laporanmendalam nasional punk tak pernah mati logo
undefined
image 1 for background / image background
image 2
image 3
image 4


Layaknya virus, sub-kultur Punk dengan cepat mewabah ke berbagai negara. Kehadiran mereka yang semula dipandang miring menjadi terlalu besar untuk diabaikan. Semangat antikemapanan pun menggelora seiring dengan raungan distorsi gitar mereka dari atas panggung. Termasuk di Indonesia.



Kamis sore ke-392 di seberang Istana Negara, Jakarta Pusat, beberapa petani berkebaya menumbukkan lesung ke alu. Tumbukan itu membentuk irama. Mikail Israfil alias Mike, vokalis band Marjinal, segera mengambil pengeras suara dan mengatur musik yang dimainkan kawan-kawannya. Bobby Firman Adam, teman satu band Mike, ada juga di sana.

Keduanya merespons irama ketukan lesung para petani Rembang, Jawa Tengah, dengan menyanyikan Ibuku Ibumu Ibumi Kita Semua. Lagu karya Marjinal.

Nyanyian berlanjut hingga beberapa lagu. Band punk rock asal Jakarta Selatan itu mewarnai Aksi Kamisan menagih janji Presiden Joko Widodo untuk  menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Kehidupan para petani dinilai terbelenggu dengan keberadaan pabrik semen yang dinilai merusak alam.

Di sana Mike dan Bobby tak sendiri. Beberapa komunitas punk ikut bersolidaritas saat puluhan petani menyemen kaki di depan Istana.

Merasakan rasanya ditindas, merasakan penderitaan orang lain, minimal berbagi rasa, bersolidaritas.”

Di luar istana, solidaritas juga diwujudkan dengan cara lain. Beberapa band punk, skinhead, hardcore, merilis album kompilasi berjudul Kendeng Melawan. Kompilasi itu didedikasikan untuk perjuangan petani dan masyarakat yang dirugikan atas pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng.

Mike menganggap aksi di Istana itu tak lain upaya menjadi diri sendiri.

“Merasakan rasanya ditindas, merasakan penderitaan orang lain, minimal berbagi rasa, bersolidaritas,” ujarnya, ketika ditemui di komunitas Taring Babi, tempatnya biasa berkumpul.

Bagi kebanyakan mereka yang menjalani hidup sebagai punk, musik memang bukan hanya soal ekspresi diri, tapi juga jadi senjata perlawanan dan kritik sosial pada sistem yang menurut mereka tak sesuai. Melalui lirik-liriknya, band punk mengkritisi pemerintah dan ketidakadilan di masyarakat. Juga membela mereka yang lemah.

"Dari awal memang teman-teman punk menggunakan media musik untuk menyampaikan pesan, menyampaikan ide, menjadikan proses belajar sama-sama tentang kondisi negeri," kata Bobby.

Infografis: Timothy Loen | Naskah: Vetriciawizach Simbolon



Bobby mengatakan, bagi Marjinal, semua hal di sekitar bisa menjadi inspirasi pembuatan lagu. Terutama ketika ada hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai punk. Misalnya masalah kesehatan, pendidikan, diskriminasi, hukum, ketidakadilan sosial, kekuasaan, dan kebobrokan sistem serta pemerintahan.

Tema-tema seperti itu pula yang sering dijadikan Marjinal sebagai 'peluru' dalam berkarya.

Contohnya lagu Hukum Rimba. Lagu itu merupakan kritik Marjinal terhadap karut-marut penegakkan hukum di Indonesia yang katanya semestinya jadi panglima.

Lagu Hukum Rimba berbicara soal noktah hitam peradilan di Indonesia. Bagaimana hukum bisa dibeli mereka-mereka yang punya kekuasaan dan uang.

"Lagu Hukum Rimba. Cerita tentang hukum yang bisa dibeli dan hukum bukan lagi menjadi satu pintu terakhir untuk menentukan keadilan atau siapa yang bersalah. Orang bersalah bisa membeli hukum agar lolos dari apa yang diperbuat," ujar Bobby.

Bobby 'Marjinal'. Foto: Hesti Rika



Musikus punk lain, Rama Aditya, ketika ditemui di kesempatan terpisah mengatakan, hampir semua band punk memang menyuarakan kritik dan perlawanan lewat lagu.

