Sekitar 170 tentara cadangan dari unit pasukan khusus militer Israel mengancam mogok kerja usai pemerintah memutuskan mempercepat revisi rancangan undang-undang (RUU) peradilan.
Ratusan prajurit ini ogah bertugas karena tak mau memperkeruh protes warga yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Channel 12 melaporkan 170 tentara cadangan ini menyampaikan surat kepada komandan pasukan khusus Sayeret Matkal bahwa mulai pekan depan mereka tak akan lagi menjalankan tugas sebagai prajurit.
"Kami menyadari potensi bahaya yang dapat disebabkan oleh penghentian kami menjadi sukarelawan untuk tugas cadangan di unit, namun di mana hal-hal saat ini terjadi, kami tidak memiliki tindakan lain yang bisa menghentikan kehancuran yang akan ditimbulkan dari rancangan undang-undang yang diajukan tersebut," demikian bunyi surat ratusan prajurit seperti dikutip Channel 12.
Mereka juga menyebut setidaknya 80 prajurit Sayeret Matkal lainnya bakal ikut menandatangani surat mogok kerja itu dalam beberapa hari mendatang.
Sejak pemerintah mengajukan RUU untuk mereformasi sistem peradilan, warga Israel protes keras karena menilai beleid itu cuma akan mengerdilkan peran Mahkamah Agung dan memperkuat hegemoni pemerintah.
Warga dari berbagai kalangan ramai-ramai menentang rencana itu, termasuk para pasukan militer cadangan. Mereka mengaku tak ingin bertugas di negara yang tidak demokratis.
"Jangan bicara dengan kami tentang 'keamanan negara' ketika Anda bergegas menuju kediktatoran gaya Rusia atau Iran," kata seorang mantan anggota unit intelijen khusus dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip The Times of Israel.
Saat protes pecah, isu perang saudara sendiri ikut mengemuka seiring dengan kerusuhan yang kian panas di Israel.
Guru besar hukum dan ilmu politik di Universitas Haifa, Gad Barzilai, mengatakan Israel saat ini tengah menuju perang saudara, salah satunya karena indikasi adanya kegagalan komunikasi antarelite negara hingga kurangnya tokoh sentral dan institusi untuk bernegosiasi dengan pihak yang saling bersaing.
Dilansir dari Middle East Eye, ancaman perang saudara ini terlihat dari risiko persaingan di antara otoritas menyusul rencana perubahan sistem peradilan.
"Bayangkan situasi ketika hakim pengadilan tinggi menolak untuk bekerja sama dengan hakim yang ditunjuk oleh pemerintah ini, menganggap mereka 'hakim politik'. Bagaimana jika ratusan hakim menolak duduk bersama mereka? Apa yang akan dilakukan oleh asosiasi pengacara Israel?" kata dia.
"Bagaimana jika pemukim mendirikan pos ilegal baru di Tepi Barat dan tentara tidak diizinkan mengevakuasinya?" ucap Barzilai.
Hal-hal semacam ini pun menurutnya bakal mengarah pada kemunculan "dua Israel" dengan "kedaulatan yang terbagi", yang tanda-tandanya kini sudah muncul.
Retorika dua Israel ini sendiri merujuk pada dua entitas yang terpisah yakni Israel dan Yehuda atau Yudea.
Terkait isu perang saudara ini, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebelumnya mengakui bahwa Israel berada di ambang perang saudara akibat kerusuhan terkait rencana reformasi sistem peradilan.
Dia menyadari bahwa ada "ketegangan luar biasa" antara warga negaranya itu. Menurutnya, ketegangan itu dipicu oleh "minoritas ekstremis yang siap mengobrak-abrik" Israel.
Oleh sebab itu, dia meminta polisi dan tentara menghentikan fenomena itu.
"Saya tidak mau memecah bangsa menjadi dua. Selama tiga bulan saya telah berulang kali menyerukan dialog dan juga mengatakan bahwa saya tidak akan meninggalkan kebutuhan bisnis yang terlewat untuk mencari solusi karena saya ingat, kita ingat, bahwa kita bukan menghadapi musuh, tetapi saudara kita," ucap Netanyahu.
(blq/bac)