Sicario, Pembunuh Bayaran yang Dikenal di Amerika Latin
Staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Lima, Peru, Zetro Leonardo Purba, tewas ditembak diduga oleh pembunuh bayaran.
Komisaris Polisi Peru D Guivar Z mengatakan kasus ini merupakan pembunuhan pertama oleh pembunuh bayaran yang tercatat tahun ini di Kota Lince. Kepolisian Lince saat ini disebut tengah melakukan investigasi bersama dengan Seksi Investigasi Kriminal (SEINCRI).
Pembunuh bayaran atau dalam bahasa di Amerika Latin sering disebut Sicario, terbilang lazim di sana. Kemiskinan dan perang gang narkoba menjadi salah satu penyebabnya.
The Telegraph pernah menurunkan liputan tentang para anak muda yang memilih profesi "pencabut nyawa" bayaran ini. Salah satunya Jonny. Jonny adalah seorang sicario atau pembunuh bayaran di kota kecil Caucasia di Kolombia utara.
Usianya lima belas tahun saat pertama kali kami bertemu di tahun 2013. Saat itu, ia telah membunuh orang selama dua tahun. Ia adalah anggota Klan Gulf dan telah membangun reputasi sebagai salah satu anggota terbaik mereka.
Dalam kaleidoskop konflik kriminal Kolombia, Klan Teluk merupakan salah satu kelompok kejahatan terorganisir terbesar di negara itu. Mereka memperdagangkan narkoba, manusia, dan emas, di antara barang-barang lainnya, tetapi di Kaukasus merekalah negara de facto.
Penampilan muda Jonny yang berusia lima belas tahun, tampak polos, bertentangan dengan bobot dan kengerian kata-katanya.
"Saya tidak menganggap apa yang saya lakukan sebagai pembunuhan. Ini cuma cari duit gampang," katanya.
"Kebanyakan anak muda yang ikut karena lapar dan cuma mau cari makan buat keluarga mereka," katanya.
Sementara situs International Crisis Group yang banyak mengulas aksi kejahatan di dunia pernah menurunkan tulisan pada 2018 silam tentang anak muda yang sudah jadi pembunuh bayaran, namanya Grillo.
Lazimnya, sebelum beraksi Grillo akan diberi nama dan foto sebagai target pembunuhan. "Kemudian ia menghabiskan malam di sebuah rumah aman, sebuah gubuk sederhana di pinggiran kota, di tengah-tengah rumah-rumah bata abu-abu yang belum dicat dan belum selesai. Di sini, di tengah masyarakat yang ekonominya pas-pasan, ia merasa seperti di rumah sendiri, begitu laporan situs itu.
Lalu dia berjalan ke taman, dengan pistol kaliber 38 terselip di belakang celananya. Dia akan menggunakannya pada pria di foto itu. Dia tidak tahu siapa pria yang ditandai itu, dan dia tidak peduli.
Pria itu pasti telah melakukan sesuatu yang menyinggung para capo (kapten). Mungkin, itu utang yang belum dibayar atau penolakan untuk memenuhi tuntutan yang awalnya disamarkan sebagai permintaan yang sopan.
Ia percaya bahwa ada logika, keharusan, dan keadilan di balik setiap kematian dan bahwa mereka yang mati memang pantas mendapatkannya.
(imf/bac)