Penyediaan Vaksin Covid-19 di Indonesia

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum juga mereda, vaksin menjadi salah satu senjata umat manusia untuk menahan lonjakan kasus, atau setidaknya mengurangi angka kematian. Maka tak heran jika mengamankan pasokan vaksin Covid-19 kini menjadi tugas maha-penting hampir seluruh negara di dunia.

Tentu termasuk di Indonesia. Pemerintah RI telah mentargetkan vaksinasi sekitar 181 juta penduduknya demi mencapai imunitas kelompok (herd immunity). Artinya, dibutuhkan lebih dari 360 juta dosis vaksin untuk menuntaskan misi tersebut, mengingat dibutuhkan dua dosis untuk satu orang agar efektif terbentuk imunitas.

Ini pun dengan catatan bahwa penyuntikan harus berlangsung dalam kurun waktu tertentu. Jika rentang vaksinasi terlalu lama, bisa jadi mereka yang disuntik awal-awal sudah kehilangan imunitas sehingga kembali rawan terpapar. Artinya pasokan yang terhambat bisa mengancam pembentukan imunitas kelompok.

Masalah suplai vaksin ini juga terjadi di tingkat global. Sementara jumlah penduduk dunia mencapai 7,9 miliar jiwa –sehingga membutuhkan setidaknya 15,8 miliar dosis vaksin corona—kapasitas total produksi vaksin seluruh negara hingga 2021 ini hanya di kisaran 8,4 miliar dosis per-tahun.

Hal ini kemudian mendorong negara-negara kaya untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar, yaitu untuk mengamankan pasokan bagi warganya sendiri.

Bahkan, dari 700 juta vaksin yang sudah disuntikkan di dunia hingga April 2021, sebanyak 425 juta dosis dilakukan di Amerika Serikat dan China, sementara total vaksin yang diberikan di puluhan negara miskin tidak sampai 1 juta dosis.

Di Indonesia, tugas memastikan pasokan ini jatuh ke tangan Bio Farma, induk holding dari dua BUMN farmasi, dengan PT Kimia Farma dan PT Indofarma sebagai anggotanya. Bio Farma juga satu-satunya BUMN di Indonesia yang memproduksi vaksin, serum dan produk life-science.

Bukan hanya untuk memproduksi, Bio Farma juga aktif terlibat dalam melobi untuk mendapatkan gelontoran vaksin dari negara atau lembaga lain. Tugas yang diakui Bio Farma bukan hal mudah dan penuh tantangan.

“Untuk itu, Bio Farma mengupayakan untuk mendatangkan vaksin Covid-19 dari penjuru dunia, baik secara bilaterlal (kerja sama langsung antara Bio Farma dengan produsen vaksin Covid-19) maupun secara multilateral antara pemerintah Indonesia dengan negara produsen ataupun dengan organisasi dunia seperti WHO, UNICEF, CEPI, GAVI yang dibantu oleh Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Luar Negeri,” ujar Honesti Basyir, Direktur Utama PT Bio Farma.

Upaya ini tentu membuahkan hasil. Hingga awal Mei 2021, Indonesia telah mendapatkan pasokan 62,4 juta dosis, baik vaksin jadi maupun dalam bentuk bahan baku dari Sinovac dan AstraZeneca.

Tugas mengolah bahan baku menjadi vaksin jadi tentu juga jadi tanggung jawab Bio Farma. Dari 59,5 juta bahan baku baik dari yang telah datang maupun tengah dikirimkan, diperkirakan diperoleh vaksin jadi kemasan multidosis sebanyak 47 juta dosis. Angkanya berkurang karena dalam proses produksi mulai dari homogenisasi, filling, dan packing, akan ada vaksin yang hilang selama proses.

Proses kemudian berlanjut dengan memastikan puluhan juta vaksin ini terjaga kualitasnya selama proses distribusi. Salah satunya dengan terus memantau suhu tempat penyimpanan vaksin dalam proses pengiriman ke daerah. Command Center Bio Farma akan terus memonitor proses tersebut, bahkan bisa mengetahui jika ada perubahan suhu di jalan, atau jika ada anomali suhu selama perjalanan.

“Proses distribusi vaksin dilakukan menggunakan kendaraan yang dilengkapi dengan tempat penyimpanan vaksin yang suhunya dijaga di kisaran 2-8 derajat Celsius sepanjang perjalanan,” imbuh Honesti.

Setiap label vial vaksin yang didistribusikan pada awal 2021 juga sudah dilengkapi dengan 2D data matriks yang memuat kode serialisasi yang dibuat secara acak untuk menghindari duplikasi. Bio Farma juga sudah menyiapkan aplikasi Bio Tracking untuk pengecekan keaslian produk vaksin.

Negara dengan Vaksinasi Terbanyak

Dikutip dari laman resmi BUMN, Bio Farma yang sudah eksis selama 130 tahun ini memiliki kapasitas produksi lebih dari 3,2 miliar dosis per tahun dan telah memenuhi kebutuhan vaksin nasional juga dunia melalui WHO (Badan Kesehatan Dunia) dan UNICEF.

