Daerah yang menjadi tempat tinggal mayoritas warga negara Indonesia (WNI) di Sudan, Arkawit, mulai didera krisis air hingga listrik buntut perang sejak pekan lalu.
Anggota Ikatan Mahasiswa Indonesia International University of Africa (IUA), Abduh Rahman, mengakui para WNI di Arkawit mulai merasakan krisis.
"Memasuki hari keempat konflik, sejujurnya kami mulai merasakan krisis air dan listrik di beberapa tempat," kata Rahman kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia kemudian berujar, "Misalnya di area bernama Arkawit, menjadi salah satu area banyak populasi warga Indonesia yang tinggal."
Arkawit merupakan salah satu area yang berada di Khartoum, Ibu Kota Sudan.
Di hari pertama perang pecah, menurut dia, listrik di Arkawit hanya menyala sekali. Setelah itu, listrik padam lagi hingga saat ini.
Pemadaman listrik ini membuat warga kesulitan mengakses air, sementara persediaan di toren tiap-tiap rumah sudah mulai habis.
Ia juga mengungkapkan WNI mulai memasuki krisis logistik. Sejak perang dimulai, banyak warung dan tempat perbelanjaan tutup.
Sementara itu WNI lain, Sabiq, juga mengungkapkan krisis serupa terjadi di tempat pengungsian di salah satu gedung UIA.
Para WNI diungsikan ke tempat itu lantaran asrama mereka dekat dengan titik konflik.
"WNI di sini membutuhkan tempat evakuasi yang lebih layak, seperti ada akses untuk listrik dan air yang lebih mudah. Kurang nyaman [juga] untuk beristirahat," tutur Sabiq.
Menanggapi pernyataan itu, Direktur perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Indonesia, Judha Nugraha, buka suara.
Judha mengatakan Kemlu dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Khartoum telah menyiapkan rencana darurat jika terjadi situasi yang tak terduga.
"KBRI sudah disiapkan rencana kontingensi dan jadikan gedung KBRI sebagai safe house para WNI," kata dia.
Sejauh ini, tercatat 1.209 WNI tinggal di Khartoum.
Sudan sendiri bergejolak usai paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan pasukan keamanan bertempur memperebutkan kekuasaan pada Sabtu lalu.
Perang pecah saat faksi-faksi politik tengah bernegosiasi membentuk pemerintahan transisi usai kudeta pecah di Sudan pada 2021.
Ledakan pun terdengar di mana-mana. Di tengah gejolak itu, RSF mengklaim telah mengontrol sejumlah bandara di Khartoum dan Merowe serta menguasai Istana Kepresidenan.
Pada Selasa pagi, ledakan kembali terdengar. Rahman mengaku berulang kali mendengar ledakan dan pesawat yang mondar-mandir di langit Sudan.
"Hari ini pukul 06.30 pagi, kami mendengar kembali dentuman rudal ataupun bom-bom yang sebelumnya terdengar," ujar dia.