Gerakan islamofobia masih marak di sejumlah negara Eropa dalam beberapa tahun belakangan ini.
Dalam beberapa bulan terakhir, pelecehan terhadap agama Islam dengan membakar dan merobek Al Quran berulang kali terjadi di negara-negara Eropa, seperti Swedia, Denmark, dan Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembakaran Al Quran terakhir terjadi di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag pekan lalu. Indonesia merespon hal ini dengan mengirim nota protes kepada pemerintahan Belanda.
"Kami protes. Kami sudah menyampaikan surat protes. Jadi, kita menyampaikan protes keras pada pemerintah Belanda. Kita sampaikan nota protes," kata Mayerfas, duta besar Republik Indonesia di Den Haag, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (25/9).
Lalu, mengapa sering terjadi gerakan islamofobia di Eropa?
Dilansir dari Open Society Foundation, islamofobia digambarkan sebagai tindakan permusuhan, ketakutan, dan kebencian yang tidak rasional kepada kaum Muslim dan budaya Islam dengan mendiskriminasi individu atau kelompok di dalamnya.
Wujud dari islamofobia yang tumbuh di Eropa adalah serangan fisik atau verbal, pelecehan, undang-undang yang menyudutkan umat Islam, larangan memakai simbol agama atau beribadah, dan diskriminasi dalam bidang pendidikan, pekerjaan, serta hubungan sosial.
Ketika kejahatan ini terjadi, pihak yang berwenang dan pemerintah setempat juga tidak bertindak tegas kepada para pelaku. Alasan kebebasan berpendapat dan tindakan yang tidak membahayakan publik sering digunakan oleh pihak berwenang untuk menindak pelaku.
Sejumlah pengamat menilai salah satu penyebab meningkatnya gerakan-gerakan islamofobia secara masif adalah kebangkitan nasionalisme di negara-negara Eropa. Masyarakat Eropa khawatir tentang imigrasi dan integrasi kaum minoritas Muslim ke kaum mayoritas Eropa.
Komunitas Muslim di sejumlah negara itu juga kerap dijadikan kambing hitam ketika krisis ekonomi atau politik terjadi.
Masyarakat Eropa juga mulai terpengaruh dengan rumor "Islamisasi" yang dibuat oleh partai-partai populis xenofobia. Kasus terorisme yang beberapa kali menyerang Eropa juga semakin meningkatkan bangkitnya gerakan-gerakan islamofobia.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, mengatakan bahwa perang Rusia-Ukraina saat ini menambah kebencian masyarakat Eropa kepada kaum Muslim.
"Terdapat persoalan kecemburuan dan ketidaksukaan masyarakat lokal kepada imigran yang dipicu oleh aspek perlambatan perkembangan ekonomi negara-negara Eropa setelah perang Rusia-Ukraina yang memicu islamofobia," kata Yon Machmudi, kepada CNNIndonesia.com.
Yon Machmudi juga mengungkapkan bahwa Imigran dianggap menggantikan atau merampas hak-hak ekonomi orang Eropa, terutama dengan kasus munculnya banyak masyarakat lokal yang menganggur atau tidak mempunyai pekerjaan.
Analisis lain disampaikan oleh pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, yang menyatakan bahwa Eropa saat ini tidak mengindahkan narasi yang dibangun oleh PBB untuk memerangi islamofobia yang diperingati setiap 15 Maret.
"Negara-negara Skandinavia mengklaim bahwa mereka tidak bisa melarang masyarakat berdemonstrasi, tetapi perlu diingat bahwa itu ada implikasi politiknya dengan gestur tidak suka yang ditunjukkan negara muslim," kata Sya'roni Rofii, kepada CNNIndonesia.com.
(cpa/bac)