Pertunjukan Kembang Api di Dataran Tinggi Tibet Tuai Kritik Lingkungan

CNN Indonesia
Minggu, 12 Okt 2025 04:46 WIB
Pertunjukan kembang api "Rising Dragon" di dataran tinggi Shigatse Tibet tuai kritik lingkungan.
Ilustrasi. Foto: Picjumbo/Viktor Hanacek
Jakarta, CNN Indonesia --

Langit di atas dataran tinggi Shigatse, Tibet, baru-baru ini memancarkan cahaya warna-warni dari pertunjukan kembang api berbentuk naga.

Acara ini digelar oleh perusahaan asal China, Arc'teryx, bersama seniman kembang api ternama Cai Guo-Qian, yang dikenal sebagai perancang pesta kembang api Olimpiade Beijing 2008.

Pertunjukan bertajuk "Rising Dragon" itu dimaksudkan sebagai penghormatan artistik terhadap budaya pegunungan. Namun, bukannya menuai pujian, acara tersebut justru memicu "badai kritik."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Publik menyoroti risiko lingkungan di salah satu ekosistem paling rapuh di dunia, sekaligus menyoroti sikap abai pemerintah dan Partai Komunis China (PKC) yang mengizinkan acara tersebut.

Tibet dikenal sebagai "Kutub Ketiga" dunia, karena gletsernya menjadi sumber bagi sungai-sungai besar Asia yang menopang hampir dua miliar manusia. Namun, pertunjukan di ketinggian 5.500 meter itu melepaskan suara bising, asap, dan residu kimia ke udara.

Pejabat lingkungan setempat berdalih acara itu memakai bahan "ramah lingkungan" dan berada di luar kawasan lindung. Namun para ahli membantah, menegaskan bahwa di dataran tinggi, proses penguraian sangat lambat sehingga limbah bisa bertahan bertahun-tahun.

Dampak kerusakan lingkungan

Alih-alih meningkatkan kesadaran akan budaya Tibet, acara ini justru memperlihatkan kenyataan tentang pengabaian. Pemerintah China terus memanfaatkan Tibet untuk kepentingan militer dan pariwisata, sementara masyarakat Tibet tetap terpinggirkan dari hak dan kesempatan dasar.

China juga tengah gencar membangun proyek infrastruktur dan bendungan raksasa di Tibet. Sejumlah analisis memperingatkan risiko bencana berantai akibat gempa, longsor, dan ketidakstabilan bendungan di wilayah rawan seismik. Pembangunan di kawasan gletser yang rapuh ini dinilai sebagai langkah berisiko tinggi yang dapat menimbulkan kerusakan lintas batas.

Kembang api di Shigatse menjadi simbol kemunafikan China: negara yang mengklaim diri sebagai pemimpin iklim dunia, tetapi memperlakukan Tibet sebagai latar eksploitasi demi keuntungan, propaganda, dan kekuasaan.

Permintaan maaf Arc'teryx dan Cai hanyalah penenang sesaat. Di baliknya, Beijing melanjutkan pola lama, yakni memamerkan citra hijau ke luar negeri sambil menekan dan mengeksploitasi di dalam negeri.

Sejumlah laporan independen menyoroti ekspansi pembangkit listrik tenaga air yang berpotensi menggusur lebih dari sejuta orang dan menghapus situs budaya Tibet. International Campaign for Tibet memperingatkan bahwa pembangunan bendungan telah menyebabkan keruntuhan sosial dan ekologis di beberapa wilayah, dengan dampak jangka panjang bagi negara-negara hilir.

Retorika hijau

Selain itu, deforestasi, penambangan, dan relokasi paksa dengan dalih "ekologis" menjadi efek serius dari percepatan pembangunan di dataran tinggi. Warga dipaksa pindah dari padang penggembalaan ke kawasan tambang dan proyek infrastruktur, menimbulkan kerusakan permanen pada ekosistem serta mempercepat pencairan permafrost dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Ironinya, di tengah situasi tersebut, Presiden Xi Jinping tampil di Sidang Umum PBB pada September 2025 dan kala itu berjanji menurunkan emisi 7-10% pada 2035. Ucapan ini disampaikan presiden dari negara yang masih menjadi penyumbang emisi terbesar dunia, sekitar 30% dari total global, yang masih membangun pembangkit listrik tenaga batu bara.

Kontradiksi ini mencolok: di luar negeri, China berbicara soal keberlanjutan; di dalam negeri, Negeri Tirai Bambu mengabaikan masyarakat lokal dan menghancurkan lingkungan rapuh seperti Tibet.

Janji Xi lebih tampak sebagai manuver politik untuk mengisi kekosongan kepemimpinan iklim global dan meraih pengaruh di negara-negara Pasifik serta Global South.

Jika China benar-benar ingin memiliki otoritas moral dalam isu iklim, maka negara tersebut harus menghentikan proyek bendungan berisiko di kawasan rawan gempa, mengakhiri relokasi paksa, dan membuka akses bagi penilaian lingkungan independen.

Tanpa langkah itu, kembang api di langit Tibet hanya akan menjadi simbol betapa jauh antara retorika hijau dan kenyataan di lapangan.

(dna)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER