demamganja di indonesia logo
undefined
image 1 for background / image background
image 3


Berjuta-juta tahun hidup bersama manusia, ganja pada dekade 1960-an mulai dicap barang ilegal. Di Indonesia, pengguna ganja diancam hukuman minimal empat tahun bui. Seiring perkembangan riset medis yang membuktikan manfaat ganja, muncul gerakan yang mengupayakan tanaman perdu itu keluar dari daftar barang ‘haram’. Dengan statusnya yang hingga kini masih ilegal, diam-diam sejumlah pasien di Indonesia memanfaatkan ganja sebagai alternatif pengobatan. 


Bersiasat dengan Ganja 

Persinggahan di Amsterdam, Belanda sekitar 1999, mengubah hidup Prawara. Ketika itu kapal pesiar tempat dia bekerja berlabuh di negeri kincir angin.

Prawara, bukan nama sebenarnya, menyempatkan diri berjalan-jalan menelusuri kota Amsterdam. Di sana dia menemukan hal yang unik: deretan kedai kopi, kafe dan klinik medis yang menjajakan ganja secara legal.

Pemerintah Belanda terbilang progresif. Sejak 1970-an mereka mengizinkan tempat tertentu memperjualbelikan ganja dengan jumlah terkontrol.

Prawara memilih mampir ke sebuah klinik medis dan berkonsultasi kepada seorang dokter tentang nyeri di daerah punggung bawah (low back pain). Penyakit itu dideritanya sejak 1990.

Dokter di klinik medis yang ia sambangi menawarkan terapi kanabis atau ganja sebagai obat.

“Dia mengatakan ganja dapat menghilangkan nyeri tanpa efek samping dan tak ada ketergantungan,” kata Prawara kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Prawara mengikuti anjuran sang dokter. Ia membakar dan mengisap lintingan ganja.

“Entah itu sugesti atau apa. Tapi saya bisa merasakan ketika menggunakan kanabis, sakit saya hilang,” katanya.

Kebun ganja di Bogota, Kolombia. REUTERS/John Vizcaino


Setahu saya itu jenis obat koplo. Tapi obat-obat itu tetap saya konsumsi karena tidak ada pilihan obat lain.”

Prawara kerap menderita nyeri di daerah punggung bawah. Nyeri itu muncul secara tiba-tiba, terutama bila duduk terlalu lama. Setelah beberapa kali berkonsultasi dengan dokter di Indonesia, dia divonis menderita penyakit turunan. 

Saat berobat, Prawara biasanya mendapat resep obat antidepresan seperti alprazolam, nitrazepam, atapun xanax untuk mengurangi rasa nyeri. 

“Setahu saya itu jenis obat koplo. Tapi obat-obat itu tetap saya konsumsi karena tidak ada pilihan obat lain,” kata dia.

Prawara mengetahui efek candu dari antidepresan. Oleh sebab itu ia enggan menyentuh obat-obatan antidepresan lagi sejak merasakan manfaat ganja.

“Dari yang saya rasakan, ada perbedaan efek antara obat antidepresan dan ganja. Obat antidepresan itu cenderung membuat ngantuk dan badan menjadi agak lemas. Tapi kanabis membuat rileks dan tetap tak mengganggu pekerjaan,” kata dia. 

Produk obat ganja. REUTERS/Robert Galbraith

Tentu saja Prawara memahami aturan hukum di Indonesia yang menggolongkan ganja alias mariyuana sebagai narkotik. Pengguna ganja di Indonesia diancam hukuman penjara lebih dari empat tahun. 

Tapi demi kesehatan, Prawara memilih memanfaatkan ganja secara diam-diam. 

“Saya dulu beli dalam jumlah besar, kemudian saya simpan dan ambil sedikit-sedikit untuk pemakaiannya. Sekarang lebih berhati-hati,” kata dia. 

Prawara bukanlah satu-satunya yang secara sembunyi-sembunyi memilih ganja untuk pengobatan. Ada beberapa pasien lain yang menggunakan ganja yang ditemui CNNINdonesia.com di antaranya seorang penderita HIV/AIDS. 

Gelombang sains ganja

Sains ganja di luar negeri berkembang pesat, beda dengan di dalam negeri. Sejumlah penelitian menunjukkan mariyuana alias ganja bisa bermanfaat menjadi obat.

Beberapa negara berada di garda depan dalam riset manfaat ganja untuk pengobatan. Negara-negara itu misalnya Israel, Inggris, Kanada, Cina, dan Uruguay. 

Pemanfaatan mariyuana untuk kebutuhan medis bukanlah hal baru dalam peradaban manusia. Buku Hikayat Pohon Ganja menyebutkan tanaman ini selama ribuan tahun menjadi andalan manusia dalam pengobatan. Salah satunya disebutkan dalam Pen Ts’ao Ching, kitab pengobatan tua bertarikh 2900 sebelum Masehi.

Ganja yang diberi nama latin Cannabis Sativa oleh Carolus Linnaeus–dokter serta ahli botani dan zoologi asal Swedia–  pada 1753, dilarang pertama kali dalam Marijuana Tax Act di Amerika pada 1937.

Pelarangan ini bergema meluas ke seluruh dunia dengan lahirnya Konvensi Tunggal Narkotik Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1961. Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi aturan konvensi tunggal narkotik. 

Infografis Aturan Hukum dan Dampak Negatif Ganja: Laudy Gracivia

Meski berstatus barang ilegal, beberapa negara membuka keran izin bagi riset medis ganja. Israel adalah negara pionir dalam penelitian ganja yang dirintis oleh ahli kimia organik Raphael Mechoulam pada 1963. 

