Kerusuhan yang melanda Inggris buntut penikaman tiga anak di Southport, Merseyside, Senin (29/7) pekan lalu, telah memicu kekhawatiran.
Kerusuhan itu disebut-sebut didalangi oleh sayap kanan ekstrem, yang menyebarkan rumor palsu bahwa pelaku penikaman adalah imigran Muslim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena rumor ini, para pedemo di sejumlah wilayah Inggris menargetkan pencari suaka hingga komunitas Islam dan masjid. Mereka melempari masjid dengan batu, menyerang imigran, dan membakar sejumlah fasilitas publik.
Padahal, polisi telah mengidentifikasi pelaku penikaman sebagai pemuda 17 tahun yang berasal dari Banks, Lancashire, sekitar 8 kilometer dari lokasi serangan.
Pelaku merupakan kelahiran Cardiff, ibu kota dan kota terbesar negara bagian Wales, Inggris.
Apa itu sayap kanan ekstrem di Inggris?
Dilansir dari laman resmi pemerintah Inggris, sayap kanan ekstrem adalah orang-orang yang menggunakan kekerasan untuk mendukung ideologi mereka.
Ideologi ini secara umum dapat dicirikan sebagai Nasionalisme Budaya, Nasionalisme Kulit Putih, dan Supremasi Kulit Putih.
English Defence League (EDL), yang oleh Kepolisian Merseyside dikaitkan dengan protes keras di Southport, sejauh ini belum ditetapkan sebagai sayap kanan ekstrem.
Menteri Dalam Negeri Yvette Cooper baru akan "meneliti"nya untuk ditetapkan sebagai ekstremis atau tidak.
Dilansir dari Sky News, EDL didirikan pada 2009 dan mengalami masa kejayaannya pada 2011.
Kelompok ini terbentuk di London, di sekitar firma hooligan sepak bola yang memprotes kehadiran kelompok Islam di Luton.
Tommy Robinson, yang memiliki nama asli Stephen Yaxley-Lennon, adalah pemimpin kelompok tersebut. Ia merupakan mantan anggota Partai Nasional Inggris (British National Party/BNP) yang pernah dipenjara karena kasus penyerangan.
Secara ideologis, kelompok ini berhaluan paling kanan dalam politik Inggris. Mereka menolak gagasan bahwa umat Muslim bisa benar-benar menjadi orang Inggris dan menuding Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai Eropa.
EDL juga menyalahkan tingginya angka imigran sebagai akibat dari penurunan "budaya Inggris".
EDL membedakan dirinya dari kelompok sayap kanan tradisional dengan merangkul orang-orang Yahudi, Sikh, dan LGBTQ.
EDL mengusung slogan "tidak rasis, tidak melakukan kekerasan, hanya saja tidak lagi diam" dan mengklaim diri sebagai pembela kelas pekerja kulit putih.
Bersambung ke halaman berikutnya...