh Islam di wilayah itu.

Mereka bersama-sama dengan AS dan Inggris lantas membentuk "Quad", pihak yang mensponsori mediasi di Sudan bersama dengan PBB dan Uni Afrika.

(blq/has)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER