laporanmendalam nyanyi sunyi paus paus mati logo



Empat ekor paus mati Selasa pagi di bulan November itu. Terdampar satu hari satu malam di perairan kawasan Ujong Batee, Kabupaten Aceh Besar. Sebagaimana kematian ratusan paus lain di Indonesia, penyebab menepinya empat hewan raksasa itu ke pantai tak terungkap. Padahal, memahami kematian paus sama pentingnya dengan mengenal kehidupan mereka.




Paus adalah mamalia laut yang punya kecerdasan, kemampuan untuk belajar dan menularkan pengetahuan pada generasi selanjutnya. Mereka juga pejalan jauh. Secara berkelompok mereka bermigrasi dari satu belahan ke belahan dunia lain

Misalnya saja Paus Bungkuk. Pada musim dingin, kawanan ini akan bergerak ke tempat hangat di daerah tropis untuk mencari pasangan dan beranak. Kemudian, setelah musim berganti mereka pindah ke area Antartika, Kutub Selatan, ataupun Kutub Utara untuk mencari makan. 

Di antara ribuan kilometer perjalanan itu, paus akan berburu, bermain-main, mengeluarkan bunyi serupa nyanyian, dan bahkan ada yang terekam kamera peneliti sedang berdansa. Namun, yang paling krusial, mereka juga menjalankan fungsi bagi samudra. Mulai dari menjaga keseimbangan ekosistem lautan hingga menyebarkan nutrien dalam bentuk eksresi (kotoran).

Hal ini karena eksresi paus mengandung zat besi dan nitrogen yang merupakan pupuk sempurna bagi fitoplankton – tanaman di permukaan laut yang juga produsen separuh suplai oksigen di dunia. 

Zat besi yang dikeluarkan 12 ribu lebih spesies Paus Sperma ketika bermigrasi ke bagian selatan bumi membantu fitoplankton untuk memakan 200 ribu ton karbondioksida dari atmosfer. Ini setara dengan menyerap polusi 70 ribu kendaraan yang masing-masingnya bergerak 15 ribu kilometer setiap tahun.

Perjalanan migrasi paus-paus ini tak sepenuhnya mulus. Ada berbagai faktor yang bisa membuat paus kehilangan arah dan kemudian mendarat di pantai atau perairan dangkal. Contohnya suara sonar dari kapal laut yang membuat mereka disorientasi arah, terkena sakit, atau tak sengaja memakan racun di lautan. Mereka juga bisa terdampar karena kehilangan pemimpin kawanan sehingga tak ada yang menunjukkan arah. 

Satu hal yang pasti, penyebab kematian dan terdamparnya paus hanya bisa diketahui lewat proses pembedahan pascakematian. Proses ini lazim disebut nekropsi.  

Infografis: Timothy Loen | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon | Sumber: Whale Stranding Indonesia 


Empat ekor paus yang terdampar di Aceh Besar pada November kemudian diketahui merupakan paus sperma (Physeter microcephalus). Mereka dikubur tanpa dibedah terlebih dahulu. 

Empat hewan malang ini merupakan bagian dari 10 ekor paus yang tiba-tiba terdampar di pantai dan ditemukan oleh nelayan setempat pada pagi harinya. Prioritas utama pasca-penemuan adalah mengembalikan hewan yang masih hidup kembali ke laut. 

Sampai jam 12.00 malam akhirnya kami berhasil menghalau tujuh ekor ke laut. Tapi satu kemudian balik lagi, kondisinya sudah mati."

“Sampai jam 12.00 malam akhirnya kami berhasil menghalau tujuh ekor ke laut. Tapi satu kemudian balik lagi, kondisinya sudah mati,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo melalui sambungan telepon.

Empat paus yang mati ini sedianya akan dibedah lewat prosedur nekropsi untuk menemukan penyebab kematian dan mencari dugaan penyebab terdamparnya ke pantai Aceh. Nekropsi dijadwalkan sekitar 15 jam setelah kematian paus.