Gitaris band The Sabotage ini mengatakan, pemerintah banyak jadi objek kritik dan isu-isu terkini juga jadi perhatian khusus dalam bermusik.

"Sebagian ada yang mengkritik pemerintah, lalu ada isu-isu yang lagi hangat," kata pria yang kerap disapa Geboy ini.

Rama Aditya, gitaris band punk 'The Sabotage'. Foto:Andito Gilang Pratama




Suara kritis kaum punk membuat kelompok ini kerap dicap berpolitik melalui cara mereka sendiri. Anarkis atau anarkisme adalah teori politik yang bertujuan menciptakan suatu masyarakat yang di dalamnya individu bebas berkumpul bersama. Sederajat.  

Anarkisme melawan semua bentuk kendali hierarkis – baik oleh negara maupun kapitalis—karena dinilai merugikan individu dan individualitas mereka.

Punk dengan anarkis dinilai punya kaitan langsung karena band yang kerap jadi kiblat kaum punk, Sex Pistol, memberi karakter kuat tentang ideologi tersebut pada lagu “Anarchy in the U.K.” 

Banyak musisi punk mempelajari pesan dalam lagu yang dirilis 1976 itu.



Jon Savage dalam buku England’s Dreaming: Anarchy, Sex Pistols, Punk Rock, and Beyond (1992) menyebut punk adalah tentang pemuda, dengan pemberontakan dan kehidupan jalanan sebagai elemen penting, di samping individualitas yang kental.

Namun Craig O’Hara dalam buku Philosophy of Punk (1999) menyebut kesan individualitas itu lebih mengarah pada sikap independen lewat prinsip yang selama ini dipegang punk: do it yourself (DIY) atau kemandirian.

“Kami dalam komunitas punk bisa membuat pertunjukan sendiri, mengorganisir demonstrasi, merilis rekaman kami sendiri, menerbitkan buku dan zine, mengelola distribusi sendiri untuk hal-hal yang kita produksi, buka toko kaset sendiri, mendistribusikan literatur, mengampanyekan boikot, dan berpartisipasi aktif dalam aktivisme sosial-politik. Kami mampu melakukan ini semua, bukan mereka (pengusaha, pemerintah) dan kita bisa melakukannya dengan efektif. Apakah ada subkultur lain yang mempunyai kekuatan aksi dan filosofi independen seperti ini?”

Aksi band Marjinal di depan gedung KPK, Rabu, 17 Februari 2016. Foto: Andry Novelino

Seperti anarkisme, punk juga menolak hierarki yang terwadahi dalam suatu lembaga tertentu. Mike berpendapat, ketika individu punk sudah ideologis maka dia akan berbaur dengan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan, bukan membentuk kelompok sendiri.

“Bicara punk itu bagaimana dia melakukan proses ‘bunuh diri kelas’ yang dengan sadar membawa diri tanpa mengatasnamakan kelompoknya, tapi sebagai insan yang melebur dalam sebuah perjuangan rakyat,” katanya.

Pria 42 tahun ini menyebut pengelompokan merupakan perbuatan sistem kekuasaan. Tujuannya memecah belah masyarakat agar tidak memiliki perasaan senasib dan kesamaan harapan. Sistem seperti ini, menurutnya, perlu dibongkar. 

Infografis: Timothy Loen | Naskah: Vetriciawizach Simbolon

Selama ini Marjinal kerap dilabeli sebagai band anarko punk. Band yang dirikan sejak 1996 itu pernah membuat lagu Anarki Bukan Barbar. 

Walaupun tubuhnya dipenjarakan, tapi jiwa dan pikirannya tetap adalah dirinya. Itu yang disebut dengan punk’s not dead.”

Namun Mike menolak pelabelan itu.

Baginya, tidak penting identitas sebagai seorang punk, anarkis, atau anarko punk. Semangat yang dibawanya adalah katalisator yang mempertemukan setiap perjuangan kemanusiaan.

"Punk adalah katalisator. Apa yang dirasakan lalu dikontribusikan dalam barisan rakyat untuk menjemput keadilan. Punk akan ada di situ," ujarnya.

Mike mengatakan, semangat besar komunitas punk adalah memanusiakan manusia dan menjadi bagian dari gerak perubahan. Menurutnya, setiap orang adalah pemilik atas dirinya sendiri dengan segala pertanggungjawabannya.