Pada 1964, Mechoulam menemukan delta-9 tetrahidrocannabinol atau THC sebagai senyawa paling aktif dalam ganja. Sejak penemuan ini, terjadi gelombang besar penelitian di bidang kimia, farmakologi dan aspek klinik atas kelompok senyawa dalam ganja yang biasa disebut cannabinoid

Raphael Mechoulam -- AFP PHOTO / JACK GUEZ

Beberapa tahun kemudian terungkap ganja mengandung 400 jenis senyawa, dan 60 senyawa di antaranya tergolong sebagai cannabinoid. Sementara itu molekul THC dikategorikan memiliki efek psikoaktif yang membuat “high” atau “giting” jika dikonsumsi. 

Gelombang riset semakin meluas sejak 1988, ketika Allyn Howlett and William Devane menemukan adanya reseptor cannabinoid pada tikus. Penelitian selanjutnya menemukan reseptor yang sama pada otak manusia.

Menurut dokter ahli saraf, Ryu Hasan, sejak ditemukannya reseptor cannabinoid pada otak manusia dan mahluk lain pada 1990, mengubah asumsi umum tentang ganja. 

Ada dua reseptor cannabinoid yang diidentifikasikan dalam tubuh manusia, yakni yang terhubung dengan rasa nyeri (CB1) dan terhubung dengan sistem kekebalan (CB2). Kedua reseptor ini tertanam secara genetis sejak ribuan atau jutaan tahun lalu. 

Penderita HIV yang diberikan cannabinoid akan lebih tahan atau malah tidak tertular HIV.”

Mechoulam dan Devane mengidentifikasi senyawa otak alami yang mengikat pada reseptor cannabinoid dengan sebutan anandamide, dari kata Sansekerta untuk "kebahagiaan kekal".

Anandamide dikenal dengan sebutan endocannabinoid. Hingga kini, hanya ganja sebagai tanaman yang menghasilkan senyawa cannabinoid

Menurut Ryu, berbagai riset menemukan cannabinoid memiliki sifat perlindungan sel saraf, bukan merusak. Pada penelitian yang diujicobakan kepada hewan, cannabinoid memberikan efek signifikan untuk memperlambat dan menghambat proses-proses neurodegeneratif  atau penuaan sel saraf. Begitu juga untuk meningkatkan kekebalan tubuh.

“Setelah diteliti ternyata cannabinoid bisa berefek memodulasi sistem kekebalan tubuh atau imunitas. Penderita HIV yang diberikan cannabinoid akan lebih tahan atau malah tidak tertular HIV,” kata Ryu, beberapa waktu lalu.  

Penelitian mengenai manfaat ganja medis hingga kini terus dikembangkan. Ryu menyebut hal yang belum terpecahkan adalah mekanisme cannabinoid menghilangkan nyeri dan imunitas, serta bagaimana cara senyawa itu bekerja pada kedua reseptor cannabinoid

Infografis Mengenal Ganja: Laudy Gracivia

Berbeda dengan narkotik

Ryu mengatakan meski proses penelitian ganja masih berkembang, menggunakan ganja untuk medis tergolong aman. Berbagai hasil penelitian menyebutkan ganja tak menyebabkan over dosis, efek samping dan juga tak menimbulkan adiksi atau ketagihan. 

Ryu Hasan, dokter ahli saraf. CNN Indonesia/Yuliawati

“Potensi adiksi selalu ada, tapi tidak pernah ada laporan yang menyebutkan seseorang itu sakaw karena ganja,” kata Ryu.

Dari hasil penelitian batas aman dosis yang dilakukan Francis Young pada 1988, risiko kematian akibat ganja diklaim lebih kecil dibandingkan valium, aspirin, nikotin (rokok), garam dan vitamin C. 

Penelitian lain juga menyebutkan ganja menimbulkan reaksi fatal bila dikonsumsi 800 linting dalam satu waktu, sementara hanya butuh 60 miligram nikotin dari tembakau untuk menimbulkan over dosis. 

“Selama ini tidak ada istilah orang pernah overdosis atau keracunan ganja atau cannabinoid,” kata Ryu. Selain itu, kata Ryu, penggunaan ganja lebih aman karena tidak langsung masuk ke darah. Pengguna ganja medis kerap memanfaatkan dalam bentuk ekstrak ganja yang digunakan di bawah lidah. 

Meski begitu, Ryu mengingatkan pentingnya kehati-hatian menyikapi informasi manfaat ganja. Misalnya, penyebutan ganja sebagai obat kanker yang sesungguhnya belum terbukti. 

Ryu menjelaskan kanker yang diderita seseorang tak bisa hilang sama sekali. Efek cannabinoid bagi pasien kanker terkait berkurangnya rasa nyeri. 

Pasien kanker yang hidup tanpa rasa nyeri kemungkinan akan mengalami peningkatan persentase ketahanan masa hidup lima tahun. 

“Itu ada hubungannya dengan imunitas seseorang, apabila nyeri berkurang dan semangatnya menjadi tinggi, ada kemungkinan tubuh menghadapi sisa-sisa kanker dengan lebih baik. Itu logis,” kata Ryu. 

Ryu menegaskan, perhitungan manfaat ganja ini dengan kondisi sebagai pendamping dari penggunaan obat-obat standar. 

Berkaca pada berbagai bukti ilmiah yang ada, Ryu berpandangan ganja bukanlah narkotik. Secara farmakologis bahan-bahan aktif yang ada pada mariyuana sangat berbeda dengan narkotik, opium, psikotropika atau bahan-bahan narkotik lain.