Di antara tim yang disiapkan untuk melakukan pembedahan adalah dokter dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala.

Upaya mendatangkan ahli dari Bali, bahkan Thailand dan Filipina juga dilakukan karena tak ada ahli yang berpengalaman dengan mamalia besar seukuran paus di Aceh.

Upaya itu kemudian gagal.

“Akhirnya kami hanya melakukan pengambilan sampel minor termasuk kulit luar, lapisan lemak dan daging. Kemudian bangkai dikubur karena hari sudah malam dan masyarakat juga sudah begitu banyak. Ada ribuan sehingga menganggu, jadi tidak steril,” ujar Sapto. 

Infografis: Fajrian | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon | Sumber: Whale Stranding Indonesia




Kegagalan nekropsi sangat mengecewakan kalangan ilmuwan yang sejak lama berhasrat mengetahui penyebab aksi paus terdampar berjamaah ini. 

“Sebenarnya kami punya window of opportunity sampai dengan 24 jam pasca-kematian. Sayangnya masyarakat mungkin tidak sabar sehingga segera dikubur,” kata Dr Putu Liza Kusuma Mustika, peneliti mamalia laut yang lama terlibat dalam upaya konservasi satwa laut. 

Putu yang sedang menjalankan penelitian di Queensland, Australia, menyebut kegagalan nekropsi di Aceh itu patut disayangkan. Apalagi, menurutnya, kondisi karkas yang masih baru memungkinkan didapatnya data-data penting seputar sebab kematian dan dugaan penyebab terdampar.

“Sayang sekali data terkubur begitu. Ini kejadian kedua kita, ada code-2 sperm whale yg tidak bisa dinekropsi padahal pausnya di depan mata,” kata Liza saat dihubungi jarak jauh melalui aplikasi WhatsApp. 

Kualitas nekropsi, dalam studi mamalia besar seperti paus, sangat ditentukan oleh kondisi karkas alias bangkai satwa. 

Infografis: Fajrian | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon | Sumber: Whale Stranding Indonesia




Setelah muncul ratusan kasus dalam lebih dari 30 tahun terakhir, perhatian terhadap paus terdampar mulai muncul.

Riswan, Marine Officer pada Worldlife Conservation Society Indonesia yang turut berada di lokasi paus terdampar di pantai Durung mengatakan, berbagai pihak secara sukarela datang membantu begitu muncul laporan adanya paus terdampar.

“Polisi datang, terus telepon orang dari instansi berwenang. Begitu juga aparat dari dinas terkait. Jadi inisiatifnya sudah bagus,” kata Riswan saat dihubungi dari Jakarta. 

Masalahnya, sedikit orang yang paham yang mesti dilakukan ketika sekelompok paus menggelepar di bibir pantai dan terancam kehilangan nyawa. 

“Sempat muncul instruksi ada nekropsi dengan FKH Unsyiah. Kemudian kabarnya akan ada ahli didatangkan dari Bali atau luar negeri. Di sini koordinasi menjadi rumit dan sedikit kacau,” tambah Riswan.

(November) Ini sudah kejadian kedua. Sehingga ada dugaan jangan-jangan wilayah kita ini sudah jadi jalur migrasi. Kita mesti siapkan mitigasi.”

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, mengakui persoalan koordinasi menjadi kunci penanganan masalah. Setelah kejadian, dibahas usulan untuk penyusunan Surat Keputusan Gubernur sebagai payung hukum upaya koordinasi dan penanganan kasus berikut di Aceh. 

“(November) Ini sudah kejadian kedua. Sehingga ada dugaan jangan-jangan wilayah kita ini sudah jadi jalur migrasi. Kita mesti siapkan mitigasi.”Untuk peneliti seperti Liza, upaya ini disambut gembira. Yang masih meresahkan baginya adalah terulangnya kasus gagal nekropsi karena sebab teknis seperti sukarnya mencari tenaga ahli. 

