Kamboja menyatakan setuju gencatan senjata segera dan tanpa syarat dengan Thailand, usai konflik yang telah menewaskan sejumlah warga sipil di kedua pihak sejak pekan lalu.
Sementara itu kelaparan di Jalur Gaza, Palestina, semakin mengkhawatirkan lantaran tak hanya dialami warga sipil tapi juga tenaga medis yang menangani korban agresi brutal Israel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut ulasannya dalam Kilas Internasional hari ini, Senin (28/7).
Perdana Menteri Kamboja Hun Manet mengumumkan negaranya setuju untuk gencatan senjata dengan Thailand pada Minggu (27/7).
Dalam unggahan di Facebook, Hun Manet mengatakan bahwa Kamboja sepenuhnya mendukung gencatan senjata segera dan tanpa syarat menyusul konflik di perbatasan Thailand-Kamboja yang telah menewaskan sejumlah warga sipil di kedua belah pihak.
Hun Manet menyampaikan ini usai Presiden Amerika Serikat Donald Trump meneleponnya pada Sabtu (26/7) malam. Dalam percakapan telepon itu, Trump mengultimatum Kamboja, serta Thailand, untuk segera menyepakati gencatan senjata jika ingin melanjutkan negosiasi dengan Washington terkait tarif impor.
"Saya telah menyampaikan dengan tegas kepada Yang Terhormat Presiden Donald Trump bahwa Kamboja menyetujui usulan gencatan senjata segera dan tanpa syarat antara kedua angkatan bersenjata," kata Hun Manet dalam akun Samdech Thipadei Hun Manet, Prime Minister of Cambodia.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI memastikan tidak ada warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban bentrokan bersenjata antara militer Kamboja dan Thailand.
Menurut Direktur Pelindungan WNI Kemlu RI Judha Nugraha, kesimpulan tersebut didapatkan berdasarkan pengamatan Kemlu bersama Kedutaan Besar RI (KBRI) Phnom Penh, Kamboja, dan KBRI Bangkok, Thailand.
"Berdasarkan pemantauan dan komunikasi dengan berbagai pihak, tidak terdapat informasi adanya WNI yang menjadi korban konflik bersenjata tersebut," kata Judha dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (27/7).
Dia memastikan bahwa KBRI di kedua kota itu telah mengeluarkan imbauan keamanan kepada para WNI.
Krisis kelaparan di Jalur Gaza, Palestina, semakin mengkhawatirkan. Krisis ini tak hanya melanda warga sipil, tetapi juga tenaga medis yang bertugas menangani korban agresi Israel.
CNN melaporkan dokter-dokter di Gaza jatuh pingsan akibat kelaparan saat menangani pasien.
"Rekan-rekan dokter menangkap saya saat pingsan, memberi saya infus dan gula. Ada dokter yang membawa minuman Tango dan saya langsung meminumnya," ujar Mohammad Saqer, dokter di Rumah Sakit Nasser, Gaza selatan, yang turut hilang kesadaran saat bertugas.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat sekitar 2,1 juta populasi Gaza saat ini menderita krisis pangan. Mereka tak lagi memiliki akses pada makanan yang cukup, bergizi, dan aman.
Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan 900 ribu anak kelaparan, sementara 70 ribu lainnya menunjukkan gejala malnutrisi.