“Menyamakan ganja sebagai narkotik itu sebuah kekeliruan. Tapi kan produk hukum tidak segampang itu berubah, berbeda dengan pandangan dokter yang melandasi lewat bukti ilmiah,” kata Ryu. 

Larangan terhadap ganja itulah yang membuat dokter enggan memberikan resep, meski mengetahui manfaatnya. 

Prawara pernah meminta beberapa dokter untuk membuatkan resep pengobatan ganja, namun ditolak. Dia pun berharap ada perubahan aturan hukum tentang pelarangan ganja untuk kepentingan pengobatan di Indonesia. 

“Saya berharap segera ada riset medis soal ganja di Indonesia serta revisi undang-undang narkotik tentang pelarangan ganja,” kata Prawara. 


Reporter: Gilang Fauzi, Yuliawati | Editor: Yuliawati, Anggi Kusumadewi












Nasib Mariyuana di Lereng Gunung Lawu 


Berada di lereng Gunung Lawu, kantor Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (BPPTOOT) memiliki hawa sejuk yang cocok untuk pertumbuhan tanaman obat.

Ribuan spesies tanaman obat tumbuh subur di pusat penelitian yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut di Tawangmangu, Jawa Tengah. Ganja atau mariyuana adalah salah satu jenis tanaman yang mendapatkan tempat, meski dengan perlakuan khusus. 

Tanaman jenis perdu itu hidup dalam kerangkeng besi setinggi tiga meter dengan gembok yang selalu terkunci dan berlabel 'narkotika'. Ketika CNNIndonesia.com berkunjung ke pusat penelitian itu, sayangnya tak ada satupun ganja yang bertahan hidup dalam kerangkeng.

 “Kami belum mendapat suplai bibit sejak 2014, dan meskipun dikerangkeng, tanaman ini rentan dicuri,” kata Kepala BPPTOOT, Lucie Widowati, saat ditemui CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu di Tawangmangu, Jawa Tengah. 

Ganja yang ditanam di Tawangmangu sejak awal 2000-an hanya untuk memenuhi kepentingan penyelidikan. Apabila aparat hukum hendak menyelidiki kandungan ganja dari suatu bahan, mereka dapat meminta sample dari tempat ini. 

Ganja yang secara fisik dikerangkeng, seolah menjadi refleksi dari nasib perkembangan riset medis tanaman itu. Hingga kini, tak ada satu pun riset medis di Indonesia mengenai ganja, tanaman yang sejak ratusan tahun dikenal leluhur berkhasiat mengenyahkan penyakit tertentu.

Yayasan Sativa Nusantara merupakan satu-satunya lembaga yang mengajukan proposal penelitian kepada Kementerian Kesehatan sejak 9 Oktober 2014. Yayasan ini berafiliasi dengan Lingkar Ganja Nusantara, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mendorong gerakan legalisasi ganja. 

“Penelitian ganja hanya diperbolehkan bila bekerja sama dengan pemerintah,” kata Direktur Yayasan Sativa, Inang Winarso, beberapa waktu lalu. 

Toko ganja The Cannabis Corner, Washington, Amerika Serikat. REUTERS/Jason Redmond

Proposal yang diajukan Yayasan Sativa berjudul Optimasi Obat (Lead) Diabetes Menggunakan Ekstrak Akar, Bunga, dan Biji Cannabis. Proposal ini telah dipresentasikan di hadapan Kementerian Kesehatan.

Selain proses yang panjang, dana yang dibutuhkan untuk penelitian pun tidak sedikit. “Perkiraannya membutuhkan dana sekitar Rp500 juta.” 

Penelitian diketuai oleh Profesor Musri Musman, ahli kimia dari Universitas Syiah Kuala, Aceh. Musri telah melakukan kajian literatur tentang kanabis atau ganja selama 25 tahun. Dari berbagai literatur yang dikumpulkan, Musri membuat daftar 36 penyakit yang bisa diatasi oleh ganja.

Beberapa penelitian di luar negeri menunjukkan cannabidiol atau CBD dalam ganja diyakini mampu mengatasi diabetes. Salah satunya adalah studi yang diterbitkan Journal Autoimmunity pada 2006. Pemberian injeksi lima miligram CBD setiap hari dapat mengurangi dibetes pada tikus percobaan. 

Musri tertarik memperdalam manfaat CBD untuk pengobatan diabetes bagi manusia karena saat ini penyakit itu menjadi penyebab kematian nomor empat di Indonesia. “CBD atau cannabidiol itu berpotensi untuk memperbaiki penyakit diabetes melitus, senyawa tersebut bisa berinteraksi dengan sel-sel yang rusak akibat kelebihan gula,” kata Musri. 

Dari hasil analisa struktur kimia, CBD sangat potensial dijadikan sebagai obat. Sementara berdasarkan aturan Lipinski, kata Musri, hanya molekul-molekul dengan berat di bawah 500 dalton yang potensial mengatasi penyakit degeneratif seperti diabetes. “Struktur kimia CBD memenuhi syarat aturan Lipinski,” kata Musri. 

Profesor Musri Musman. CNN Indonesia/Yuliawati

Musri merencanakan proses penelitian dengan mengisolasi struktur kimia cannabidiol lewat proses kromatografi atau teknik pemisahan. Selanjutnya dilakukan uji toksisitas untuk mengetahui efek obat, serta uji klinis untuk mengevaluasi keamanan obat.