Whale Stranding Indonesia (WSI), organisasi yang turut dibentuknya untuk meneliti kasus paus terdampar, memberikan pelatihan agar sukarelawan di daerah punya kemampuan menangani upaya evakuasi dan nekropsi paus jika dibutuhkan.

“Kami sendiri baru sekali menggelar training untuk vet khusus, November 2013 di Bali.  Ada 1-2 orang di Aceh yang sudah pernah ikut pelatihan kami di luar Aceh, tapi di dalam Aceh sendiri belum pernah ada first responder training, apalagi vet training,” tambahnya. 

Karena kasus damparan paus yang makin banyak, Liza berharap WSI dapat segera menyelenggarakan pelatihan agar lebih banyak tenaga potensial dapat disiapkan untuk kasus berikutnya. 

Infografis: Timothy Loen | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon | Sumber: Whale Stranding Indonesia 




Diperkirakan tiap tahun sekurangnya 2000 ekor paus terdampar di pantai di seluruh dunia.

Di Indonesia, catatan tertua tentang paus terdampar dibuat pada awal 19 oleh Paul Gervais, seorang zoologist ternama Perancis. 

Alkisah sekelompok paus, menurut Gervais, pernah terdampar di pantai Pekalongan, Jawa Tengah pada 12 April, 1863. Catatan Gervais itu dikutip oleh EJ Slijper, WL Van Utrecht and C Naaktgeboren, sekelompok peneliti berkebangsaan Belanda yang bertahun-tahun mengumpulkan catatan kapal yang pernah berpapasan dengan migrasi paus melintas perairan Negeri Belanda.

Dalam sebuah paper bertarikh 1964, Slijper dkk memilah pola migrasi berdasar spesies dan lokasi perairan: Samudera India, Atlantik, dan Pasifik. Peneliti asli Indonesia baru terlibat dalam studi tentang paus terdampar puluhan tahun kemudian. Marine Mammals Indonesia (MMI) mempublikasikan catatan paus terdampar dengan sumber berita media massa. Antara 1987-2007 terjadi sedikitnya 35 kali kasus paus terdampar di perairan nusantara. Liza Mustika, orang Indonesia pertama yang bergelar PhD dalam bidang marine mammal science, bersama sekelompok peneliti mengeluarkan hasil studi ini pada 2009.

Pencatatan dilanjutkan oleh Whale Stranding Indonesia (WSI). Liza Mustika juga pendiri dan pegiat utama WHI dalam merekam jejak kejadian damparan paus di Indonesia. 

Hingga 2017, sudah 331 kasus dicatat. Termasuk di dalamnya adalah kasus damparan terbaru, yaitu 10 ekor paus terdampar di Pantai Ujung Kareung Beach, Aceh Besar. Ratusan kejadian lain tersebar dari Sumenep sampai Selayar, Tanjung Priuk sampai Tanjung Benoa. 

Infografis: Fajrian | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon | Sumber: Whale Stranding Indonesia

Sebagian dari mamalia malang ini dicatat tanpa diketahui spesiesnya karena terlambat ditangani ahli. Bangkai mereka terlanjur membusuk atau dikuburkan warga. Situasi ini mungkin terjadi bila lokasi damparan adalah pantai-pantai terpencil dan sulit dijangkau seperti di Langkat, Sumsel (2013) dan Situbondo, Jatim (2014). 

Kesulitan identifikasi juga bisa terjadi akibat kelangkaan ahli paus di Indonesia.

“Ilmuwan yang selama ini memang aktif untuk marine mammal di Indonesia, yang saya tahu, masih terbatas juga jumlahnya. Bisa dihitung dengan jari,” kata Dr Jaya Ratha, tim vet dari Cetasean Sirenian Indonesia (Cetasi).

Jaya yang punya pengalaman mengotopsi karkas paus dan lumba-lumba mengatakan, perekaman paus terdampar di Indonesia tak berjalan sempurna karena nekropsi sering kali gagal dilakukan. 