Ia menambahkan, musuh terbesar punk adalah dirinya sendiri. “Ada idiom di punk, be your self. Maka musuh terbesar untuk menjadi diri sendiri adalah dirinya, ketika dirinya ingin menjadi orang lain,” kata Mike.

Bagi Mike, ketika individunya berbaur, punk akan abadi. Tak mati oleh kekuatan apapun. 

“Walaupun tubuhnya dipenjarakan, tapi jiwa dan pikirannya tetap adalah dirinya. Itu yang disebut dengan punk’s not dead,” tegasnya.
















Lewat tengah malam, beberapa pemuda berkumpul di emperan sebuah kafe bilangan Bulungan, Jakarta Selatan. Botol berisi anggur ginseng digilir pada setiap orang yang duduk melingkar. Satu per satu mereka menenggak minuman beralkohol yang dibeli dari lapak jamu tradisional itu. 

"Sekadar menghangatkan badan," kata Leonardo Ichwan Redion Mamahit, biasa dipanggil Onie Fukkguy sambil menyodorkan botol ke kawannya. Suhu udara memang semakin dingin memasuki dini hari.

Onie mengambil ponsel dan memutar rekaman video konser Ramones, band punk rock legendaris asal Amerika Serikat. Onie tak sabar bertemu Marky Ramone, mantan penggebuk drum Ramones.

Dia menang undian dan mendapat kesempatan berjumpa Marky sebelum menggelar konser di Jakarta pada 5 Desember 2017. Marky adalah satu-satunya personel Ramones yang masih hidup.

Onie Fukkguy. Foto: Andito Gilang Pratama

Tak hanya mendengarkan Ramones, Onie juga berpenampilan layaknya seorang punk. Rambutnya tercukur mohawk, gondrong hanya di bagian tengah kepala. Begitu pula model potongan dua kawannya, dihias pirang di sejumput rambut.

Sekujur lengan Onie nyaris dipenuhi tato berlogo band punk. Jaket dipenuhi emblem. Celana hitam ketat menyatu dengan sepatu warior. Biasanya sepatu bot tak lepas dari kaki ketika Onie pentas bersama grup musiknya: The Sabotage. Band yang digawangi Onie adalah salah satu band punk lawas di Jakarta.

Perbincangan malam itu sehangat minuman yang ditenggak bergiliran. Obrolan tak jauh seputar punk, dari mulai musiknya, komunitas, media massa, hingga urusan politik, juga soal anarki.

Anarki berarti tanpa ada yang memerintah. Enggak ada yang berhak mengatur diri gua, kecuali diri gua sendiri yang mengerti batasannya.”

Onie menilai punk dan anarki merupakan dua hal berbeda, tapi memiliki semangat sama, yaitu kebebasan. Pria lajang 39 tahun ini menjelaskan, anarki membebaskan setiap orang mengatur hidupnya sendiri di bawah kontrol dan tanggung jawab masing-masing. Punk menjadi saluran ekspresi kebebasan melalui musik, penampilan, dan pergerakan.

“Anarki berarti tanpa ada yang memerintah. Enggak ada yang berhak mengatur diri gua, kecuali diri gua sendiri yang mengerti batasannya,” kata pria yang pernah kuliah di Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) itu.

Namun kebebasan itu sendiri, menurut Onie, masih tersandera sistem yang dibuat negara untuk mengatur kehidupan politik, hukum, sosial, ekonomi masyarakat. Dia menuangkan kekecewaan terhadap sistem melalui musik.

Salah satu lagu berjudul "No Peace Today, No Life Tomorrow" yang dia ciptakan bersama The Sabotage bercerita soal perang terhadap ketidakadilan.

"Indonesia memang sudah enggak ada perang (fisik), tapi perang di sini lebih kepada injustice (ketidakadilan). Teman kami jualan tapi enggak punya lapak karena sewa mahal, akhirnya turun ke jalan jualan sembarangan, barangnya diambil petugas. Itu sistem, musuh kita," jelasnya.

Jelang pagi itu, Onie membatasi diri untuk tidak lagi meneguk anggur meski isi botol belum habis. Dia mengontrol diri agar tidak berlebihan mengonsumsi alkohol. Berkaca dari kawannya yang kini berhenti karena alasan kesehatan.



Di Indonesia, Punk masuk sekitar 20 tahun sesudah awal kemunculannya  di London, Inggris, pada 1960-an.