Selain proses yang panjang, dana yang dibutuhkan untuk penelitian pun tidak sedikit. “Perkiraannya membutuhkan dana sekitar Rp500 juta,” kata Musri. 

Proposal yang diajukan ini telah disetujui Kementerian Kesehatan pada 30 Januari 2015. Selanjutnya pada 23 Maret 2015, Menteri Kesehatan Nila Farida Moeloek mengeluarkan surat keputusan mengenai izin riset  menggunakan tanaman Papaver, Ganja dan Koka.

Keputusan itu menyebutkan riset hanya dapat dilakukan bersama BPPTOOT di Tawangmangu. 

Meski telah mendapat restu dari pusat, penelitian ganja untuk diabet hingga kini belum juga dilakukan. Prosedur izin riset ganja dalam hal ini juga perlu melibatkan aparat penegak hukum sebagai pihak yang mengawasi penelitian.

Kepala BPPTOOT, Lucie Widowati, di sisi lain menganggap penelitian ganja bukan sebuah urgensi yang perlu diprioritaskan. 

Alasannya, saat ini balai penelitian telah mengantongi 25 ribu ramuan jamu yang diperoleh dari sekitar 19 ribu tanaman obat. Beberapa di antaranya telah teruji mampu mengatasi diabetes.

Jeda Penantian di Tawangmangu
Video: Artho Viando, Gilang Fauzi, Yuliawati

Kemudahan riset kanabis 

Lika-liku perjalanan Yayasan Sativa meneliti ganja berbeda dengan pengalaman yang dimiliki Hendra Michael Aquan. Hendra merupakan orang Indonesia yang mendapat kesempatan meneliti ganja, meski tidak di negeri sendiri.

Hendra meneliti tanaman ganja ketika membuat tesis untuk meraih gelar Master Lingkungan dari Universitas Massey, Selandia Baru pada 2015. 

Pria kelahiran Yogyakarta itu meneliti fitoekstraksi terhadap logam mulia paladium dan emas.

Fitoekstrasi adalah metode penyerapan logam berat oleh akar tanaman. Logam yang terserap akan terakumulasi ke bagian-bagian tanaman seperti akar, batang dan daun.

Paladium merupakan logam langka berwarna putih keperakan, yang hanya ada sedikit di antaranya di Rusia, Afrika Selatan, dan Australia.

“Saya tertarik menggunakan kanabis karena dari literatur yang saya baca, tanaman ini memiliki toleransi adaptasi yang tinggi di lahan dengan kandungan tembaga yang tinggi.”                   

Hendra menggunakan tanaman ganja (Cannabis Sativa) dan mustard (Brassica Juncea) untuk menguji sejauh mana kekuatan tanaman ini menyerap paladium dan emas yang diambil dari Broken Hill Gossan, Australia.

Proses awal penelitian Hendra dimulai dari izin ke Kementerian Kesehatan Selandia Baru. Saat mengajukan izin, Hendra sekaligus meminta pasokan biji ganja. Izin dan permintaan Hendra dikabulkan dalam waktu sebulan. Dia mendapatkan pasokan 195 biji ganja sebagai bahan penelitian.

“Saya tertarik menggunakan kanabis karena dari literatur yang saya baca, tanaman ini memiliki toleransi adaptasi yang tinggi di lahan dengan kandungan tembaga yang tinggi,” kata dia. Proses penelitian membutuhkan tanaman yang cepat tumbuh dan ganja memenuhi persyaratan ini. 

Ladang ganja untuk pengobatan. REUTERS/Juan Gonzalez

Hendra menggunakan 60 kilogram material tanah dari Broken Hill Gossan yang ditaruh dalam pot sebagai media pertumbuhan tanaman. Bibit kedua tanaman kemudian disebar dalam pot-pot tersebut.

“Saya menyebar bibit ke 39 pot dan yang tumbuh 67 persen,” kata Hendra. 

Setelah tanaman tumbuh, Hendra mengaplikasikan larutan kalium sianida ke dalam setiap pot untuk menginduksi penyerapan logam. Hasil penelitian menunjukkan Cannabis Sativa mampu menyerap logam lebih baik dibandingkan dengan Brassica Juncea.

Dari hasil penelitian Hendra, nilai konsentrasi logam yang berhasil diserap kanabis setelah diberikan sianida adalah: tembaga (6726 mikrogram per gram), nikel (184 mikrogram per gram), paladium (62 mikrogram per gram) dan emas (sembilan mikrogram per gram).

Kemudahan dukungan dari pemerintah dan kampus membuat masa penelitian Hendra tidaklah panjang. Proses riset berlangsung selama tiga bulan yakni mulai dari Desember 2014 hingga Februari 2015.

“Banyak mahasiswa lain yang meneliti menggunakan ganja. Pemerintah di sana cukup terbuka memberikan pendampingan selama demi kemajuan riset,” kata Hendra. 

Berbeda dengan negara-negara maju, nasib riset ganja di Indonesia masih menggantung di Tawangmangu. Yayasan Sativa menyayangkan sikap pemerintah yang belum mendukung penelitian kanabis.

“Beri kami kesempatan untuk menunjukkan riset ganja ini bermanfaat,” kata Musri.


Reporter: Gilang Fauzi, Yuliawati | Editor: Yuliawati

Dari Ganja ke Seni Penjara
Video: Artho Viando, Gilang Fauzi










Anak Ganja Menggantung di Atap Dapur


Sebatang pohon flamboyan yang tumbuh di tepi kanal, daunnya berguguran pada sore yang kering di Banda Aceh, akhir Juli lalu. Kamil, 26 tahun, mengumpulkan daun rontok bersama ranting kering membentuk gundukan sampah.