“Biasanya penyebab lebih ke alasan teknis, seperti kondisi lokasi, ketersediaan tim yang memadai terutama untuk (paus) ukuran besar. Termasuk karena beberapa alasan seperti sudah terlanjur dikubur,” jelas Jaya. 

Infografis: Fajrian | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon | Sumber: Whale Stranding Indonesia



Sampai kini, Liza Mustika masih menyesalkan sebuah kasus paus terdampar pada Maret 2016 di Klungkung Bali. Ketika seekor paus sperma berbobot lebih dari 16,5 ton terdampar di pantai. Saat ditemukan nelayan setempat, paus malang itu masih bergerak – prospek  bagus untuk nekropsi karena masuk kategori kode-1. 

Setelah tim ahli, termasuk Drh Jaya Ratha datang, nekropsi malah gagal. 

“Tidak bisa nekropsi karena Pemda (setempat) belum mengerti kenapa perlu dilakukan. Dan akhirnya sperm whale itu mati, effectively became code 2 in front of our eyes,” kisah Liza.

Karkas paus dalam kondisi code-2 sebenarnya tetap memenuhi syarat proses pembedahan dalam rangka nekropsi. Sayangnya, tekanan massa yang ramai menonton dan aparat yang belum paham tata laksana penanganan paus terdampar akhirnya mendorong paus untuk segera dikubur. Harapan mendapat informasi ilmiah dari kasus ini pun musnah.  

“Saya gelo banget. Nyesel betul,” kisah Liza masygul.

Infografis: Fajrian | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon | Sumber: Whale Stranding Indonesia



Videografis: Asfahan Yahsyi | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon




Secara teknis, nekropsi pada hewan berukuran besar seperti paus atau mamalia laut lain memang sukar dilakukan.

Ini terlihat pada kasus paus terdampar ke-19 tahun 2017 yang ditangani oleh Kelompok Riset dan Pendidikan Darurat Mammalia Laut (GREMM) Kanada.

Pada 20 September 2017, seekor beluga betina ditemukan mengambang di pinggir Ouelle, wilayah Bas-Saint-Laurent di dekat Montreal, Kanada. Warga setempat memotret foto hewan malang itu dan mengirimnya pada aparat setempat. Sehari sebelumnya, seorang pengamat burung memberi kesaksian melihat satwa yang mirip mengambang di perairan dangkal di muara sungai Ouelle. Penemuan karkas beluga ini segera dilaporkan dan tim darurat pun beraksi.

Pertama karkas mesti diangkat supaya tak terbawa arus pasang kembali ke air. Kedua untuk mempertahankan agar kondisi jaringannya tetap layak untuk studi lanjut, bangkai harus disimpan di ruang beku. 

Tapi pertama-tama, peran sukarelawan sangat penting untuk mencatat kondisi awal karkas sebelum diproses: tanda-tanda saja yang tampak dengan mata telanjang, ukuran, paruh, kepala, kondisi kulit dan sirip, serta jenis kelamin. 

Berikutnya evakuasi karkas ke laboratorium nekropsi terdekat, dalam hal ini di fakultas Kedokteran Hewan (FMV) di Universitas Montréal. 

Meski ukuran beluga jauh lebih kecil dari paus umumnya, ukuran karkas yang ditemukan menunjukkan beratnya mencapai sekitar 1,5ton. Pengangkutan karkas pun membutuhkan alat berat.

Keekokan harinya, sekitar 150 orang sudah siap di ruang nekropsi. Meja pembedahan berukuran raksasa nyaris tak mampu menanggung badan tambun beluga yang licin setelah keluar dari lemari pendingin. Pelaku nekropsi adalah veteriner berpengalaman, dosen dan mahasiswa yang tak sabar terlibat dalam kegiatan unik ini. 

Mula-mula karkas diukur ulang: berat, panjang, lebar. Kemudian lapisan lemaknya dipisahkan. Setelah itu tulang dada diangkat, tengkorak dibelah. Organ penting seperti otak, paru-paru dan jantung dikeluarkan. Semuanya dilakukan dengan hati-hati agar tak merusak jaringan dan specimen untuk pemeriksaan selanjutnya. Petugas memakai apron lab, sarung tangan dan kaca mata agar tak terpapar material tak diinginkan dari karkas. 

