Jakarta, CNN Indonesia -- Kekerasan dalam pacaran terutama yang dialami oleh remaja patut menjadi perhatian baik oleh orang tua juga oleh remaja. Kekerasan ini merupakan embrio bagi tumbuh suburnya kekerasan di masyarakat.
Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran yang kerap kali terjadi antara lain seperti mengecek telepon genggam pacar secara paksa, pembatasan orang-orang yang mesti diakrabi, melaporkan melalui kiriman foto atau video saat bepergian, dan meminta mengirimkan gambar tak senonoh.
Hal tersebut perlu diedukasikan guna menyadarkan kaum remaja. Badan pusat statistik pernah merilis hasil survei pengalaman Hidup Pengalaman Perempuan Nasional 2016. Disebutkan, 1 dari 3 perempuan berusia 15-64 tahun di Indonesia atau berjumlah 28 juta pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual (Kompas, Senin, 18 Desember 2017).
Dari pelaporan data yang ditampilkan oleh Badan Pusat Statistik tersebut, menunjukkan bahwa perempuanlah yang selalu menjadi korban termasuk pada kekerasan dalam pacaran.
Kekerasan dalam pacaran ini memang menempati urutan kedua dalam kasus kekerasan terhadap perempuan setelah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan data dari komnas Perempuan, sejak 2010 terjadi 1000 kasus kekerasan dalam pacaran.
Angka tersebut diperkirakan akan lebih banyak lagi karena banyaknya korban yang belum berani melapor. Tingginya angka kekerasan dalam pacaran terjadi karena benyaknya perempuan atau remaja yang tidak paham bentuk-bentuk dari kekerasan fisik maupun psikis dalam suatu hubungan. Sehingga mereka kerap tidak menyadari meski telah menjadi korban kekerasan oleh pacar mereka.
Bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran sendiri digolongkan ke dalam 3 jenis kekerasan menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Pertama, kekerasan fisik, yang termasuk dalam kekerasan fisik adalah menampar, memukul, menarik (menjambak) rambut, melukai dengan senjata, dan lain-lain.
Kemudian ada kekerasan psikis, bentuk-bentuk kekerasan psikis adalah penghinaan, komentar-komentar yang dimaksudkan untuk merendahkan dan melukai harga diri/konsep dari pihak lain, makian, umpatan menggunakan kata-kata yang kasar, pembatasan kegiatan, mengancam, dan lain sebagainya. Lalu ada kekerasan seksual. Bentuk kekerasan seksual ini berupa memegang atau meraba bagian tubuh vital pasangan secara paksa dan melakukan ajakan hubungan seks secara paksa dengan pasangan.
Segala bentuk kekerasan tersebut tentunya akan meninggalkan bekas, baik secara fisik maupun mental. Efek psikologis bagi korbanlah yang harus diperhatikan dan ditangani secara serius. Trauma berkepanjangan, munculnya perasaan minder, tidak percaya diri, tertekan atau depresi, dan kekhawatiran-kekhawatiran untuk melakukan suatu kegiatan, bahkan bisa menjadi orang yang menarik diri dari pergaulan merupakan dampak yang serius dari korban kekerasan dalam pacaran ini.
Dalam hal ini, pola asuh dan lingkungan keluarga memiliki peranan yang penting agar tidak menjadikan seorang individu memiliki kepribadian penganiaya. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang amat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang. Masalah-masalah emosional yang kurang diperhatikan orang tua dapat memicu timbulnya permasalahan bagi individu yang bersangkutan di masa yang akan datang.
Selain lingkungan keluarga, peran lingkungan bermain pun memiliki peranan sendiri dalam pembentukan karakter seseorang. Lalu, aspek sosio budaya yang menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan turut membentuk pula pandangan individu dalam berperan menjalani hubungan.
Dalam aspek sosio budaya ini, laki-laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangakan perempuan feminine dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang wajar jika agrasif, sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang agresifitasnya. Faktor- faktor tersebutlah yang secara tidak langsung membentuk karakter seseorang sebagai pelaku dari tindakan kekerasan dalam pacaran.
Penanganan Kekerasan Dalam PacaranPenanganan kekerasan dalam pacaran ini tentunya bergantung pada penyebabnya. Namun, yang pasti penanganan ini perlu melibatkan kedua belah pihak, baik korban maupun pelaku. Karena biasanya dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran diakibatkan karena adanya ketergantungan pada masing-masing pihak.
Bagi korban, diperlukan untuk menyakinkannya agar berani untuk mengatakan tidak pada tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya, lalu membantu melihat pilihan dan alternative yang mungkin dan menumbuhkan kepercayaan dirinya. Kemudian untuk korban yang mengalami trauma tentu dibutuhkan penanganan khusus oleh psikiater atau psikolog dan mendapatkan pendampingan korban tahap awal.
Bagi pelaku kekerasan selain jalur hukum yang tentunya akan menjerat, namun perlu juga untuk ditelusuri penyebab dari perilakunya tersebut. Jika ada peristiwa buruk atau perilaku traumatik sehingga dia menggunakan cara penyelesaian konflik dengan cara kekerasan maka tentunya pelaku ini pun berhak mendapatkan konseling ataupun psikoterapi dari psikolog atau psikiater.
Di Indonesia sendiri, telah ada hukum yang melindungi korban kekerasan (termasuk kekerasan dalam pacaran). Aturan hukum tersebut diatur pada pasal 351-358 KUHP untuk penganiayaan fisik, pasal 289-296 tentang pencabulan, pasal 281-283 dan pasal 532-533 untuk kejahatan terhadap kesopanan, dan pasal 286-288 untuk persetubuhan dengan perempuan di bawah umur.
Kekerasan dalam pacaran ini tentunya bukan menjadi hal sepele dan hanya menjadi angin lalu. Diperlukan perhatian khusus dari segala pihak yang terlibat. Pemerintah, keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan bermain harus senan tiasa mengedukasikan tentang hal ini karena segala bentuk kekerasan dalam ranah apapun adalah tindakan yang tidak wajar dan tidak boleh ditoleransi. Dan juga jangan sungkan untuk laporkan segala bentuk kekerasan yang terjadi, karena diam bukanlah bentuk dari solusi.
(ded/ded)