"Sudah 4:20. Sekarang saatnya," kata Kamil, bukan nama sebenarnya, usai melirik arloji di tangan kiri.

Pemuda itu lantas membakar tumpukan gundukan dengan korek api. Setelah itu, dia beringsut duduk di bangku kayu yang dinaungi rindangnya flamboyan. 

Kamil duduk membelakangi siluet kanal berlatar mentari keemasan. Dia bersiap memulai ritualnya: menyesap ganja.

Seorang pemuda memperlihatkan akar ganja di sebuahh ladang di Aceh Besar.  
CNN Indonesia/Gilang Fauzi

Dengan mata kuyu namun awas, Kamil mengeluarkan sebatang kretek yang isinya bercampur sejumput bunga ganja kering. Diisapnya kretek itu dengan lembut tapi dengan tarikan yang dalam.

Asap kretek ganja terembus dari mulut Kamil, membumbung terempas angin ke udara, menyatu dengan asap bakaran sampah, menembus celah-celah pucuk flamboyan, bergumul dalam tangkapan cahaya, lalu mengguratkan semburat garis-garis asap di udara.

Kamil kemudian merebahkan badan pada sandaran bangku kayu, melepas senyum yang lebih merekah dari sebelumnya.

"Voila," kata dia dengan nada datar. 

Kode 4:20 adalah istilah yang digunakan untuk merujuk waktu berkumpul The Waldos, geng remaja asal California pada 1970-an. Pada jam minum teh itu, setelah pulang sekolah, mereka bertemu di bawah patung Louis Pasteur, San Rafael, California, untuk mengisap ganja.

Kisah ini menjadi simbol peringatan Hari Ganja Internasional setiap tanggal 20 April. Kamil mengetahuinya dari internet.

Patung Louis Pasteur di San Rafael High School -- Dok. Wikimedia Commons

Berbeda dengan The Waldos, Kamil perlu sedikit bersiasat mengaburkan asap ganja dengan bakaran sampah demi menikmati kretek isapannya di area publik yang sepi. Bukan untuk gaya-gayaan, kata Kamil, tapi sebagai pencair suasana sore setelah aktivitas seharian.

Kamil tahu risiko hukum akibat mengganja. Sama seperti daerah lainnya, hukuman pidana juga mengintai para pengganja, penjual, dan pengedar di Tanah Rencong. Tentu saja ini membuat Kamil, seorang pemuda yang menganggap ganja sebagai bagian dari tanah kelahirannya, bertindak hati-hati.

Kamil berubah menjadi sosok yang sangat tegas saat bekerja sebagai barista di kedai kopi. Dia tak mengizinkan siapapun, termasuk dirinya, membakar lintingan mariyuana di tempatnya bekerja. 

Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kopi ganja. Dok.Istimewa

"Stay safe. Risiko ditanggung sendiri," kata Kamil ketika menolak salah seorang pelanggan yang mencari tempat untuk mengganja.

Kamil menekankan tidak semua pemuda Aceh mengganja. Kalaupun ada, kata dia, mereka akan menikmatinya di peraduan masing-masing sebelum berkumpul di kedai-kedai tongkrongan.

"Aceh itu santun. Kita sama-sama tahu, jadi tak perlu diumbar-umbar," kata Kamil.

Bukan untuk mabuk

Tempurung kelapa berisi biji-biji ganja biasa tergantung di langit-langit atap dapur, kala Barlian AW masih kecil di periode 1950-an. Ketika itu hampir seluruh masyarakat Aceh memiliki stok biji ganja di rumah masing-masing.

Biji-biji ganja itu hanya digunakan ketika dibutuhkan, dan bisa disimpan bertahun-tahun. Kandungan minyak dari biji ganja diyakini berkhasiat menyembuhkan luka atau alergi pada kulit.

"Jadi itu semacam obat bius yang bisa ditabur di luka dan bisa dimakan. Kalau kita makan itu sakitnya berkurang, semacam antibiotik," kata Barlian, salah satu pemerhati budaya Aceh, kepada CNNIndonesia.com, akhir Juli lalu.

Selain untuk obat, biji yang juga disebut ‘anak ganja’ ini dimanfaatkan untuk kuliner seperti kare kameng alias kari kambing, terutama ketika masyarakat menggelar pesta atau hajatan seperti acara kenduri. 

Barlian menduga penggunaan biji ganja sebagai bumbu makanan ini terpengaruh kuliner asal India. Bangsa Asia Selatan itu memiliki kebiasaan menggunakan kacha-kache, butiran kecil mirip biji ganja berwarna kuning kecokelatan. Butiran itu biasa dimasukkan dalam kuah kari daging untuk mengempukkan sekaligus memberi rasa gurih.   

Mie Aceh Ganja. CNN Indonesia/Gilang Fauzi

Berdasarkan catatan perjalanan petualang asal Maroko, Ibnu Batutah, bangsa India dan Timur Tengah datang ke Aceh pada abad ke-13. Kedatangan kedua bangsa ini yang kemungkinan mengenalkan ganja kepada masyarakat Aceh.

“Kedatangan pelancong ini membawa kebutuhan lain, misalnya seperti bibit tumbuh-tumbuhan, baik yang memang untuk dimakan secara reguler, maupun tumbuh-tumbuhan sebagai obat, atau tumbuh-tumbuhan sebagai bumbu masak," kata Barlian. 

