Pemerintah Presiden Amerika Serikat Donald Trump merilis 240 ribu dokumen terkait pembunuhan aktivis sekaligus pemimpin gerakan sipil, Martin Luther King Jr.
Kementerian Kehakiman AS merilis dokumen itu di Pusat Arsip Nasional pada Senin (21/7).
Dokumen itu mencakup catatan Badan Investigasi Federal (FBI) hingga pelaku pembunuhan Luther King, James Earl Ray.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
FBI menyimpan berkas-berkas King pada 1950-an bahkan menyadap teleponnya. Mereka sempat menduga dia punya hubungan dengan komunisme saat Perang Dingin AS -Uni Soviet.
Dalam beberapa tahun terakhir, FBI mengakui tindakan itu sebagai contoh "penyalahgunaan wewenang."
Menanggapi perilisan ini, keluarga MLK meminta semua pihak memperlakukan berkas-berkas tersebut dengan empati dan menghormati rasa duka keluarga.
"Kini, lebih dari sebelumnya, kita harus menghormati pengorbanannya dengan berkomitmen untuk mewujudkan mimpinya, sebuah masyarakat yang berakar pada kasih sayang, persatuan, dan kesetaraan," demikian pernyataan resmi keluarga MLK, dikutip Reuters.
Mereka juga menyatakan semasa hidup Martin Luther King terus-menerus menjadi sasaran kampanye disinformasi dan pengawasan yang invasif, predatoris, dan sangat meresahkan.
"Yang diatur J. Edgar Hoover melalui Biro Investigasi Federal," lanjut pernyataan keluarga itu.
Selama memimpin AS, MLK kerap menyuarakan kesetaraan hak warga Afrika-Amerika dan kampanye tanpa kekerasan.
MLK meninggal dunia setelah ditembak di Memphis, Tennessee, pada 4 April 1968. Kematian dia tentu mengguncang Amerika Serikat.
Di tahun yang sama, negara itu bergejolak karena kerusuhan rasial, demonstrasi anti-perang Vietnam, dan pembunuhan calon presiden Robert F. Kennedy.
Perilisan dokumen kematian Luther King merupakan tindak lanjut dari perintah eksekutif (executive order) yang ditandatangani Trump.
Dalam perintah itu, Trump juga ingin merilis dokumen terkait pembunuhan John F Kennedy dan Robert Kennedy.
(isa/dna)