Foto: Adhi Wicaksono

Punk bukan hanya soal musik dan penampilan (fashion) tapi juga menggelorakan semangat Do It Yourself. Punk juga secara ideologi dekat pada anarkisme.

Foto: Adhi Wicaksono

Punk menjalankan praktik politiknya berdasarkan kedaulatan individu.
Seorang punk bergerak mewakili dirinya sendiri dan tidak dituntut tanggung jawab apapun kecuali kesadaran dan hatinya.

Foto: Adhi Wicaksono

Banyak dari anggota komunitas punk yang kini sudah sibuk dengan pekerjaan.
Namun mereka enggan disebut sebagai bekas anak punk. Nilai dan ideologi punk tetap mereka praktikkan.

Foto: Adhi Wicaksono

Satu ciri lain yang kerap melekat pada komunitas punk adalah gaya rambut serta pakaian mencolok yang merupakan ekspresi kebebasan dan kedaulatan individu.

Foto: Adhi Wicaksono



Sementara Sidik alias Joy pendiri komunitas punk Brengsex City mengakui, gerakan politik komunitas punk bakal ada. Yang dilakukan saat ini memang belum pada tahap turun ke jalan.

“Kami mulai di lingkungan sekitar dulu, bicara riil soal kerja-kerja nyata. Bukan enggak perlu turun ke jalan, suatu saat itu, pasti kami tetap berontak. Tapi perbaiki dulu ekonomi,” ujar Joy.

Bersama sejumlah rekannya, Joy saat ini mengembangkan ekonomi komunitas punk di kawasan Kemayoran Jakarta Pusat.

Studio rekaman, sablon kaos, desain grafis, fotografi, hingga kursus bahasa Inggris mereka buka. Aktivitas itu perlahan membangun kepercayaan masyarakat terhadap komunitas punk yang hidup di tengah pemukiman padat penduduk.

Dia mengatakan, setiap pemberontakan harus ada solusi, bukan hanya sekadar protes. Joy menilai perlu memperbaiki sikap setiap individu sebelum melangkah pada hal-hal yang lebih jauh.

Joy pendiri komunitas punk Brengsex City. Foto: Priska Sari Pratiwi

“Punya skill apapun, kembangkan. Kami support. Di sini punk lebih bermasyarakat. Kami bergerak bukan sekadar hura-hura, tapi ada maksud untuk masyarakat,” kata vokalis band punk The Roots ini.

Joy mengatakan, setiap pemberontakan harus ada solusi, bukan hanya sekadar protes sehingga diperlukan perbaikan sikap setiap individu sebelum melangkah pada hal-hal yang lebih jauh.

Infografis: Timothy Loen | Naskah: Vetriciawizach Simbolon




Etika mengerjakan serba sendiri atau Do it your self (DIY) dianggap sebagai keniscayaan bagi komunitas punk. Mereka umumnya memilih memproduksi segala hal sendiri dan mendistribusikannya melalui jejaring mereka sebagai bentuk kebebasan dan perlawanan. 

Salah satu etika DIY diterapkan di komunitas punk adalah soal rekaman musik dan distribusi hasilnya. Komunitas Brengsek City membuka  ‘Brengsex City Home Record’ atau BCHR.

Dari pada rekaman di luar mending kita sediakan sendiri, ikut pertunjukan, dan didistribusikan sendiri.”

Joy bersama anggota band The Root membuka studio ini.

“Dari pada rekaman di luar mending kita sediakan sendiri, ikut pertunjukan, dan didistribusikan sendiri,” ujar Joy.

Sebagian ruang di rumahnya pun diubah menjadi tempat rekaman. Meski tak terlalu luas, tiap hari ada saja band punk yang datang untuk sekadar berlatih. Nantinya, kata Joy, label rekaman ini akan dibuka bagi band punk lain di luar komunitas.

Ia tahu betul rumitnya bertemu operator label rekaman di luar sana. Belum lagi keterbatasan untuk mengatur waktu. Alasan itu yang membuat Joy tak ingin band punk lainnya merasakan kesulitan seperti dirinya. 

“Kami ingin juga kan punya karya, tapi jangan dipersulit ruang dan waktu,” ucapnya. 

Personel band punk Shaolin Temple yang juga penggagas BCHR, Muhammad Haris mengatakan, usaha yang dirintis komunitas mereka umumnya berawal dari lingkaran pertemanan. Menurut pria yang akrab disapa Proph ini, ruang pertemanan yang menjadi sebuah komunitas ini kemudian menjadi peluang bisnis untuk menghasilkan keuntungan. 