Rektor Universitas Teuku Umar, Jasman J. Ma'ruf semasa kecilnya pada tahun 1970an turut menyaksikan bagaimana ganja masih dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga. Jasman merupakan generasi setelah Barlian yang sempat dibesarkan ketika masyarakat Aceh memaknai ganja bukan sebagai tanaman tabu.

Jasman mengatakan masyarakat Aceh menyimpan biji-biji ganja bukan untuk mabuk. Menurut dia, penyalahgunaan ganja dengan cara diisap justru marak ketika muncul pelarangan. 

"Tidak ada yang mabuk-mabukan karena itu. Orang pun saat itu tidak terbayang untuk mengisap daun itu, baru kemudian saja munculnya," kata Jasman.

Jasman kini sedang memperjuangkan izin pembangunan pusat riset tanaman ganja untuk medis di kampus yang dia pimpin. Rektor dari universitas yang mengutamakan ilmu agroindustri di Meulaboh itu menilai ganja berpotensi besar menjadi komoditas yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan medis dan industri.

Terlepas dari itu, Jasman merasakan ironi di tanah kelahirannya sendiri. Ganja tumbuh subur di Aceh, kata Jasman, tapi tak diberdayakan untuk mengungkap fakta ilmiah dari fungsi medis yang telah dipraktikkan masyarakat sejak dulu.

“Jangan-jangan obat yang kita datangkan dari luar negeri itu juga ada kandungan ganjanya. Kalau kita punya, kenapa harus kita impor,” kata Jasman.

Regulasi narkotik, kata Jasman, telah mematikan fungsi tanaman ganja untuk kebutuhan medis dan bahan kuliner masyarakat Aceh. Riset ataupun penelitian menjadi langkah awal untuk membuktikan manfaat ganja secara ilmiah.

Dodol ganja. CNN Indonesia/ Gilang Fauzi

Lain lagi yang dilakukan Ikhsan, seorang penyuluh pertanian di wilayah Blangpidie, Aceh Barat Daya. Dia tengah berusaha membuat pestisida organik berbahan baku utama ekstrak tanaman ganja. 

Jangan-jangan obat yang kita datangkan dari luar negeri itu juga ada kandungan ganjanya. Kalau kita punya, kenapa harus kita impor.”

Ide Ikhsan terinspirasi pada kebiasaan petani generasi kakeknya yang menjadikan ganja sebagai tanaman membasmi hama. Pada masa lampau, ganja biasa ditanam berdampingan dengan  aneka tanaman rempah, cabai, teh, atau bahkan kopi. Aroma atau bau yang dihasilkan mariyuana diyakini ampuh menjauhkan hama.

Upaya Ikhsan untuk membuat hak paten ganja sebagai produk pestisida organik juga mengalami kendala yang sama: terbentur  regulasi yang mengkategorikan ganja sebagai tanaman narkotik. 

"Satu-satunya jalan kalau ingin menguji ini ya harus diawasi aparat. Tapi untuk bisa mendapatkan izin itu butuh proses yang tidak mudah," kata Ikhsan. 

Ganja di Aceh tak ubahnya sebuah dilema. Tanaman itu masih tumbuh subur dan menjamur tapi tidak menjadi milik warga seutuhnya. Ganja pun kini ditanam di ladang-ladang perbukitan tersembunyi dan menjadi komoditas bisnis gelap narkotik.

Kamil adalah bagian dari generasi yang harus merogoh saku demi mendapatkan  ganja di tanah kelahirannya sendiri. Dia dibesarkan di masa transisi, ketika regulasi mulai mengikis makna budaya dan pengobatan  ganja di Aceh. 

Bagi Kamil, dilema ganja di Aceh kini bukan lagi soal benturan budaya dan regulasi. Namun rasa heran terhadap pemerintah pusat yang lewat aparat hukum mengedepankan agenda pemusnahan ladang ketimbang mengkaji ganja untuk kepentingan yang lebih mulia.

"Mereka bukan sekadar memusnahkan sejarah Aceh, tapi juga mengingkari takdir Tuhan," kata Kamil.


Reporter: Gilang Fauzi | Editor: Yuliawati










Si Ekor Tupai dari Tanah Rencong


Hamparan lahan tanaman ganja seluas 1,5 hektar membentang di balik perbukitan berjarak  delapan kilometer dari desa Lambada, pegunungan Lamteuba, Kecamatan Seulimun, Aceh Besar.

Butuh waktu tempuh minimal tiga jam dari desa menuju ladang yang tersembunyi di lereng Gunung Seulawah Agam itu. Perjalanan ditempuh melalui setapak  penuh belukar dan bermedan terjal. 

Ladang tersembunyi itu ditemukan tim Badan Narkotika Nasional pada pertengahan Juli lalu. Setelah memantau dua pekan tanpa ada kejelasan pemiliknya, tim pemberantas memutuskan untuk memusnahkannya. 

Tanaman ganja di lahan itu tumbuh dengan rentang usia berbeda. Areal bagian tengah ditanami ganja yang berusia muda, sedang di bagian pinggir ditumbuhi tanaman setinggi pinggang orang dewasa. 

Bila mata tak awas, areal di bagian tengah tampak seperti hamparan ladang tandus. Perlu penglihatan saksama agar kaki tak menginjak tanaman setinggi jengkal tangan dewasa. "Ini usianya baru dua minggu," kata seorang penyidik.

Di bagian timur ladang, tampak dua petak lahan seukuran tiga meter persegi yang ditempati tunas pohon ganja yang baru mekar dari bijinya. Tunas-tunas ini adalah calon tanaman yang kelak ditebar di lahan. 