Untuk vaksin Covid-19 sendiri, Bio Farma sudah menyiapkan kapasitas produksi sebesar 250 juta dosis per tahun melalui kerja sama dengan Sinovac.

Kapasitas produksi massal yang besar ini membuat Bio Farma juga telah terpilih sebagai salah satu potensial Drug Manufacturer oleh Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), koalisi pemerintah-swasta dan filantropis yang bertujuan mengatasi epidemi dengan cara mempercepat pengembangan vaksinnya.

Bio Farma dipilih setelah melewati due diligence yang diselenggarakan pada 15 September 2020. Nantinya, pengembang-pengembang vaksin Covid-19 dari seluruh dunia yang belum memiliki fasilitas produksi massal secara mandiri akan dipertemukan oleh CEPI dengan produsen vaksin yang telah memenuhi syarat. Bio Farma salah satunya.

Di samping itu, produk Bio Farma juga telah memenuhi standar mutu WHO dan dipercaya dalam pengembangan transfer teknologi vaksin untuk kemandirian di negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI).

“Saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang memiliki perusahaan vaksin yang sudah berkelas dunia.”

- Honesti Basyir. Dirut PT Bio Farma

Kemampuan Bio Farma dalam memproduksi vaksin dalam jumlah besar membuat Menteri BUMN Erick Thohir menargetkan perusahaan ini bisa menjadi produsen terbesar sekaligus hub vaksin di Asia Tenggara. Tak tanggung-tanggung, tahun lalu Bio Farma juga mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) ratusan miliar untuk menambah kapasitas produksi.

“Peluang Indonesia untuk menjadi hub vaksinasi di Wilayah ASEAN memang harus dimanfaatkan sebaik mungkin, karena Saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang memiliki perusahaan vaksin yang sudah berkelas dunia, melalui Bio Farma,” ujar Honesti.

“Bio Farma sendiri memiliki deretan produk (14 produk) yang sudah diakui oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), dengan kapasitas produksi 3,2 miliar dosis per tahun. Lebih dari 150 negara juga sudah menggunakan produk dari perusahaan yang berdiri pada tahun 1890 ini.”

Bukan hanya peningkatan kapasitas produksi, Bio Farma pun disebut Honesti akan melebarkan jenis vaksin yang bisa diproduksinya.

“Bio Farma sudah menguasai teknologi vaksin yang tidak aktif (inactivated), dilemahkan dan rekombinan. Ke depannya, tentu ada rencana pengembangan vaksin yang dibuat dengan teknologi yang lebih canggih seperti platform vaksin mRNA,” kata Honesti.

Lini Masa Bio Farma

Satu tugas yang tengah diemban Bio Farma lainnya –selain memastikan pasokan dan memproduksi vaksin yang bekerja sama dengan Sinovac—adalah Vaksin Merah Putih.

Ini merupakan vaksin Covid-19 buatan dalam negeri yang pengembangannya menggunakan isolat virus yang bertransmisi di Indonesia. Selain untuk memastikan pasokan agar imunitas kelompok tercapai, Vaksin Merah Putih juga diperlukan jika vaksin dari luar negeri ternyata tidak ampuh menangkal Covid-19. Apalagi mengingat virus kini telah berkembang sehingga terdapat beberapa jenis strain.

Dalam pengembangan vaksin Merah Putih ada 6 institusi yang ikut serta dengan berbagai platform, yakni; LBM Eijkman (Sub-unit protein recombinant yeast-based/berdasarkan sel ragi dan berdasarkan sel mamalia), LIPI (Fusi protein recombinant), UGM (Protein recombinant), UI (DNA, mRNA, dan virus-like-particles vaccine), ITB (Adenovirus), UNAIR (Inactivated virus atau virus utuh yang dimatikan).

“Lembaga-lembaga riset ini melakukan riset sampai diperoleh seed vaccine yang siap diserahkan ke Bio Farma,” kata Honesti.

Hingga Mei 2021, dua platform berkembang lebih cepat yaitu yang dikembangkan oleh Eijkman dengan PT Bio Farma, serta yang dikembangkan oleh Universitas Airlangga dengan PT Biotis Pharmaceuticals.

Untuk vaksin yeast-based yang dikembangkan Eijkman-Bio Farma, ditargetkan selesai uji knilis dan kemudian mendapatkan izin darurat dari BPOM pada akhir semester I 2021.

Paralel, Bio Farma juga sudah melakukan persiapan untuk menjalankan produksi massal, sehingga vaksin bisa langsung dibuat setelah semua tahapan uji klinis selesai dan vaksin mendapatkan izin dari BPOM.

“Bio Farma akan melakukan proses pengembangan selanjutnya sampai proses produksi menjadi vaksin jadi. Termasuk melakukan uji preklinis pada hewan, dilanjutkan uji klinis fase 1-3 pada subjek manusia bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran yang memiliki kualifikasi Good Clinical Practice (GCP) di Indonesia; seperti FK Universitas Padjadjaran, FK Universitas Indonesia, FK Universitas Gajah Mada, dan lain-lain,” pungkas Honesti.