“Justru yang mengajarkan kami bisa, ya dari komunitas. Semua dari pertemanan, awalnya enggak kenal, ketemu di acara ngobrol bareng ternyata nyambung. Mulai usaha,” katanya. 

Usaha label rekaman itu termasuk salah satu yang ia rintis bersama Joy. Meski memproduksi sendiri, Proph tak lantas anti dengan label besar. Sebab tak menutup kemungkinan bandnya akan bekerja sama dengan mereka, asalkan lewat sejumlah kesepakatan yang disetujui kedua pihak. 

Ia melihat kecenderungan label besar selama ini hanya berorientasi keuntungan. Hal itu yang dikhawatirkan akan berdampak pada hubungan pertemanan yang sudah dijalin oleh teman sesama punk. 

Menurut Proph, kunci untuk menjalankan usaha dari komunitas punk adalah ikhlas dan kepercayaan. Selama hal itu dijaga, ia yakin tidak akan ada konflik yang berarti. 

Effi Juanita, vokalis band punk Punktat yang membuka bisnis toko aksesori punk. Foto: Prima Gumilang

Sementara Effi Juanita, vokalis band punk Punktat, punya alasan lain membuka bisnis toko aksesori khusus punk  yakni karena kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, sebagai orang tua tunggal, ia harus bisa memastikan kebutuhan anaknya bisa terpenuhi.

"Pertama bisnis. Waktu anak kelas 1 SD, kebutuhan meningkat," kata Effi. 

Effi mengaku, bisnis lapaknya bisa dibilang hanya modal dengkul. Saat itu teman yang punya usaha sablon mencetak nama dan logo band, Punktat. Effi mendapat royalti dari sablon tersebut berupa kaos yang sudah disablon. 

Karena terdesak kebutuhan ekonomi, kaos-kaos tersebut dijualnya setelah mendapat izin dari personel Punktat yang lain.

Kini, selain kaos, Effi juga menjual jaket dan celana khas punk yang penuh dengan embelem. Di lapaknya di Effi juga menjual sabuk, gelang, sepatu bot dan aksesoris lain. Ada yang dibelinya dari industri rumahan, ada juga yang dibuatnya sendiri.

"Ada juga orang bikin, bawa jaket sendiri, atau nyicil beli spikenya dulu. Tergantung budget-nya orang yang mau order," kata perempuan 45 tahun ini.

Videografis Balutan Identitas Komunitas Punk. Editor: Asfahan Yahsyi




Mereka-mereka yang memilih jalan hidup punk tak selamanya hidup di jalanan untuk mengamen atau menggelandang, seperti streotipe yang sering ditempelkan pada mereka. Ada pula yang sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas kantoran. 

Hanya saja, mereka enggan disebut sebagai bekas anak punk. Nilai dan ideologi punk tetap dipraktikkan.

Misalnya saja Stafenus Hamonongan, seorang guru sekolah dasar swasta di Jakarta Selatan, yang jadi anak punk sejak tahun 2000. Sejak awal, Stef merasa punk “Gue banget”. Punk yang identik dengan perlawanan dan pemberontakan dinilai sengat sesuai dengannya.

Sejak SMA, ia mulai berpenampilan ala punk seperti bertato dan menindik telinga. Lulus SMA kegilaan Stef pada punk makin menggebu. Ia juga sadar bahwa punk bukan cuma penampilan tapi pemikiran, atau caranya berkontribusi pada lingkungan sekitar.

Dari situ gua merasa terpanggil untuk menjadi guru, bukan sekadar profesi tapi panggilan. Sama ketika punk memanggil gua."

Belajar dari komunitas juga membuat Stef tergerak mengajar anak jalanan sejak tahun 2009 sampai saat ini. Ia mengajar yang disukai anak jalanan dan mulai dari hal yang sederhana. Seperti jangan meminta uang secara paksa ketika ngamen. 

"Dari situ gua merasa terpanggil untuk menjadi guru, bukan sekadar profesi tapi panggilan. Sama ketika punk memanggil gua," kata Stef.

Jalan Stef untuk  menjadi guru  sempat mendapat tantangan. Sekolah tempatnya dulu mengajar memberhentikanya karena 10 tato yang ada di badannya. Namun saat itu sekolah berdalih memecatnya karena kerap ketiduran saat mengajar.