Tidak jauh dari hamparan tanaman, tampak gubuk berbahan terpal. Gubuk itu biasa dijadikan tempat istirahat petani sekaligus tempat pembenihan bibit. 

Petugas bersiaga di sebuah ladang ganja di Aceh Besar. CNN Indonesia/Gilang Fauzi

Di depan gubuk terdapat cerukan beralaskan terpal untuk menadah air hujan. Pasokan air penting untuk menjaga kelembapan penyemaian bibit. 

Berjarak sekitar 200 meter ke arah tenggara, terhalang beberapa pepohonan yang rapat, tampak ladang kedua dengan luas hamparan yang hampir sama. Di ladang ini, pohon ganja hampir setinggi orang dewasa, tinggal menunggu masa panen tidak kurang dari satu bulan. 

"Jika ladang ini dipanen, diperkirakan ada sekitar empat ton ganja beredar di pasaran," kata Kepala Sub Direktorat Narkotika Alami Deputi Pemberantasan BNN, Komisaris Besar Anggoro Sukartono.

Areal pegunungan Lamteuba bukan sekali itu saja didatangi aparat. Lokasi ini dikenal sebagai tempat ‘langganan’ aparat memusnahkan ladang ganja. 

"Jika ladang ini dipanen, diperkirakan ada sekitar empat ton ganja beredar di pasaran."

Di pegunungan Lamteuba pada April lalu, digelar seremoni pemusnahan besar-besaran di bawah pimpinan langsung mantan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. 

Tim gabungan kala itu memusnahkan 189 hektare ladang ganja di tiga kabupaten di Aceh, yakni Aceh Besar, Nagan Raya, dan Gayo Lues. 




Petani ladang kerap tertipu 

Penggarapan ladang ganja di Aceh kerap melibatkan penduduk desa yang biasanya dibayar oleh para pemodal. Fauzan, salah satu warga desa Lambada pada 2000 pernah diminta menanam ganja di lahan seluas 1,5 hektare di pegunungan Lamteuba. 

Fauzan mengurus ladang bersama kawan-kawannya selama berbulan-bulan, mulai dari penyemaian hingga penanaman. Ketika masuk masa panen, orang yang menyuruhnya menanam berkunjung dan membawa hasil panen. 

Usai hasil panen diangkut, Fauzan tak pernah mendapat kabar kapan dirinya akan menerima upah yang dijanjikan. “Kami ditipu oleh orang yang menyuruh kami. Hasil diambil semua sama dia,” kata Fauzan pada April lalu. 

Fauzan lantas mencoba peruntungan menanam sendiri ganja di ladang yang sama. Namun setelah memasuki masa panen, ladang digerebek aparat. Sejak itu Fauzan mengaku kapok. 

Menurut seorang penyidik di Aceh, petani adalah bagian terendah dari mata rantai peredaran ganja. Hubungan antara petani dengan pemodal ini terputus atau tanpa ikatan apapun. 

Pemodal biasanya memberikan sejumlah uang untuk biaya produksi kepada petani dan akan membayar jasa penanaman dari keuntungan hasil penjualan. Namun tak jarang petani kena tipu karena pemodal lari dari tanggung jawab. 

Padahal penggarapan ladang skala besar membutuhkan waktu dan keterlibatan orang yang cukup banyak. Para petani membagi kerja menjadi penyemai bibit, penanam, pemupuk, cheker atau pengecek, dan pemanen. Masing-masing bekerja selama rentang waktu masa tanam hingga panen dengan durasi enam hingga sepuluh bulan.

Ilustrasi. Para penggarap ganja memilih ladang di daerah pegunungan dengan medan yang sulit. CNN Indonesia/Gilang Fauzi

Selain mendapat suntikan dari pemodal, beberapa petani terkadang bekerja sama mengolah ladang. Setelah masa panen mereka menjualnya kepada para tengkulak. 

Penyerahan ganja antara petani dan tengkulak ditentukan kedua belah pihak. Terkadang petani menyerahkan ganja kering yang telah dipres atau menaruhnya dalam bentuk tanaman di lokasi yang telah ditentukan.

Tengkulak atau pedagang perantara merupakan bagian dari rekanan distributor yang mengatur lalu-lintas pesanan ganja kering ke ibu kota.

"Distributor bekerja sama dengan kurir, pengepul, hingga ke pengedar di lapangan," kata penyidik.

Posisi tertinggi dalam jaringan peredaran ini adalah bos besar yang perannya hingga kini tak pernah tersentuh oleh penegak hukum. 

Legenda Atjeh Haze

Tanaman ganja yang tumbuh di Aceh terkenal dengan sebutan 'The Legendary Atjeh Haze'. Ganja Aceh mendapat pengakuan berkualitas wahid dan diakui secara global. Sebuah aplikasi edukasi dan informasi berbasis riset dan penelitian, Leafly, mengategorikan ganja Aceh sebagai cannabis sativa.

Cannabis sativa merupakan jenis ganja yang banyak menghasilkan delta-9 tetrahidrocannabinol (THC), zat psikoaktif yang mampu membangkitkan sensasi gairah untuk bersuka cita.

Bunga ganja. CNN Indonesia/Gilang Fauzi

Atjeh Strain, sebutan khusus untuk ganja Aceh, dianggap mampu memberi efek kebahagiaan, relaks, kreatif, fokus, dan euforia.

Ganja Aceh merupakan sumber utama pasokan untuk Jakarta, kota yang menjadi muara peredaran sebelum disebar ke kota besar lain, terutama di Pulau Jawa. Suplai ganja kering  yang masuk Jakarta juga berasal dari ladang-ladang yang tersebar di sejumlah kota di Pulau Sumatera.