Beberapa jam kemudian proses selesai. Dalam botol-botol kecil disimpan sampel kulit, jaringan hati, paru, jantung, kelenjar tiroid dan seterusnya. Semuanya ditandai dan disusun untuk dikirim ke laboratorium berikutnya. Ada yang akan diperiksa lebih lanjut di FMV Uni Montreal, ada juga yang dibawa ke Fakultas Biologi Universitas Québec di Montréal UQAM). Sebagian sampel kulit juga dikirim ke Nova Scotia. 

Dari pemeriksaan jaringan lemak dan sampel kulit di lab Biologi UQAM, peneliti mencoba memetakan ciri racun yang muncul pada karkas beluga. Dari 222 karkas yang pernah diteliti GREMM, penyakit akibat infeksi merupakan sepertiga penyebab kematian beluga. 31 ekor beluga mati akibat infeksi dari tumor ganas. Setengah beluga muda yang diteliti mati akibat infeksi paru. Temuan-temuan ini memunculkan dugaan bahwa beluga-beluga itu mati akibat paparan kronis terhadap material beracun – dari laut yang polutif. 



Dokter Kesehatan Hewan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh memeriksa salah satu dari empat ekor paus yang mati pascaterdampar di Pantai Desa Durung, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Selasa (14/11). (ATARA FOTO/Amplesa)

Sejumlah warga berupaya menarik bangkai ikan paus yang terdampar di Pantai Batu Tumpeng, Klungkung, Bali, Senin 143. Mamalia laut jenis Paus Sperma sepanjang 16,20 meter tersebut diperkirakan mati akibat terjebak di perairan lebih dangkal saat bermigrasi. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)


Petugas dari berbagai komponen dibantu warga berupaya mengevakuasi ikan paus yang terdampar di Pantai Ujong Kareung, Aceh Besar, Aceh, Senin (13/11). Proses evakuasi 10 ikan jenis paus Sperma melibatkan berbagai komponen masyarakat,  sementara  pihak terkait masih melakukan penyelidikan penyebab terdamparnya ikan tersebut. (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)


Dua warga berupaya menarik bangkai ikan paus yang terdampar di Pantai Batu Tumpeng, Klungkung, Bali, Senin (14/3). Mamalia laut jenis Paus Sperma sepanjang 16,20 meter tersebut diperkirakan mati akibat terjebak di perairan lebih dangkal saat bermigrasi di Samudera Indonesia. (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)


Warga memegang seekor anak Paus Pilot Sirip Panjang Globicephala melas yang terdampar di pesisir Kota Tahuna, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, Kamis 33. Anak paus berukuran panjang tidak kurang dari empat meter tersebut ditemukan warga kawasan Tidore Tengah. (ANTARA FOTO/Stenly Pontolawokang)





Seekor induk paus menyeret bayinya yang belum lama lahir ke mana-mana. Raut mukanya yang tertangkap kamera tampak sendu. Ia bergerak pelan dan sedih. Bayinya sudah mati beberapa hari lalu, tapi dia enggan tinggalkan. Menggunakan paruhnya, sang induk membawa bayi malang itu berenang bersama anggota kelompok paus pilot lain.

Kisah sedih ini dituturkan oleh maestro pencerita kisah dunia liar, Sir David Attenborough, dalam program BBC Blue Planet II, November lalu. Attenborough mengatakan bayi paus itu mungkin saja mati karena air susu ibunya terkontaminasi racun akibat polusi plastik yang sangat massif di laut. 

Ribuan orang membagi kisah ini di sosial media dan menyatakan kesedihan sekaligus kegeraman akibat kejahatan manusia merusak habibat satwa seperti paus dengan polusi plastik. Ribuan orang bersumpah tak akan lagi menggunakan plastik untuk tiap urusan sehari-hari.