Stafenus Hamonongan, seorang guru sekolah dasar swasta di Jakarta Selatan, yang jadi anak punk sejak tahun 2000. Foto: Andika Putra

Stef tak ambil pusing. Ia memang tak pernah menyembunyikan keberadaan tatonya. “Gua mengajar ilmu, bukan mengajarkan soal tato," kata Stef.

Sekolah tempatnya saat ini mengajar relatif lebih memaklumi. Selain tato, rekannya sesama guru juga tahu bahwa dirinya adalah pemain band punk.

"Ke siswa, gua bilang lobang tindikan ini ada karena cidera. Kalau gua bilang gua pakai anting dan gua jelasin punk apa, mereka gak akan mengerti. Sampai saat ini orang tua murid gak ada yang protes karena gua tetap megajar," kata Stef.

Stef melanjutkan, "Gua sisipkan ideologi punk ke siswa saat ngajar. Seperti gak boleh sombong dan harus berbagi, ya sama rata sama rasa. Gua juga selalu apresiasi karya mereka meski jelek, yang penting itu karya sendiri, sesuai dengan konsep DIY."

Infografis: Timothy Loen | Naskah: Vetriciawizach Simbolon

Kisah Stef juga terdapat pada Gofar Hilman, seorang penyiar Hard Rock FM yang sudah punya nama. Selain sebagai penyiar, Gofar juga punya bisnis dengan beberapa teman.

Dengan kehidupan yang segala yang dimilikinya saat ini, Gofar ternyata pernah juga jadi anak punk jalanan. Mengamen dari satu bus kota ke bus kota lain dan menggelandang di jalanan.

Punk seakan sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Gofar mengenal punk sejak kelas lima sekolah dasar dan pada kelas enam dia sudah berlatih musik punk. Masuk SMP, ia membentuk band punk.

“Rutin manggung ketika SMA dan dari situ gua melalui berbagai macam fase pengetahuan soal punk. Pertama gue kira adalah sejenis musik, tapi ternyata itu kultur,” kata Gofar.

Tak sempat kuliah karena alasan biaya, Gofar langsung total terlibat di punk. Selain mengamen, ia juga berkelana dari satu cara musik ke acara musik yang lain untuk menggelar barang dagangan.

Kaset punk, kaos band punk, ikat pinggang dan jaket punk dijualnya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup.

Sempat bekerja di sebuah kantor, bahkan jadi pegawai negeri sipil, Gofar memutuskan keluar dan membuka bisnis. Ia juga mulai siaran sejak 2012.

Dengan segala pencapaiannya saat ini, Gofar menegaskan, bukan berarti dia bisa disebut sebagai mantan anak punk. Menurutnya punk tidak dinilai dari fisik atau status sosial, tetapi pemikiran.

Gofar Hilman, seorang penyiar radio dan pebisnis yang pernah menjadi anak punk jalanan. Foto: Andika Putra



“Gue masih pakai ideologi punk di kehidupan meski enggak semua,” katanya.

Gue belajar banyak soal rendah hati, dan hal itu enggak akan pernah hilang.”

Ideologi anarkis selalu diterapkannya walau dirinya merasa belum pantas untuk bisa disebut sebagai anarkis. Ia juga selalu menerapkan konsep kesetaraan. 

“Gue belajar banyak soal rendah hati, dan hal itu enggak akan pernah hilang,” katanya.

Selain itu, Gofar juga mengaku masih kerap menggelar acara bertema food not boms untuk mengampanyekan pada negara lebih penting menyediakan kebutuhan pokok rakyat ketimbang mempersenjatai militer.

Gofar berharap, punk tak dilhat sebelah mata saja. Jika melihat ada anak punk mengamen dengan cara memaksa atau mabuk di tempat umum, bukan berarti semua anak punk bertingkah sama.




Tim: Editor: Suriyanto | Writer: Prima Gumilang, Oscar Ferry | Reporter: Priska Sari Pratiwi, Muhammad Andika Putra, Abi Sarwanto | Tim Kreatif: Fajrian, Vetriciawizach Simbolon, Asfahan Yahsyi, Timothy Loen |
Fotografer: Adhi Wicaksono, Hesti Rika, Andry Novelino, Andito Gilang Pratama