Tengkulak atau pedagang perantara yang membeli hasil bumi dari petani, merupakan bagian dari rekanan distributor yang mengatur lalu-lintas pesanan ganja kering ke ibu kota.

Pengiriman paling besar yang kami tangkap pernah ada mencapai delapan ton."

Distributor selanjutnya meminta kurir, biasanya sopir truk, untuk membawa ganja ke beberapa tempat pemberhentian, hingga sampai ke Jakarta dengan imbalan sekitar Rp2 juta. 

Kurir ini tidak pernah bertemu dengan si pemberi perintah dan hanya membawa truk yang telah disiapkan oleh tengkulak.

Ganja kering yang diangkut truk biasanya berkisar dua hingga lima ton dalam satu kali pengiriman. Jumlah ini diperkirakan berasal dari penanaman di ladang yang luasnya tiga hingga empat hektare. 

"Pengiriman paling besar yang kami tangkap pernah ada mencapai delapan ton," kata penyidik. Dari Aceh, truk menuju perbatasan Sumatera Utara melewati Medan atau Binjai. Kedua kota ini merupakan titik awal atau gerbang utama jalur pendistribusian ganja. Di tempat ini pula, seringkali truk tertangkap aparat dan kandas tak sampai ke tujuan.

Kurir jarang mengirimkan ganja untuk wilayah Sumatera Utara. Di lokasi ini ada distributor khusus yang mendapatkan pasokan dari ladang di Mandailing Natal. Perjalanan distribusi berlanjut ke wilayah Pekanbaru, Riau dan Jambi.  

Di dua wilayah ini, kurir mendrop ganja Aceh namun tak terlalu banyak. Jambi juga mendapat suplai ganja kering dari ladang di Bengkulu --yang diklaim sebagai ladang ganja terbesar setelah Aceh.

Titik distribusi selanjutnya adalah Lampung, sebelum dikirim ke Jakarta. Di wilayah ini juga terdapat ladang ganja namun dengan skala kecil. 

Di Jakarta, kedatangan kurir yang membawa berton-ton ganja kering sudah dinanti para pengepul dengan lokasi dan waktu yang ditentukan oleh distributor. Dari sinilah rantai komando terputus berakhir.

Para pengepul adalah pembeli ganja kering dengan status bandar di kota-kota yang melingkupi Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, termasuk kota-kota besar lain di Pulau Jawa. Satu kilogram ganja kering yang di Aceh dibanderol Rp500 ribu, di ibu kota harganya menjadi Rp2,5-5 juta.

Para pengepul ini nantinya akan memecah paket bal ganja kering menjadi paket-paket kecil atau garisan untuk disuplai kembali ke pengedar-pengedar kecil. Di tingkat pengecer, enam linting ganja kering bisa dibanderol dengan harga sekitar Rp100 ribu.

Meski ganja kering Aceh selalu dinanti di ibu kota, ada pengakuan menggelitik dari seorang petani ganja di Aceh. Menurutnya, ganja yang didistribusikan ke Jakarta selama ini adalah ganja yang kualitasnya tidak terlalu baik.

Tak semua hasil panen ganja di Aceh memiliki kualitas yang sama. Masyarakat setempat mengenal kualitas ganja prima hanya diperoleh ketika bunga ganja tumbuh sempurna dengan kandungan THC di titik maksimal. 

Mereka menyebut bunga ganja yang sempurna itu sebagai ‘ekor tupai’.

Bunga ganja. Reuters/John Vizcaino

Ganja-ganja yang didistribusikan untuk pasar ibu kota biasanya dipanen belum pada masa puncak pembungaan, sehingga bunga-bunga ganja yang menjadi sumber kandungan THC belum menghasilkan kandungannya pada titik maksimal. Tanaman bahkan cenderung mengalami stres karena kadung dipanen belum pada masanya.

Saya di sini (Aceh) biasa isap bunga. Daun-daun besar sisanya saya buang. Tapi teman-teman di Jakarta menganggap itu masih bisa diisap."

Kamil (26), seorang pemuda Aceh Besar membagi pengalamannya membandingkan kualitas ganja Aceh dan Jakarta. Pada 2014, Kamil yang pernah mengikuti sebuah pelatihan selama tiga bulan di Jakarta, kaget dengan kualitas ganja di ibu kota. 

Di Jakarta, enam linting ganja hanya bisa dinikmati olehnya menjadi tiga linting. Kamil membuang materi seperti remahan daun ganja kering dan hanya memilih bunga pilihannya untuk dilinting. 

"Saya di sini (Aceh) biasa isap bunga. Daun-daun besar sisanya saya buang. Tapi teman-teman di Jakarta menganggap itu masih bisa diisap," kata Kamil, bukan nama sebenarnya.

Penyebab si ekor tupai jarang mampir ke ibu kota, di antaranya karena tuntutan bos pengedar bisnis gelap narkotika yang ingin mempercepat perputaran pasokan.  Selain itu, pasar ganja Aceh juga telah merambah ke negara-negara tetangga, bahkan sampai ke Cina.

Di negeri panda, kata penyidik, si ekor tupai diminati untuk diolah menjadi bahan utama hashis atau ganja dengan tingkat kandunganTHC yang tinggi.


Reporter: Gilang Fauzi | Editor: Yuliawati

Infografis Jalur Peredaran Sang Legendaris: Laudy Gracivia





Reporter : Gilang Fauzi | Editor: Yuliawati | Desain: Fajrian, Laudy Gracivia | Video: Artho Viando