Jakarta, CNN Indonesia --
Kamboja dan Thailand masih berperang di hari kedua pada Jumat (25/7).
Dalam pertempuran itu, kedua negara mulai tampak menggunakan senjata berat seperti artileri hingga tank.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perang itu telah menyebabkan 15 orang di Thailand dan satu orang di Kamboja tewas, serta lebih dari 120.000 warga di perbatasan kedua negara mengungsi.
Perang tersebut menambah krisis baru di Asosiasi Asia Tenggara (ASEAN) setelah kudeta Myanmar. Jika tak segera diselesaikan, dampaknya akan meluas dan mengganggu kawasan.
ASEAN harus cepat-cepat mengambil peran, terutama karena ini krisis di antara anggota organisasi. Namun, apakah blok itu mampu dan masih punya pengaruh di Asia Tenggara?
Peneliti yang fokus dalam dinamika keamanan Indo-Pasifik dan ASEAN dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Waffaa Kharisma mengatakan organisasi ini bakal kesulitan memainkan peran secara signifikan dalam konflik Kamboja-Thailand.
"Sulit sebagai organisasi karena ASEAN bergantung dari consent member states [kesepakatan negara-negara anggota]," kata Waffaa saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (25/7).
Sejak didirikan, kelemahan organisasi tersebut adalah keputusan yang tak mengikat ke para anggotanya. Dengan kata lain, ASEAN tak bisa banyak bergerak sebagaimana organisasi seperti Uni Eropa yang punya putusan mengikat.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Sya'roni Rofii bahkan mengatakan keputusan tak mengikat itu sebagai kelemahan.
"Situasi konflik saat ini bisa menjadi refleksi bagi para pemimpin ASEAN," kata Sya'roni.
Waffa juga turut mewanti-wanti ASEAN jika konflik Kamboja-Thailand meluas. Ini akan semakin menunjukkan blok tersebut tak solid dan klaim kawasan bebas damai tak berlaku lagi.
"Masalahnya, ASEAN seharusnya melihat hal ini terjadi. Sudah banyak ide inisiatif untuk mekanisme manajemen konflik. Tetapi karena ASEAN cukup terlena, tidak ada yang diseriusi," ujar dia.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Meski sulit memainkan peran, tetapi ASEAN bisa mengambil inisiatif sebagai good offices atau pihak ketiga yang menawarkan untuk negosiasi dari ketua saat ini maupun Sekretaris Jenderal ASEAN.
"Tetapi seberapa besar pengaruh dari mereka tergantung seberapa matang sentimen agresif satu sama lain di Thailand dan kamboja. Kalau belum matang, susah," ungkap Waffaa.
Ketidakstabilan politik dalam negeri Thailand juga menjadi tantangan sendiri bagi pihak yang ingin menyelesaikan konflik. Saat ini, negara tersebut dipimpin Perdana Menteri sementara Phumtam Wechayachai.
Sebagai ketua ASEAN tahun ini, Malaysia, telah mengambil inisiatif untuk berkomunikasi dengan Phumtam dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet.
Dalam percakapan tersebut, Perdana Menteri Anwar Ibrahim menyerukan gencatan senjata serta mengapresiasi kedua negara yang mempertimbangkan solusi damai.
Namun, belum genap 12 jam usai panggilan itu, Kamboja dan Thailand kembali saling serang pada Jumat pagi. Tindakan ini mencerminkan kedua pihak yang masih jauh dari upaya negosiasi.
Malaysia sebagai ketua, menurut Waffaa, bisa mengulang peran Indonesia untuk menerapkan shuttle diplomasi, diplomasi ulang-alik yang mendorong mediator mengunjungi pihak-pihak berkonflik. Dalam hal ini, Bangkok dan Phnom Penh.
"Malaysia juga bisa call for emergency summit (seruan pertemuan darurat tingkat tinggi) kalau konflik semakin melebar dan memanas," kata dia.
Jakarta pernah menjadi tuan rumah pertemuan darurat ASEAN saat kudeta di Myanmar pada 2021. Ketika itu, rapat menghasilkan five point of consensus (5 Poin Kesepakatan/5PC). Namun, dalam penerapannya tak semudah hitam di atas putih dan tak punya dampak signifikan.
Senada dengan Waffaa, Sya'roni mengatakan Malaysia perlu mendorong pertemuan darurat untuk memastikan deeskalasi terlepas dari konflik memanas atau tidak.
"Termasuk mencari formula sengketa wilayah Thailand-Kamboja. Sebaiknya persoalan ASEAN diselesaikan internal ASEAN," ujar akademisi UI ini.
Jika perang tak kunjung reda, kepercayaan dunia terhadap ASEAN menurun dan kepercayaan antar anggota meredup.
Penurunan itu sejalan dengan iklim investasi yang berkurang. Menurut Waffaa dampak panjangnya adalah ekonomi dan kepercayaan diri ASEAN di mata global yang tak lagi sama.
"Tidak akan langsung [mengganggu ekonomi]. Dampaknya akan perlahan. Kecuali ada disrupsi fisik khusus ke aset ekonomi misalnya jalur perekonomian, lumbung beras, arus laut, pemindahan orang," kata dia.