Namun, ada pula yang mempertanyakan: bagaimana bisa menyalahkan plastik sebagai penyebab padahal belum ada pemeriksaan terhadap penyebab kematian si bayi?

Di sini lah nekropsi punya peran penting. 

Dalam kasus Cetacea yang terdampar, nekropsi memang berperan sentral untuk menentukan penyebab kematian. Seperti otopsi pada manusia, prosedur nekropsi dilakukan dengan melihat kondisi bangkai hewan yang dilanjutkan dengan pembedahan dan pengambilan sampel jaringan. 

Dari proses itu dapat dilihat jenis, umur dan kelamin si hewan, serta kondisi fisik hewan bersangkutan pada jaringan permukaannya (lebam, luka, terinfeksi, dan lain-lain). Selain itu, kondisi jaringan dan organ tubuhnya diperiksa di laboratorium untuk menentukan apakah ada keracunan, pendarahan, atau penyakit.


Infografis: Fajrian | Naskah: Vetricia Wizach Simbolon | Sumber: Whale Stranding Indonesia



Proses ini bisa berlangsung beberapa jam, tapi untuk mengetahui hasil pemeriksaan akhir mungkin diperlukan waktu hingga beberapa pekan. 

Selama ini nekropsi masih belum banyak dilakukan sehingga info belum banyak digali dari setiap hewan yg mati."

Hambatan melakukan prosedur ini klasik: tenaga ahli dan alat. Akibatnya, meski ada ratusan kasus paus terdampar, hasil studinya tidak banyak.

“Selama ini nekropsi masih belum banyak dilakukan sehingga info belum banyak digali dari setiap hewan yg mati,” kata Jaya Ratha, satu dari sangat sedikit orang Indonesia yang punya kemampuan dan sudah pernah punya pengalaman melakukan nekropsi. Jaya juga bekerja sebagai veteriner ahli di Conservation International.

Selain membutuhkan perencanaan dan keterlibatan tim, mulai dari operator alat angkut (karena jenis paus yang lazim berbobot besar) sampai dokter hewan ahli yang berpengalaman dalam pembedahan, proses ini juga menuntut ketersediaan alat serta laboratorium yang mungkin tidak banyak tersedia di negara yang belum maju seperti Indonesia. Meski demikian, menurut para ilmuwan, nekropsi mesti tetap diusahakan.

“Meski secara finansial maupun operasional biayanya mahal, nekropsi penting karena dari proses ini kita bisa belajar bukan cuma soal penyebab kematian. Tapi juga kita dapat kesempatan membuat assessment tentang seberapa sehat laut kita dan sejauh apa perilaku kita mempengaruhi kondisinya,” kata Nimal Fernando, dokter hewan yang juga Manager Life Sciences pada Taman Safari dan Marina Bali.

Nimal yang sudah melakukan puluhan nekropsi sejak 2004 mengatakan, dari pengalamannya itulah ia mendapat gambaran tentang masalah seperti materi pencemar di laut, serta peran manusia yang berkontribusi pada pencemaran itu.

“Dari sisi ilmu tentang satwa sendiri, nekropsi menjadi petunjuk tentang bagaimana paus yang terdampar memberi kita kesempatan untuk mengumpulkan data biologi yang berguna dari sisi anatomi, fisiologi dan sejarah hidupnya,” tambah Nimal. 

Nekropsi yang jarang dilakukan meski ada ratusan kasus paus terdampar, bisa jadi salah satu penyebab belum adanya studi konklusif untuk menyimpulkan alasan satwa itu terdampar. 

Karena sebab yang sama, kondisi umum mamalia laut dan habitatnya di Indonesia juga sulit diketahui. 



Penulis: Dewi Safitri | Editor: Vetricia Wizach Simbolon | Naskah Infografis: Vetriciawizach Simbolon
Infografis: Timothy Loen, Fajrian | Videografis: Asfahan Yahsyi | Tata letak: Fajrian